Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

DASAR-DASAR KEPEMIMPINAN
UNTUK PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT

Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM


A. PENDAHULUAN
Kepemimpinan adalah suatu fungsi yang harus dijalankan dalam suatu manajemen, karena kepemimpinan merupakan pokok pengambilan prakarsa untuk bertindak dalam mencapai tujuan bersama. Mutu kepemimpinan memainkan peran yang sangat penting dalam keberhasilan suatu kelompok yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang cerdas bukanlah suatu jaminan untuk memimpin suatu unit organisasi yang efektif dan efisien,karena seorang pemimpin selain memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk memimpin juga dituntut berperilaku sebagai panutan dan tauladan bagi bawahannya

Hasil suatu penelitian dalam bidang psikologi menunjukan bahwa orang yang secara intelektual cerdas seringkali bukanlah orang yang paling berhasil dalam memimpin suatu organisasi, memimpin maupun dalam kehidupan pribadi mereka,sebagai seorang pemimpin selain harus cerdas secara intelektual juga cerdas secara emosional.


Disamping itu seorang pemimpin perlu menggali potensi-potensi yang ada pada dirinya dan berlatih untuk menyempurnakannya sehingga mampu berperan sebagai seorang pemimpin yang berprinsip dan efisien. Dengan memahami berbagai teori kepemimpinan dan memilih teori yang paling tepat untuk suatu situasi kondisi kerja,kepemimpinan yang efektif diharapkan tercapai dengan baik


B. KEPEMIMPINAN.
Secara sederhana, apabila berkumpul tiga orang atau lebih kemudian salah seorang di antara mereka “mengajak” teman-temannya untuk melakukan sesuatu [misalnya : bermain, belajar bersama, berdiskusi, dll. Pada pengertian yang sederhana, orang tersebut telah melakukan “kegiatan memimpin”, karena ada unsur mengambil prakarsa untuk mengajak dan mengkoordinasi teman-temannya dalam suatu kegiatan untuk suatu tujuan.

Namun, untuk merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan merupakan hal yang mudah, sehingga banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang kepemimpinan yang tentu saja menurut sudut pandangnya masing-masing.


Kata ”kepemimpinan” yang terjemahan dari bahasa Inggris ”Leadership” tersebut memiliki beberapa definisi sebagai berikut :

  1. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).
  2. Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7).
  3. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984, 46).
  4. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281).
  5. Kepemimpinan, adalah proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya. (Koontz & O’donnel)
  6. Kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka. (Wexley & Yuki, 1977 )
  7. Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama. (Georger R. Terry,)
  8. Kepemimpinan sebagai cara membangkitkan semangan dan mendorong bawahan untuk menyelesaikan tugas – tugas yang diserahkan (Daniel W. Geeding dalam Management principles and Practice )
  9. Kepemimpinan adalah Seni mengkoordinasi dan memotivasi individu–individu serta kelompok – kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Robert Prestus dalam Public Administration )
  10. Para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi konstribusi yang efektif terhadap orde sosial, dan yang diharapkan dan dipersepsikan melakukan (HOSKING, 1988)

Mungkin masih banyak lagi dan Anda bisa menambah daftar panjang tentang definisi kepemimpinan ini. Dari banyaknya definisi kepemimpinan tersebut, menggambarkan asumsi bahwa kepemimpinan dihubungkan dengan proses mempengaruhi orang baik individu maupun kelompok. Dalam kasus ini, dengan sengaja mempengaruhi dari orang ke orang lain dalam susunan aktivitasnya dan hubungan dalam kelompok atau organisasi. John C. Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut.

C. PEMIMPIN.
Kepemimpinan akan berjalan secara efektif dan efisien apabila dilaksanakan oleh seorang pemimpin, karena pemimpin merupakan inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. lalu siapa pemimpin itu ?

Hamhiel dan Coons menjelaskan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama (Panji Anogara,dalam Psikologi kepemimpinan, hal 23).


Ada beberapa pengertian pemimpin :

  1. Pemimpin adalah orang yang paling dekat dan gigih mewujudkan norma-norma dalam kelompoknya
  2. Pemimpin adalah orang yang mampu menarik perhatian orang lain seakan-akan mendapatkan kecenderungan dari orang lain untuk mengontrol mereka
  3. Pemimpin adalah orang yang berhasil membuat orang lain mengikuti dia
  4. Pemimpin adalah orang yang paling efektif atau berhasil menciptakan suatu kelompok yang efektif
  5. Pemimpin adalah orang yang memperkarsai dan mendrong terjadinya interaksi antar anggota,interaksi ini berbentuk kegiatan-kegiatan nyata dan hal ini yang mennadi hidup atau tidaknya kelompok
  6. Pemimpin adalah orang yang diidentifikasi dan diterima sebagai apa adanya oleh pengikutnya.
Dari beberapa pengertian bahwa pemimpin pada dasarnya adalah seseorang yang mampu memberdayakan sumber daya manusia dan sumber daya lain dalam organisasi/kelompoknya untuk mencapai suatu tujuan tertentu

D. TUGAS DAN PERAN PEMIMPIN
Menurut James A.F Stonen, tugas utama seorang pemimpin adalah:
1. Pemimpin bekerja dengan orang lain
Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organisasi sebaik orang diluar organisasi.

2. Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas).

Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafnya tanpa kegagalan.

3. Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas

Proses kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin harus dapat menyusun tugas dengan mendahulukan prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan tugas-tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu secara efektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.

4. Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual

Seorang pemimpin harus menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh pekerjaan menjadi lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain.

5. Pemimpin adalah seorang mediator

Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator (penengah).

6. Pemimpin adalah politisi dan diplomat

Seorang pemimpin harus mampu mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya.

7. Pemimpin membuat keputusan yang sulit

Seorang pemimpin harus dapat memecahkan masalah atau persoalan yang dihadapi.

E. PRINSIP- PRINSIP DASAR KEPEMIMPINAN
Prinsip, sebagai paradigma terdiri dari beberapa ide utama berdasarkan motivasi pribadi dan sikap serta mempunyai pengaruh yang kuat untuk membangun dirinya atau organisasi. Menurut Stephen R. Covey (1997), prinsip adalah bagian dari suatu kondisi, realisasi dan konsekuensi.

Bagaimana ciri-ciri pemimpin yang berprinsip ? Stephen R. Coney (1997) dalam bukunya yang berjudul “Principle Centered Leadership” (Adam Ibrahin, 2001) menguraikan prinsip-prinsip kepemimpinan itu sebagai berikut :


1. Selalu Belajar (Belajar Seumur Hidup).

Belajar tidak diartikan melalui pendidikan formal saja, tetapi juga diluar sekolah. Contohnya, belajar melalui membaca, menulis, observasi, dan mendengar, terbuka terhadap saran-usul dan kritik. Mempunyai pengalaman yang baik maupun yang buruk sebagai sumber belajar.

2. Berorientasi pada pelayanan

Seorang pemimpin tidak dilayani tetapi melayani, sebab prinsip pemimpin dengan prinsip melayani berdasarkan karir sebagai tujuan utama. Dalam memberi pelayanan, pemimpin seharusnya lebih berprinsip pada pelayanan yang baik.

3. Memancarkan energi positif

Setiap orang mempunyai energi dan semangat. Menggunakan energi yang positif didasarkan pada keikhlasan dan keinginan mendukung kesuksesan orang lain. Untuk itu dibutuhkan energi positif untuk membangun hubungan baik. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus dapat menunjukkan energi yang positif.

4. Percaya pada orang lain.

Seorang pemimpin mampu memberikan kepercayan pada orang lain termasuk staf bawahannya, sehingga mereka termotivasi untuk bekerja lebih baik. Kepercayaan harus diikuti dengan kepedulian.

5. Hidup seimbang.

Seorang pemimpin harus dapat menyeimbangkan tugasnya dan berorientasi kepada prinsip kemanusiaan dan keseimbangan diri antara pekerjaan dan kemampuan untuk menjaga kesehatan (melaui olah raga, rekreasi, istirahat yang cukp). Keseimbangan kebutuhan phisik dan psikis. Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akherat.

6. Melihat kehidupan sebagai petualang.

Dalam hal ini ‘petualang‘ berarti kemampuan untuk menikmati hidup dengan segala konsekuensinya. Karena hidup adalah suatu petualangan yang membutuhkan inisiatif, ketrampilan, kreatifitas, kemauan, keberanian, dinamisasi dan kebebasan dari dalam diri sendiri.

7. Sinergitas (Kompak)

Orang yang berprinsip senantiasa hidup dalam sinergistik dan merupakan katalis (media) perubahan. Dia selalu mengatasi kelemahannya dirinya dengan kekuatan orang lain. Sinergi adalah bekerjasama (working together) yang memberi keuntungan kedua belah pihak. Menurut The New Brolier Webster International Dictionary, Sinergi adalah satu kerja kelompok, yang mana memberi hasil lebih efektif dari pada bekerja secara perorangan. Seorang pemimpin harus dapat bersinergis dengan setiap orang atasan, staf, teman sekerja.

8. Latihan mengembangkan diri sendiri.

Seorang pemimpin harus selalu memperbaharui diri agar mampu mencapai keberhasilan yang tinggi. Oleh karena itu orientasi jangan hanya pada produk, tetapi juga pada proses. Proses ini berhubungan dengan pemahaman dan pendalaman, memperluas melalui belajar dan pengalaman diri sendiri dan orang lain, penerapan prinsip-prinsip dan pemantauan hasil.

Mencapai kepemimpinan yang berprinsip tidaklah mudah, karena beberapa kendala dalam bentuk kebiasaan buruk, misalnya:
(1) kemauan dan keinginan sepihak;
(2) kebanggaan dan penolakan; dan
(3) ambisi pribadi.

Untuk mengatasi hal tersebut, memerlukan latihan dan pengalaman yang terus-menerus. Latihan dan pengalaman sangat penting untuk mendapatkan perspektif baru yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.
Mengembangkan kekuatan pribadi akan lebih menguntungkan dari pada bergantung pada kekuatan dari luar. Kekuatan dan kewenangan bertujuan untuk melegitimasi kepemimpinan dan seharusnya tidak untuk menciptakan ketakutan. Peningkatan diri dalam pengetahuan, ketrampilan dan sikap sangat dibutuhkan untuk menciptakan seorang pemimpin yang berpinsip karena seorang pemimpin seharusnya tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga emosional (IQ, EQ dan SQ).

F. PENDEKATAN GAYA KEPEMIMPINAN
Cara bagaimana orang memimpin sering disebut sebagai gaya kepemimpinan atau “leadership style”. Untuk mengurai gaya kepemimpinan ada teori, yaitu :

1. Pendekatan Teori Sifat ( Traits Leadership Theory)

Pendekatan ini menekankan pada ciri-ciri pribadi yang dimiliki oleh seorang pemimpin, bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat dan karakter/watak, kualitas pribadi yang dimiliki seorang pemimpin.
Stogdill, mengungkapkan sifat-sifat kepemimpinan tersebut, seperti :
  • a. Capacity, yang meliputi kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara dan originality (keaslian).
  • b. Achievment, seperti gelar kesarjanaan, pengetahuan dan keberhasilan dalam olahraga;
  • c. Responsibility, memiliki daya tanggap, kepedulian terhadap umpan balik yang timbul.
  • d. Participation, yang meliputi aktif, kemampuan bergaul, kerjasama dan mudah menyesuaikan diri.
  • e. Status,: seperti kedudukan social, ekonomi dan ketenaran.
Teori ini mendapat tantangan dari para ahli manajemen, karena keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh sifat seseorang, tetapi juga dipengaruhi oleh variable lain.

2. Pendekatan Teori Perilaku ( Behavior Leadership Theory )
Pendekatan ini menjelaskan adanya perilaku kepemimpinan yang membuat seseorang menjadi pemimpin yang efektif, yaitu bagaimana cara mendelegasikan tugas, berkomunikasi dan memotivasi bawahannya agar dalam melaksanakan tugas berjalan dengan baik.

Pendekatan teori ini, membedakan tiga pola dasar yang dipakai untuk menentukan perilaku kepemimpinan, yaitu :


  • a. Perilaku yang berorientasi pada tugas (Task Oriented), kecenderungan untuk melaksanakan tugas secara maksimal, sehingga kurang memperhatikan hubungan kerjasama antara bawahan dengan atasan dan teman sejawat
  • b. Perilaku yang berorientasi pada hubungan kerja sama /hubungan kemanusiaan (relationship Oriented), lebih mementingkan hubungan kemanusiaan antara atasan, bawahan dan teman sejawatnya.
  • c. Perilaku yang berorientasi kepada hasil (Effectiveness oriented), yang mempunyai dorongan yang sangat kuat untuk mencapai hasil yang maksimal.
3. Pendekatan situasional (Situational Leadership Theory):
Pendekatan ini untuk menutup kelemahan dari dua pendekatan teori sebelumnya (sifat dan perilaku). Karena keberhasilan kepemimpinan tidak hanya dipengaruhi factor-faktor dalam (sifat dan perilaku) dirinya, juga oleh factor-faktor diluar dirinya seperti visi, misi, bentuk organisasinya, jenis pekerjaan,dll.

Model pendekatan teori situasional menurut Paul Hersey dan Kenneth Blanchard

memiliki 4 tipe perilaku dasar kepemimpinannya, yaitu :
  • a. Tipe Direktif (Telling), lebih menitikberatkan pada komunikasi satu arah, pemimpin membatasi peranan bawahan dalam pengambilan keputusan, bawahan lebih pada posisi menerima perintah dan arahan tugas.
  • b. Tipe Konsultatif (Selling), terjadi komunikasi dua arah antara pimpinan dan bawahan. Bahawan diberi ruang untuk menyampaikan pendapatnya, walau keputusan tetap pada pimpinan.
  • c. Tipe Partisipatif (Participative), komunikasi dua arah makin meningkat, peranan bahawan dan pimpinan dalam pengambilan keputusan seimbang, karena pimpinan tahu bahwa bawahan yang tahu banyak teknis operasionalnya nanti.
  • d. Tipe Delegatif, Pimpimnan mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi dengan bawahan, selanjutnya mendelegasikan keputusan kepada bawahannya. Bawahan dipercaya untuk mengambil langkah-langkah bagaimana keputusn itu dilaksanakan.
Pendekatan ini memberikan banyak arti yang cukup dalam bagi pemimpin dalam prakteknya yaitu dengan memasukan pertimbangan situasi tertentu secara keseluruhan dalam rancangan kegiatan. Karena itu dari keempat tipe itu, yang terbaik adalah yang sesuai dengan situasi dan kondisi organisasi.

G. JENIS-JENIS KEPEMIMPINAN
Ada 3 jenis kepemimpinan yaitu :
  1. Kepemimpinan Karismatik (charismatic) yaitu kepemimpinan yang berdasarkan kepada prestasi dan ia selalu berada didepan.
  2. Kepala (headship), yaitu kepemimpinan yang berdasarkan pada otoritas formal karena diangkat secara formal sebagai pemimpin.
  3. Kepemimpinan situasional adalah kepemimpinan yang muncul dari situasi yang tidak menentu, jika ada orang yang mampu membuat situasi itu menjadi jelas maka ia dapat dianggap sebagai pemimpin.

H. KEPEMIMPINAN VISONER.
Kepemimpinan visioner adalah seseorang pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan. Burt Nanus, dalam Visioner Leadership mengungkapkan Kepemimpinan Visioner harus mampu melakukan peran sebagai :

a. Direction Setter (menseting arahan),
kemampan dan memilih dan menyampaikan arahan target organisasi dalam menghadapi lingkungan eksternal masa depan.


b. Change Agent (agen perubahan), bertanggungjawab sebagai katalisator perubahan lingkungan internal (sdm, sarana dan prasarana) untuk mencapai visi organisasi.


c. Spokes Person (pembicara), sebagai penasehat/pendukung sekaligus negosiator organisasi serta visinya dalam menghadapi pihak luar


d. Coach (ketua tim), sebagai team builder (penyemangat) dan sebagai panutan di dalam organisasinya dalam mewujudkan visi organisasi.



I. CIRI-CIRI KEPEMIMPINANAN :

Orang yang bagaimana seharus menjadi seorang pemimpin ?, untuk menjawab itu, perlu dikenali beberapa cirri pemimpin yang baik, yaitu :
  1. Memiliki empati yang tinggi
  2. Merupakan anggota kelompok
  3. Penuh pertimbangan, kebijaksanan yang arif
  4. Lincah dan bergembira baik dalam suka maupun suka
  5. Memiliki emosi yang stabil
  6. Mempunyai keinginan dan ambisi untuk memimpin
  7. Memiliki kopetensi
  8. Memiliki intelegensi yang cukup
  9. Konsisten dengan sikapnya dapat diramalkan
  10. Memiliki kepercayaan pada diri sendiri yang cukup tinggi
  11. Memiliki kemampuan untuk berbagi keepntingan dengan anggota lain.
Sedang ciri-ciri yang berkaitan dengan sifat, seperti : kedewasaan, kekuatan hubungan social, motivasi diri, dorongan untuk berprestasi dan sikap kemanusiaan (Davis, 1983). Ada pula yang menambahkan seperti : inteltual, keadan emosional, keadaan fisik, imajinasi, kekuatan jasmani, kesabaran, kemauan berkorban, kemauan untuk bekerja keras.

Sedang Mar’at (1983) menyimpulkan cirri-ciri pemimpin yang baik itu adalah : bermoral, memiliki semangat korps, memiliki disiplin yang tinggi serta memiliki kecakapan (IQ, SQ, EQ).



J. KEPEMIMPINAN DALAM PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT

Kepemimpinan semakin menjadi kepedulian banyak pihak dan semakin menjadi issue penting, terutama ketika semakin disadari bahwa dinamika dan tantangan organisasi tidak dapat lagi diselesaikan dengan mengandalkan kehebatan managemen gaya lama perubahan yang serba cepat dan sering tidak menetu yang melanda berbagi dimensi disekitar lingkungan maupun dalam organisasi, menuntut adanya kelincahan gerak dan kemampuan adaptasi yang semakin tinggi dan cepat.

PSM, selaku pemimpin pembangunan dibidang kesejahteraan social yang bergerak ditengah-tengah masyarakat, yang dinamika dan kompleksitas permasalahan social dirasakan semakin tinggi. Maka harus membangun komitmen kepemimpinan yang visioner untuk menghadapi tantangan yang sekaligus peluang pada sekarang dan dimasa datang. Ada sepuluh komitmen perillaku kepemimpinan visioner yang ditawrkan oleh James M. Kouzes and Barry z. Posner, secara ringkas dapat diuaraikan sebagai berikut :


1. Mencari Peluang – Peluang Yang Menantang

Mencari peluang-peluang yang menantang sebagai salah satu komitmen utama kepemimpinan mempunyai arti bahwa seorang pemimpin diharapkan senantiasa berusaha agar kondisi “ status quo “ atau kemapanan yang statis tidak perlu dipertahankan, bahwa sebaliknya harus selalu dilakukan inovasi-inovasi guna penyesuaian dengan gelombang perubahan yang terjadi.

2. Berani Mencoba Dan Bersedia Tanggung Resiko

Berani mencoba dan bersedia “ tanggung resiko “ mempunyai makna yang sama dengan memiliki tekad yang kuat dan kerelaan yang dalam untuk berusaha belajar dari keberhasilan dan kegagalan, meskipun terpaksa harus membayar harga pengalaman dengan mahal dan konsekuensi yang besar. Tidak mungkin para pemimpin dapat memiliki pengalaman belajar yang bermakna bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi bila mereka tidak pernah berani mencoba dan “ tanggung resiko “

3. Memimpin Masa Depan.

Memimpin masa depan memiliki makna bahwa setiap pemimpin harus menampilkan pribadi yang memancarkan suatu visi atau pandangan tentang gambaran wujud masa depan dengan kuat.

4. Membina Kesamaan Visi.

Membina kesamaan visi atau menarik dan membawa orang lain ke dalam orientasi dunia yang menjadi visinya adalah merupakan kewajiban seorang pemimpin. Mengkomunikasikan visinya kepada semua pihak yang terkait dengan upaya mewujudkan visinya adalah usaha wajib yang harus dilakukan setiap pemimpin.

5. Memperkuat Mitra Kerja

Memperkuat mitra kerja mempunyai arti bahwa pemimpin berkewajiban untuk membagi atau memberikan kekuasan dan informasi yang dimilikinya agar semua pihak yang terlibat dalam proses pembaharuan mempunyai kekuatan atau sumber daya gerak pembaharuan yang sama.

6. Menunjukkan Ketauladanan

Menunjukkan Ketauladanan berarti bahwa seorang pemimpin mempunyai kewajiban untuk membuat orang lain dapat berbuat dengan memberikan contoh atau jalan awal bagi pertumbuhan selanjutnya

7. Merencanakan Keberhasilan Bertahap

Meskipun pemimpin mempunyai rencana besar dalam mewujudkan visinya namun hampir dapat dikatakan mustahil apabila rencana besar tersebut harus dilakukan dalam sekali langkah. Untuk itu kewajiban pemimpin untuk membuat rencana secara bertahap sesuai dengan peluang dan kemampuan yang mungkin dilakukan dalam setiap laju perkembangan.

8. Menghargai Setiap Peran Individu.

Pemimpin harus mampu menghargai setiap peran yang telah dimainkan oleh semua pihak yang ikut andil dalam menciptakan keberhasilan. Meskipun diketahui bahwa derajat peran dapat berbeda, namun hak untuk memproleh penghargaan adalah sama.

9. Menggalang Kerjasama

Menggalang Kerja sama atau mengupayakan agar orang – orang bersedia untuk bekerja dalam satu hati dan semangat kebersamaan adalah tugas dari seorang pemimpin. Pemimpin tidak mungkin dapat mewujudkan mimpi atau wujud nyata dari visinya tanpa memperoleh dukungan dari mitra kerja yang dipimpinnya, yang bersatu dalam satu ikatan kesamaan visi, nilai – nilai dan harapan masa depan

10. Mensyukuri Setiap Keberhasilan.

Mensyukuri setiap keberhasilan adalah kewajiban para pemimpin, dan keberhasilan sebagai nilai keberhasilan bersama, bahkan upayakan agar keberhasilan juga dapat dijadikan kesempatan emas untuk mendidik dan mengajarkan suatu nilai – nilai baru kepada banyak pihak. *********


DAFTAR PUSTAKA.
  • Adam Ibrahim, Drs. MPA, dkk. Kepemimpinan Dalam Organisasi, Penerbit LAN-RI, Jakarta, 2001.
  • Carolina Nitimiharjo, Jusman Iskandar, Dinamika Kelompok, Penerbit Kopma STKS, Bandung, 1993.
  • Gering Supriyadi, Drs. MM, dkk. Kepemimpinan Dalam keragaman Budaya, Penerbit LAN-RI, Jakarta, 2001.
  • -----------,(Modul), Peningkatan Ketrampilan Manajemen, Diperbanyak Proyek Diklat Depnaker, Jakarta, 1991/1992.
  • Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi, PT. Indeks, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2003.

***********


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TEHNIK KOMUNIKASI DAN MOTIVASI
DALAM PENDAMPINGAN ANAK PANTI

Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM
Widyaiswara Madya



A. PENDAHULUAN
Memasuki era informasi yang ditandai dengan kemajuan yang pesat dibidang teknologi informasi dan komunikasi, telah menghantarkan pada kondisi yang ditandai dengan gejala berupa sikap hidup yang kompetitif / persaingan yang tinggi, perilaku yang kompleks, tuntutan profesionalisme dan spesialisasi, ethos kerja yang produktif, berfikir ekonomis dan efisien.
Peksos dalam menjalankan fungsinya sangat erat kaitannya dengan kegiatan menumbuhkan motivasi. Keberhasilan seorang Peksos sangat ditentukan selain oleh kapabilitasnya dan kridibilitasnya, juga oleh kemampuannya dalam menumbuhkan motivasi kelayan untuk berbuat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Dalam menggerakkan kelayan, Peksos akan selalu menghadapi dua hal yang mempengaruhi orang dalam melaksanakan pekerjaannya, yaitu : Pertama, Kemampuan yang telah ditentukan oleh kualifikasi yang dimiliki, seperti pendidikan, pelatihan, pengalaman, dan sifat-sifat pribadi Peksos itu sendiri. Kedua : adanya dorongan yang dipengaruhi oleh sesuatu yang ada dalam dirinya dan lain-lain dari luar dirinya.

Dorongan dalam diri seseorang baik karena pengaruh dari sesuatu yang ada dalam dirinya, maupun karena pengaruh yang datang dari luar dirinya disebut motivasi.

Ada orang yang mempunyai kemauan untuk melaksanakan suatu pekerjaan tetapi kemampuannya terbatas, dan sebaliknya ada orang yang yang kemampuannya tinggi tetapi kemauannya rendah, maka didalam menghadapi orang seperti ini peranan motivasi sangat penting sedangkan terhadap orang-orang yang mau tetapi tidak mampu maka peranan peningkatan ketrampilan perlu menjadi pertimbangan.

Ketrampilan disini dimaksudkan dimana para Peksos dalam memberikan motivasi haruslah melihat siapa yang akan ditumbuhkan motivasinya. Karena didalam motivasi kita mengenal kondisi yang dapat merangsang seorang untuk berbuat sesuatu disebut motive/motivasi dan sebaliknya kondisi yang menyebabkan orang yang tidak mau berbuat sesuatu disebut demotive/demotivasi

Mengapa suatu ketrampilan perlu bagi seorang Peksos, jelas ketrampilan sangat diperlukan oleh seorang Peksos dalam menumbuhkan motivasi kelayan binaannya, karena dalam memberi motivasi yang berlebihan dapat berubah menjadi demotivasi, karena itu Peksos harus dapat menjaga keseimbangan antara motivasi dan demotivasi.

B. KOMUNIKASI
Secara etimologi (asal kata), kata komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari bahasa Latin communicatio atau communicatus yang bersumber dari kata communis atau common yang berarti ‘berbagi’ atau menjadi milik bersama atau ‘sama’. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Berdasarkan pengertian etimologi tersebut, komunikasi dalam berlangsung jika sepanjang ada kesaamaan makna apa yang dipercakapkan.

Secara harfiah, komunikasi diartikan sebagai pemberitahuan, pemberitaan, pembicaraan, percakapan, pertukaran pikiran atau hubungan. Menurut webster new collogiate dictionary dijelaskan bahwa komunikasi adalah “suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku”.

Pengertian komunikasi sudah banyak didefinisikan oleh banyak orang, jumlahnya sebanyak orang yang mendifinisikannya. Dari banyak pengertian tersebut jika dianalisis pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa komunikasi sebagai suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan, pikiran, gagasan atau emosi-emosi (perasaan) dari seseorang/kelompok orang ke orang lain/kelompok orang lain dengan menggunakan serangkaian lambang-lambang yang berarti.

Lambang-lambang komunikasi dapat verbal (bahasa lisan dan bahasa tulis), maupun non verbal (gesture/body language berupa isyarat, gerak anggota badan)
Komunikasi dikatakan komunikatif apabila keduabelah pihak selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan. Kegiatan komunikasi tidak hanya bersifat informative (agar pihak lain mengerti dan tahu), tetapi juga bersifat persuasif (agar pihak lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan), sehingga melakukan suatu perbuatan atau kegiatan yang diinginkan.

Tujuan komunikasi, adalah untuk melakukan pertukaran informasi, idea, pikiran dan pengalaman, saling pengertian, saling memahami, saling berhubungan antar orang, memelihara dan mengatur hubungan antar pribadi, saling mempengaruhi dan saling merespon dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya.
Berkomunikasi tidak sekedar untuk mencapai kesamaan pemahaman makna terhadap suatu pesan yang dikomunikasikan, melainkan mencakup pula aspek-aspek relasi dan interaksi antar manusia.

Melalui komunikasi orang mencoba mempengaruhi orang lain pada aspek kognisi (pengetahuan), afeksi (sikap), maupun psikomotoriknya agar terjadi perubahan dalam dirinya sesuai dengan apa yang diinginkan.

Fungsi komunikasi sebagai alat untuk menjembatani kebutuhan antara atara satu orang dengan orang lain dalam melakukan relasi dan interaksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu :
  1. Menyampaikan informasi atau pesan yang bermanfaat bagi orang lain
  2. Memperkuat pembentukan persepsi dan cara pandang seseorang
  3. Menciptakan penerimaan dan tanggapan positif terhadap masalah dan pengalaman baru
  4. Merangsang emosional
  5. Membentuk,merubah dan mempertahankan kesan
  6. Mempererat hubungan interpersonal untuk saling bekerjasama
  7. Mendorong partisipasi dan motivasi individu.

Agar jalannya komunikasi tidak mengalami kemacetan, artinya komunikasi dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan dari berkomunikasi dapat dicapai, maka sedikitnya ada 4 prinsip yang harus diperhatikan oleh komunikator (Peksos) terhadap komunikan (kelayan) yaitu :

1. Individualisasi, bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang unik atau berbeda-beda. Oleh karena itu dalam berkomunikasi jangan menggunakan cara dan pola komunikasi yang sama, melainkan disesuaikan dengan keunikan individu dan latar belakang kelayan yang akan diajak berkomunikasi.

2. Akseptasi, bahwa dalam berkomunikasi untuk menyampaikan informasi harus bersifat terbuka dan mau menerima siapa saja, tidak melakukan diskriminasi atas ras, agama golongan, status social yang ada pada kelayan

3. Situasional, hendaknya dapat menggunakan berbagai macam metoda dan sarana komunikasi yang ada yang sesuai dengan sistuasi dan kondisi lingkungan dan kelayan saat berkomunikasi.

4. Tidak menjustifikasi/menilai, dalam berkomunikasi jangan menghakimi atau menilai salah atau benar atas diri kelayan berdasarkan nilai dan kepercayaan yang ada pada diri komunikator

C. MOTIVASI
Motivasi berasal dari kata “motive” yang diartikan sebagai suatu kondisi yang menggerakkan suatu makhluk yang mengarahkan sesuatu kepada suatu tujuan tertentu ( Fillmore H. Sanfort ).
Motif, adalah suatu dorongan, alasan yang mendorong atau sebab-sebab yang mendorong untuk bertindak atau berbuat sesuatu. Dengan demikinan, motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang untuk berbuat sesuatu atau berperilaku tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Menurut pendapat Gary A.Stainer menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu kondisi mental yang mendorong suatu aktivitas yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidak seimbangan.

Menurut pendapat J.Ravianto : Motivasi merupakan suatu daya pendorong yang menyebabkan orang berbuat sesuatu yang atau yang ia perbuat karena takut sesuatu.

Motivasi Menurut Teori Kebutuhan
Maslow (Abraham H. Maslow) mengungkapkan motivasi ini melalui teori kebutuhan, bahwa tindakan manusia pada hakekatnya adalah adanya motivasi atau dorongan untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupannya yang meliputi :

a. Kebutuhan badaniah (Physiological Needs):
Kebutuhan untuk mempertahankan hidup yang meliputi kebutuhan psikologis, kebutuhan yang dipandang sebagai kebutuhan yang mendasar, setiap orang membutuhkannya terus menerus sejak lahir hingga mati, seperti sandang pangan, papan dsb. Juga kebutuhan biologis ( kebutuhan mengembangkan keturunan )

b. Kebutuhan keamanan (Safety Need)
Kebutuhan akan rasa aman harus dilihat dalam pengertian yang luas, tidak hanya dalam arti keamanan fisik semata, akan tetapi juga keamanan yang bersifat fisiologis seseoarng (seperti aman terhadap harta bendanya, jasmaninya ) maupun keamanan batinnya (seperti perlakuan adil, jaminan hari tua, rasa aman dalam melakukan kegiatan keagamaan )

c. Kebutuhan Social (Social need)
Kebutuhan kehidupan sosialnya berupa kebutuhan akan perasaan diterima oleh lingkungan masyarakatnya,dimanapun manusia berada baik dimasyarakat atau dilembaga suatu organisasi,mereka butuh pengakuan akan keberadaannya dan penghargaaan atas harkat dan martabatnya.

d. Kebutuhan akan penghargaan (Esteem Need)
Kebutuhan akan suatu penghargaan/prestise,berupa kebutuhan akanharga diri dan pandangan baik orang lain terhadap dirinya,keberadaan dan status sesorang biasanya tercermin pada berbagai lambang penggunaannya,sering dipandang sebagai hak seseorang didalam dan diluar organisasinya.

e. Kebutuhan akan pengakuan / Aktualisasi Diri (Self Actualization)
Kebutuhan mempertinggi kapasitas dirinya,kebutuhan menegani nilai dan kepuasan yang didapatdari pekerjaan,kebutuhan ini didalam manifestasinya nampak pada keinginan mengembangkan kapasitas mental dan kapasitas kerja, misalnya melalui pendidikan, pelatihan, seminar dan loka karya.

Dalam jenjang kebutuhan Maslow menjelaskan tingkah laku atau tindakan setiap individu pada suatu saat tertentu akan berbeda-beda, dan ditentukan oleh kebutuhannya yang paling mendesak oleh individu yang bersangkutan oleh karena itu bila ingin menumbuhkan memotivasi kelayan hendaknya memahami jenjang kebutuhannya. Kebutuhan yang berbeda-beda pada setiap individu atau kelompok individu tersebut disebabkan oleh latar belakang pendidikan, statusnya, pengalamannya, cita-cita dan harapan masa depannya serta pandangan hidupnya.

Motivasi Menurut Teori Pengharapan (Expectance Theory ),
Dalam Teori Pengharapan, yang merupakan teori baru tentang motivasi yang dikembangkan oleh Victor Vroom mengemukakan bahwa, keinginan seseorang untuk menghasilkan (berproduksi) sangatlah tergantung atas tujuan yang ingin dicapainya.

Vroom mengemukakan bahwa produktivitas (hasilan yang tinggi) merupakan alat pemuas bagi seseorang / kelompok orang. Karena itu bila kita ingin menumbuhkan motivasi seseorang / kelompok orang perlu diberi pengertian tentang tujuan yang ingin kita capai, tindakan yang harus dilakukan serta hasil dari tindakan/usaha yang kita lakukan (yang merupakan pencapaian tujuan ).
Apabila seseorang/kelompok orang berusaha dengan baik, dan bekerja dengan baik ( produktif ), maka yang dihasilkan akan meningkat (produktif ). Ini artinya disamping tujuan tercapai, prestise juga meningkat serta apa yang diharapkan dari usaha itu dapat dirasakan oleh semua anggota kelompok tersebut.

Tujuan motivasi.
Motivasi sebagai daya penggerak / daya dorong tingkah laku manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk mencapai tujuan. Penumbuhan motivasi kelayan bertujuan untuk membangkitkan daya gerak / daya dorong tingkah laku kelayan dalam mencapai tujuannya.

Penumbuhan motivasi sangatlah erat dengan kondisi psikis yang ada pada seseorang / kelompok orang yang akan kita tumbuhkan motivasinya, dan merupakan proses psikologis yang terjadi dalam setiap diri seseorang yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, keinginan, persepsi, pandangan hidup, dll.

Pada umumnya seseorang berbuat, berperilaku, atau mau melakukan sesuatu pekerjaan, karena adanya dorongan keinginan tertentu dalam dirinya, diantaranya adalah :
a) Keinginan untuk bertahan hidup ;
b) Keinginan untuk memiliki sesuatu ;
c) Keinginan untuk memperoleh kepuasan ;
d) Keinginan untuk memperoleh kekuasaan ;
e) Keinginan untuk memperoleh pengakuan ;
f) Keinginan untuk memperoleh penghormatan ; dll.

Jadi seseorang berperilaku / berbuat sesuatu atau melakukan sesuatu pekerjaan / tindakan karena mempunyai motif-motif atau dorongan-dorongan tertentu, bisa karena untuk bertahan hidup, atau ingin memiliki sesuatu, ingin suatu kekuasaan, dll.

Fungsi motivasi.
Yang menjadi permasalahan adalah bahwa motivasi dalam diri seseorang tidak selalu timbul dengan sendirinya, tidak jarang motivasi harus ditumbuhkan, dikembangkan dan diperkuat.

Anak-anak dalam panti yang menjadi kelayan Peksos, menuntut para Peksos harus mampu menumbuhkan motivasi kelayan anak panti tersebut terhadap usaha kesejahteraan sosial demi peningkatan taraf hidupnya, martabat kemanusiaannya, sehingga mau melakukannya dengan sukarela dengan apa yang telah diprogram untuk pengembangan kepribadiannya dirinya.

Dengan terus menumbuh-kembangkan motivasi dalam diri kelayan, akan memperlancar pelaksanaan program kegiatan usaha kesejahteraan sosial yang telah direncanakan oleh Peksos terhadap kelayan.

D. TEKNIK KOMUNIKASI DAN MOTIVASI DALAM PENDAMPINGAN ANAK PANTI
Berkomunikasi dan memberikan motivasi terhadap kelayan anak dalam panti dengan maksud untuk membantu dalam membuka wawasan / cakrawala pandang dan cakrawala berfikir yang luas agar memiliki kepercayaan diri.

Seseorang yang pada awalnya tidak ada kemauan untuk berubah bahkan menunjukan sikap yang tidak bersahabat, tidak mau berbuat, acuh tak acuh kepada kehidupan sosial di lingkungannya, setelah mampu melakukan komunikasi dengan pembimbingnya (Peksos), ia secara perlahan mulai membuka diri dan mulai menerima masukan dari luar dirinya untu melakukan perubahan.

Hal ini karena pada sebagian orang melakukan komunikasi merupakan sumber pertama untuk interaksi social, Komunikasi yang terjadi merupakan mekanisme fundamental dimana seseorang dapat menunjukan kegembiraaan, kebanggaan, kepuasan atau kekecewaan dan kejengkelannya. Oleh karena itu komunkiasi memfasilitasi pelepasan ungkapan emosi perasaan dan pemenuhan kebutuhan social.

Komunikasi juga dapat mepermudah pengambilan keputusan pada diri seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, karena dengan komunikasi mendapat informasi yang yang diperlukan untuk mengambil keputusan dengan mengenali dan mengevaluasi pilihan alternative yang ada.

Melakukan motivasi tentunya tidak lepas dari komunikasi, karena komunikasi memperkuat motivasi dengan menjelaskan kepada seseorang apa yang harus dilakukan, seberapa baik atau buruk tindakan seseorang dan apa yang dapat diperbuat untuk memperbaiki kehidupannya.

Dalam melakukan komunikasi dan motivasi dengan kelayan dalam pendampingan anak di panti, hendaknya dilakukan dengan perencanaan yang baik, dengan memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Kegiatan Persiapan :
  • Ketahuilah terlebih dahulu karakter, sikap, keinginan/kebutuhan, kebiasaan atau kemampuan kelayan tersebut ;
  • Identifikasi permasalahan kelayan yang akan diajak berkomunikasi dan dimotivasi ;
  • Menyusun rencana kegiatan, apa yang akan dikomunikasikan untuk memotivasi; kapan, berapa lama, dan medianya, dll.
2. Pelaksanaan :
Dalam pelaksanaan komunikasi dan memotivasi kelayan dapat dilakukan dengan berbagai cara :

a. Komunikasi tatap muka perorangan ;
Karena setiap individu memiliki problema social yang dipengaruhi oleh karakteristik dan psikologis secara individual, maka diperlukan berkomunikasi secara individual/perorangan agar memiliki ruang dan waktu yang lebih terbuka tentang hal-hal yang pribadi sefatnya yang ada pada kelayan.

Komunikasi langsung/tatap muka memiliki kelebihan yaitu hubungan psikologis lebih dekat dan umpan balik langsung dan seketika sehingga pertukaran informasinya bisa saling merespon secara langsung dan seketika.

b. Komunikaasi tatap muka kelompok.
Komunikasi tatap muka secara kelompok, dimaksudkan untuk memberikan wawasan dan informasi secara umum, dan berlaku umum, sehingga setiap individu merasa tidak diperlakukan diskriminasi, misalnya mengenai aturan-aturan yang harus ditaati oleh semua kelayan, dll.

c. Menumbuhkan Motivasi Kelayan.
Untuk menumbuhkan motivasi, karena seseorang mau melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena adanya dorongan atau motivasi tertentu, karena itu perlu menumbuh-kembangkan motivasi kelayan agar mau melakukan tindakan yang diinginkan oleh Peksos. Strateginya adalah sebagai berikut :

1) Kompetisi atau persaingan,
Untuk membangkitkan motif (menumbuhkan motivasi) dengan cara kompetisi, dapat juga dilakukan dalam dua cara :

Pertama,
kompetisi dengan prestasi sendiri, dalam pengertian kepada individu tersebut ditunjukkan prestasi yang telah dicapai olehnya, dan didorong untuk terus meningkatkan prestasi tersebut lebih baik.
(misalnya : kemarin kamu bisa, sekarang kamu harus bisa ; kamu adalah anak pintar, tentu kamu bisa, dsb. )

Kedua, kompetisi dengan prestasi orang lain, dengan memperlihatkan prestasi orang lain dibidang yang sama dengan maksud untuk merangsang atau mendorong agar ia mau berbuat yang sama.
( Misalnya : dia yang badanya lebih kecil dari kamu bisa, tentu kamu lebih bisa, dll )

2) Mendekatkan Tujuan,
Tujuan dari suatu kegiatan seringkali sangat jauh (ideal), sehingga kalau melihat tujuan yang sangat jauh (sulit diwujudkan secepatnya ) membuat individu menurun semangatnya / tidak bersemangat untuk melakukan sesuatu. Untuk menumbuhkan motivasi yang kuat, tujuan yang ditetapkan hendaknya dirumuskan yang konkrit yang secara rasio dapat diwujudkan dalam waktu dekat (dalam sasaran jangka pendeknya)

Contoh : tujuan hidup sejahtera masih abstrak, maka konkritkan tujuan tersebut, seperti dengan mengikuti ketrampilan ...agar dapat bekerja, akhirnya berpengasilan, sehingga bisa hidup layak dan --- sejahtera.

3) Tujuan Yang Jelas dan Diakui.
Kalau tujuan yang ingin dicapai itu jelas dan sangat berarti (diakui manfaatnya) bagi kelayan yang ditumbuhkan motivasinya, maka ia akan bersemangat untuk mewujudkannya. Semakin jelas dan berarti tujuan yang ditetapkan, semakin bersemangat untuk mencapainya.

Misalnya, Seorang anak yang punya kecenderungan terhadap music, jangan diajari dengan intensitas tinggi tentang masalah diluar music, karena ia merasa ini tidak menyangkut tentang dirinya, sehingga tidak timbul minat yang medorong timbulnya motivasi

4) Minat.
Suatu kegiatan akan berjalan baik dan lancar apabila ada minat. Sedang motivasi akan bangkit bila ada minat yang besar. Untuk menumbuhkan motivasi kelayan dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan minat dengan jalan sbb. :

a) Membangkitkan suatu kebutuhan; misalnya kebutuhan untuk menghargai keindahan ( motif untuk hidup bersih ); kebutuhan akan penghargaan ( motiv untuk meningkatkan status ), dsb.

b) Mengungkap pengalaman keberhasilan, misalnya, memperlihat kan bahwa pengalaman menunjukkan dengan kerja keras akan kita peroleh hasil yang lebih baik ( atau pengalaman-pengalaman lain yang mampu menumbuhkan motiv terhadap kelayan ). Misalnya, pengalaman menunjukkan bahwa dengan kita bersatu, hal yang berat terasa ringan (membangkitkan motivasi utnuk bersatu )

c) Menunjukkan kesuksesan seseorang, memberitahukan keberhasilan / kesuksesan yang diperoleh individu, sebab kesuksesan akan menimbulkan kepuasan ( hasil pekerjaan yang memuaskan akan menumbuhkan motivasi seseorang / kelompok individu pada pekerjaan yang sama untuk berikutnya )******

DAFTAR PUSTAKA.
  • Astrid, S. Susanto, Dr. phil. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek – 1, Penerbit Binacipta, Bandung, 1974.
  • Effendy, Onong Uchyana, Drs, MA, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Penerbit Remaja Karya CV, Bandung, 1985.
  • Effendy, Onong Uchyana, Drs, MA, Dimensi-Dimensi Komunikasi. Penerbit Alumni Bandung, 1986.
  • Muhammad, Arni, Dr. Komunikasi Organisasi. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2005.
  • Pusdiklat Kesos Depsos RI, Modul Pelayanan Sosial Bagi Panti Sosial Asuhan Anak Swasta. Jakarta. 2007.
  • Pelatihan Pembinaan Motivasi untuk meningkatkan Prestasi,WSPK Lembaga Penelitian IKIP Jogyakarta,
  • Robbins, Stephen P, Perilaku Organisasi,PT. Indeks kelompok Gramedia.
  • Pelatihan Pembinaan Motivasi untuk meningkatkan Prestasi,WSPK Lembaga Penelitian IKIP Jogyakarta,
  • ................., Modul Pelatihan Pembinaan Motivasi Untuk Meningkatkan Prestasi, Penerbit Wahana Study Pengembangan Kreatifitas Lembaga Penelitian IKIP Jogjakarta.
  • .................., Modul Pola kerja Terpadu, Penerbit Lembaga Administrasi Negara (LAN), Tahun 1991.
  • Buchari Zainun, Prof., Dr., Manajemen dan Motivasi, Balai Pustaka
  • Carolina. N., Dra., MSW., Psikologi Sosial, Penerbit STKS Bandung.
  • Mirran. S. Arif, Drs. MSc., Organisasi dan Manajemen, Penebit Karunika Jakarta, Universitas Terbuka Jakarta, 1985.


***********














  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH
( SPIP)
Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM

I. LATAR BELAKANG.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara telah membawa implikasi perlunya system pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan transparan. Semua dapat dicapai jika seluruh penyelenggara Negara dari tingkat pimpinan sampai ditingkat pelaksana mampu melaksanakannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban, dilaksanakan secara tertib, terkendali, efisien dan efektif.

Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, memerintahkan pengaturan lebih lanjut ketentuan mengenai sistem pengendalian intern pemerintah secara menyeluruh dengan Peraturan Pemerintah, yakni “Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh”.

Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini dilandasi pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang dapat memberi keyakinan memadai bahwa penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif, melaporkan pengelolaan keuangan negara secara andal, mengamankan aset negara, dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Dengan latar belakang pemikiran tersebut, dikembangkan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang berfungsi sebagai pedoman dalam penyelenggaraan dan tolok ukur efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern, maka pada tanggal 28 Agustus 2008 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60/2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) untuk menjawab tantangan birokrasi pemerintahan di Indonesia dalam mengelola keuangan Negara.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) tersebut Unsur-unsurnya mengacu pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yang meliputi :
a. Lingkungan pengendalian Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang sehat.

b. Penilaian risiko Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.

c. Kegiatan pengendalian Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa
arahan pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.

d. Informasi dan komunikasi Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.

e. Pemantauan Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti.

Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern dilakukan pengawasan intern dan pembinaan penyelenggaraan SPIP. Pengawasan intern merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian intern yang berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.

Untuk pelaksanaan tindak lanjut dari PP No. 60 tahun 2008 tentang SPIP tersebut, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 120/2536/SJ tanggal 25 Juni 2010, yang paling tidak berisi lima ietm pokok, yaitu meliputi :
  1. Meningkatkan efektivitas SPIP di lingkungan pemerintah daerah,
  2. Mempercepat penyusunan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota yang mengatur penyelenggaraan SPIP,
  3. Membentuk Satgas SPIP dalam rangka menjaga keberlangsungan penyelenggaraan SPIP,
  4. Pimpinan dan seluruh pegawai, agar mengikuti sosialisasi dan diklat SPIP, dan
  5. Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan agar bekerja sama dan bersinergi dengan BPKP.

II. ESENSI DAN SPIRIT SPIP
Esensi dan Spirit yang mendasari PP yang diadopsi dari pengertian pengendalian intern menurut Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) yang merincikan pengendalian intern ke dalam 5 unsur yakni : lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi serta pemantauan/monitoring, yang kemudian dituangkan dalam Bab II PP No. 60 Tahun 2008 tersebut.

Satu hal yang menarik dalam konsep pengendalian intern menurut COSO ini adalah munculnya Aspek soft control yaitu aspek si pelaku sistem yang tercermin dalam komponen lingkungan pengendalian, antara lain integritas dan nilai etika, filosofis manajemen dan gaya operasi. Ini terlihat pada Pasal 5 PP-SPIP, ditegaskan bahwa “ Penegakan integritas dan nilai etika sekurang-kurangnya dilakukan dengan : menyusun dan menerapkan aturan perilaku; memberikan keteladanan pelaksanaan aturan perilaku pada setiap tingkat pimpinan Instansi Pemerintah; menegakkan tindakan disiplin yang tepat atas penyimpangan ; dst. Penerapan integritas dan nilai etika perlu diterapkan suatu aturan perilaku yang berisi praktik yang dapat diterima dan praktik yang tidak dapat diterima termasuk benturan kepentingan.

Sebagai contoh, batasan “ucapan terimakasih” yang boleh diterima dari pihak yang menerima jasa pelayan birokrasi pemerintah memang cukup sulit untuk ditentukan dan dibuktikan dalam praktiknya. Hal ini mendorong unsur soft control ini juga perlu dibarengi dengan mekanisme pengawasan dan penerapan sanksi apabila terjadi pelanggaran etika.

Selain itu, diuraikan juga dalam pasal 7, mengenai aspek kepemimpinan yang kondusif antara lain komitmen pimpinan instansi pemerintah dalam mempertimbangkan risiko dalam pengambilan keputusan, menerapkan manajemen berbasis kinerja serta respon positif terhadap pelaporan terkait keuangan, penganggaran, program dan kegiatan.

Untuk aspek hard controlnya, adalah berbagai kebijakan dan pedoman sebagai alat pengendali dalam manajemen pemerintahan. Salah satunya adalah kegiatan pengendalian yang terdiri dari beberapa item antara lain review atas kinerja instansi pemerintah, pengendalian atas pengelolaan sistem informasi, pengendalian fisik atas aset, penetapan dan review atas indikator dan ukuran kinerja serta pemisahan fungsi.

PP nomor 60 tahun 2008 ini juga merupakan langkah konkrit untuk membentuk internal control system artinya pengawasan by system. Siapapun pemegang amanah birokrasi pemerintahan, maka dengan sendirinya sistem yang akan melakukan pengawasan guna mencapai visi, misi dan tujuan organisasi dalam arti sempit dan mencapai visi, misi dan tujuan bernegara dalam arti seluas-luasnya sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya.

Ketika internal control system yang dijabarkan dalam SPIP bekerja secara otomatis melakukan fungsi pengawasan, maka setiap insan birokrasi pemerintah suka tidak suka akan bekerja “under control” /dibawah pengawasan system yang berlaku. Selanjutnya, apabila kondisi ini dipertahankan maka terciptalah internal control culture, artinya sistem pengendalian intern menjadi bagian dari budaya organisasi pemerintahan di Indonesia.

SPIP penting untuk dipahami tidak saja oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) namun juga ke seluruh komponen pelaku manajemen pemerintahan, seluruh jajaran PNS tanpa terkecuali untuk melindungi agar tidak terjerumus ke dalam salah urus manajemen atau mal adiminsitrasi bahkan “terpeleset” ke ranah Tindak Pidana Korupsi.

Melalui komitmen dan upaya nyata menerapkan SPIP secara konsisten dan berkesinambungan, kiranya SPIP menjadi suatu kebutuhan dan bahkan suatu budaya. Efektivitas SPIP sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya SPIP menjelma menjadi internal control culture organisasi pemerintahan di Indonesia guna menciptakan good governance dan clean government.

III. PERKEMBANGAN SPIP
1. Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan ;
2. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat ;
3. Keputusan Menteri PAN No. 30 Tahun 1994 tentang petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri PAN No. KEP/46/M.PAN/2004: Unsur-unsur Waskat adalah : Pengorganisasian ; Personil ; Kebijakan ; Perencanaan ; Prosedur ; Pencatatan ; Pelaporan ; dan Reviu intern.
4. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)

IV. DASAR HUKUM SPIP
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara :
• Pasal 55 ayat (4) : Menteri/Pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBN telah diselenggarakan berdasarkan Sistem Pengendalian Intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).
• Pasal 58 ayat (1) dan (2) : Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintah mengatur dan menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern di lingkungan pemerintah secara menyeluruh. SPI ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

V. PENGERTIAN SPI DAN SPIP
1. Sistem Pengendalian Intern (SPI) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan (PP 60/2008, Bab I Ps. 1 butir 1)

2. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, (SPIP), adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. (PP 60/2008, Bab I Ps. 1 butir 2)

3. Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (Bab I Ps.1 angka 3).

VI. UNSUR – UNSUR SPIP
A. Unsur Lingkungan Pengendalian.
Adalah kondisi dalam instansi pemerintah yang mempengaruhi efektifitas pengendalian intern.

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya, melalui :
1. penegakan integritas dan nilai etika;
2. komitmen terhadap kompetensi;
3. kepemimpinan yang kondusif;
4. pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
5. pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
6. penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia;
7. perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan
8. hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.

B. Unsur Penilaian Resiko.
Adalah kegiatan penilaian atas kemungkinan kejadian yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran instansi pemerintah. Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penilaian risiko,
• Penilaian risiko terdiri atas:
1. Identifikasi Risiko; dan
2. Analisis Risiko.
• Dalam rangka penilaian risiko pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan:
1. Tujuan Instansi Pemerintah; dan
2. Tujuan pada tingkatan kegiatan.

Tujuan Instansi Pemerintah; memuat pernyataan dan arahan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu, dan wajib dikomunikasikan kepada seluruh pegawai.

Untuk mencapai tujuan Instansi Pemerintah pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan:
1. strategi operasional yang konsisten; dan
2. strategi manajemen terintegrasi dan rencana penilaian risiko.
Tujuan pada tingkatan kegiatan, sekurang-kurangnya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1. berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah;
2. saling melengkapi, saling menunjang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya;
3. relevan dengan seluruh kegiatan utama Instansi Pemerintah;
4. mengandung unsur kriteria pengukuran;
5. didukung sumber daya Instansi Pemerintah yang cukup; dan
6. melibatkan seluruh tingkat pejabat dalam proses penetapannya.

C. Unsur Kegiatan Pengendalian.
Adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi resiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi resiko telah dilaksanakan secara efektif.

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan.

• Karakteristik kegiatan Pengandalian
1. kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah;
2. kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko;
3. kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah;
4. kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis;
5. prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai yang ditetapkan secara tertulis; dan
6. kegiatan pengendalian dievaluasi secara teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan.

• Kegiatan Pengendalian terdiri dari :
1. reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
2. pembinaan sumber daya manusia;
3. pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;
4. pengendalian fisik atas aset;
5. penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;
6. pemisahan fungsi;
7. otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
8. pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
9. pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;
10. akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan
11. dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting.

D. Unsur Informasi Dan Komunikasi.
Informasi adalah data yang telah diolah yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan atau informasi dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan umpan balik
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat, secara efektif.

Untuk menyelenggarakan komunikasi yang efektif tersebut, pimpinan Instansi Pemerintah harus sekurang-kurangnya :
1. Menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan
2. Mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus ( Memanage Sistem Informasi ).

E. Unsur Pemantauan Pengendalian Intern.
Adalah proses penilaian atas mutu kinerja Sistem Pengendalian Intern dan proses yang memberikan keyakinan bahwa temuan audit dan evaluasi lainnya segera ditindaklanjuti.

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pemantauan Sistem Pengendalian Intern, melalui :
1. Pemantauan Berkelanjutan,
2. Evaluasi Terpisah, dan
3. Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya.

VII. PENGUATAN EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN SPIP
Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern di lingkungan masing-masing.

Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas Sistem Pengendalian Intern dilakukan:
1. Pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara; dan
2. Pembinaan penyelenggaraan SPIP.

Pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah, melalui :
1. Audit;
2. Reviu;
3. Evaluasi;
4. Pemantauan; dan
5. Kegiatan pengawasan lainnya.

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) tersebut, terdiri atas:
1. BPKP;
2. Inspektorat Jenderal;
3. Inspektorat Provinsi;
4. Inspektorat Kabupaten/Kota ;

Pembinaan Penyelenggaraan SPIP. dilakukan oleh BPKP, meliputi:
1. Penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP;
2. Sosialisasi SPIP;
3. Pendidikan dan pelatihan SPIP;
4. Pembimbingan dan konsultansi SPIP; dan

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. UU No 1 tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara
2. PP No 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pemerintahan Intern Pemerintah
3. SE Kementerian Dalam Negeri No. 120/2536/SJ/ tanggal 25 juni 2010

****** ( Malang, 15 Desember 2010 ) ******





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KONSEPSI PELAYANAN PRIMA
DALAM PELAYANAN PUBLIK

Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM

I. PENDAHULUAN.
Tuntutan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, mendorong pemerintah untuk kembali memahami arti pentingnya suatu kualitas pelayanan serta pentingnya dilakukan perbaikan mutu pelayanan terhadap rakyatnya. Perbaikan pelayanan pemerintah ini, tidak saja ditujukan untuk memberi iklim kondusif bagi dunia usaha nasional dan meningkatkan daya tarik arus investasi ke Indonesia karena kredibilitas dan akuntabilitas pemerintahan yang meningkat, namun sudah merupakan kuwajiban pemerintah dalam penyediaan pelayanan yang berkualitas, yang merupakan bagian dari good governance, demokratisasi dan transparansi. Penyedian pelayanan publik yang berkuwalitas merupakan salah satu alat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang menurun akibat krisis global yang menerpa kita.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia, antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak setiap warga Negara atas barang public dan jasa publik.

Pelayanan publik merupakan pilar dasar penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis kerakyatan. Upaya membangun pemahaman untuk mewujudkan pelayanan publik (public service) yang sesuai dengan koridor tata kelola pemerintahan yang baik (good govemane) dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dengan paradigma baru (the new paradigm) berubahnya birokrasi sebagai pangreh (penguasa) menjadi abdi (pelayan) masyarakat perlu dilakukan internalisasi terhadap setiap insan birokrat.


Melakukan optimalisasi pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan mengingat melakukan pembaharuan dan reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan public tersebut menyangkut pelbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang feodalistik dan Weberian, yang lebih mengedepankan kekuasaan berbasis struktur, ketimbang pendekatan fungsi dan sasaran kinerja, sehingga prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi masih sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat.

Namun harus diakui setelah sepuluh tahun lebih reformasi, sudah banyak perubahan dan peningkatan dalam pelayanan public, upaya kearah itu harus terus ditingkatkan dengan meningkatkan pemahaman konsep-konsep pelayanan prima bagi sumber daya manusia dalam birokrasi pemerimntahan.


II. PENGEMBANGAN SDM APARATUR PELAYANAN.
Usaha peningkatan kinerja pelayanan oleh pemerintah/badan-badan public tanpa mengikut sertakan sumber daya aparatur birokrasinya akan sia-sia saja, karena justru unsur sumber daya manusia inilah yang banyak menentukan berhasil tidaknya program peningkatan pelayanan yang dilakukan, disamping faktor lainnya, seperti kinerja peraturan dan program kerjanya.

Sumber Daya Manusia, secara makro dapat diartikan semua manusia sebagai penduduk atau warga negara suatu Negara tertentu dalam batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan kerja. Sedang pengertia secara mikrio adalah manusia atau orang yang bekerja atau mejandi anggota organisasi yang biasa disebut dengan personil, pegawai, karyawan, pekerja yang merupakan asset dan motor penggerak organisasi. Dalam kontek usaha peningkatan pelayanan umum SDM secara makro maupun secara mikro harus tetap menjadi perhatian. SDM secara makro yaitu seluruh masyarakat (angkatan kerja) disiapkan menjadi masyarakat yang disiplin, taat asas, patuh terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku, sebagaimana yang dituntut kepada SDM Aparatur (secara mikro).


Dalam kegiatan pelayanan umum, selama ini aparatur birokrasi sering dituduh sebagai penyebab timbulnya berbagai ketidakpuasan masyarakat terhadap bentuk pelayanan umum dari pemerintah. Kultur birokrasi pemerintahan yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan masyarakat ternyata belum dilakukan secara efektif. (jargon kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah, kadang masih sering ditemui di counter-counter pelayanan) . Sentralisme dalam birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi (Dwiyanto, 2000). Patologi birokrasi ini muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi struktur kekuasaan, bukannya kepada publik. Implikasinya aparat yang seharusnya melayani masyarakat malah justru aparatlah yang minta dilayani.


Untuk menciptakan pelayanan yang baik dan berkualitas, menuntut aparatur pelayanan umum memiliki visi inovatif, professional, serta responsibility yang tinggi untuk menciptakan system pelayanan yang lebih adil, transparan, demokratis dan lebih dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat. Untuk hal ini, Kumorotomo (1996) menyatakan, yang terpenting dalam peningkatan kinerja pelayanan umum adalah menegakkan dan menguatkan dasar fondasi aparat birokrasi pada prinsip-prinsip moral dan etika.


Posisi penting yang dimiliki oleh sumberdaya aparatur pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan umum oleh badan-badan public/pemerintah, karena aparat birokrasi merupakan kepanjangan tangan dari seluruh kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Dengan melakukan penegakkan dan penguatan melalui pendekatan prinsip-prinsip moral dan etika yang mengikat pada setiap aparatur penyelenggara pelayanan umum, bahwa setiap orang yang menerima suatu pekerjaan harus bersedia melakukan dengan niatan yang baik dan menerima tanggung jawab yang menyertainya serta mau menanggung sebagai konsekuensi atas setiap kegagalan yang mungkin terjadi. Tak seorangpun dapat menghindar dari pernyataan bahwa para aparatur birokrasi harus melakukan apa yang menjadi harapan rakyat, menaati kaidah hukum, menaruh perhatian terhadap keprihatinan dan masalah-masalah warga negara, dan mengikuti pola perilaku etis tanpa cacat.


Menyandarkan pada rasionalitas saja terkadang tidak mampu untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan hakiki orang banyak dan tidak jarang keputusan-keputusan yang baik harus menyertakan pengalaman, intuisi, dan hati nurani. Kumorotomo, mengungkapkan bahwa, bagaimanapun juga falsafah, kearifan, dan niat baik akan menjadi penopang yang paling kokoh bagi para administrator untuk menjaga kewibawaan dan kredibilitas mereka. Lebih dari itu, dalam persoalan apapun sepanjang menyangkut hubungan antar dua atau lebih individu, pertanyaan-pertanyaan yang mengandung nilai-nilai filosofis dan moral akan senantiasa relevan (Kumorotomo, 1996:136).

Adalah merupakan sebuah keharusan bagi aparat pemerintah untuk lebih meningkatkan kesadaran akan moralitasnya, mengingat interaksi antar individu yang berlangsung pada proses pelayanan, memiliki kerawanan yang berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, illegal cost, dan interes-inters individu. Walau dalam kondisi empiris, memasukkan nilai-nilai moral dan etika ke dalam manajemen pelayanan umum/publik merupakan hal yang tidak mudah, karena berkaitan dengan kultur, pola pikir (mindset), system yang sudah berlangsung lama dan sudah menjadi norma dan perilaku aparatur pemerintah, meski semua ini sangat tergantung dari aparat itu sendiri. Disinilah pentingnya pelibatan SDM-aparatur pelayanan dalam setiap upaya dalam program peningkatan kinerja pelayanan public.


Menurut Stephen R. Covey, moral dan etika kepribadian manusia lebih memfokuskan pada pengintegrasian prinsip integritas, kerendahan hati, kesetiaan, kerajinan, pembatasan diri, keberanian, keadilan, kesabaran, kesederhanaan, kesopanan, dan hukum utama, yakni berbuatlah kepada orang lain seperti yang anda kehendaki dan harapkan orang lain berbuat dan berperilaku kepada anda.


Penerapan etika kepribadian ini sering kurang berhasil karena proses yang terjadi adalah semacam pemaksaan dari luar ke dalam diri manusia. Stephen Covey menawarkan proses yang sebaliknya, seharusnya proses terjadi bukan dari luar ke adalam ( pemaksaan ) melainkan dari dalam menuju keluar ( kesadaran ), yang disebut sebagai etika karakter. Keduanya merupakan paradigma sosial.


Pendekatan dari dalam ke luar adalah satu proses untuk kematangan publik (public victory) yang harus dicapai melalui kematangan pribadi ( private victory ) terlebih dahulu. Akan sia-sia memperbaiki hubungan dengan orang lain, sebelum mampu memperbaiki hubungan dengan diri sendiri. Ini merupakan proses yang berbentuk spiral pertumbuhan ke atas yang menyebabkan bentuk yang semakin tinggi dari ketergantungan (dependence), menjadi mandiri (Independence) dan berakhir menjadi saling ketergantungan (interdependence)


III. PELAYANAN.
Kedekatan dan kepercayaan hubungan produsen dengan pelanggan (yang melayani dan yang dilayani) hanya dapat dibina melalui kegiatan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhanya Oleh karena itu dunia usaha harus terus berpacu mengembangkan pelayanan yang semakin hari semakin baik, karena bagi dunia usaha kepercayaan pelanggan merupakan faktor produksi yang utama. Demikian juga lembaga-lembaga public , reformasi telah mendorong kuatnya tuntutan public terhadap peningkatan dan transparansi pelayanan public yang diberikan oleh badan-badan public (organisasi pemerintah).

Pengertian pelayanan, menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan / mengurus apa yang diperlukan orang lain. Ketika berlangsung kegiatan pelayanan, ada sesuatu yang disampaikan, disajikan, atau dilakukan oleh pihak yang melayani kepada pihak yang dilayani, sesuatu itu disebut layanan. Layanan dapat berupa barang, atau berupa jasa, atau berupa barang yang tak tampak (intangible). Misalnya informasi yang disampaikan secara lisan kepada pelanggan yang membutuhkannya. Dalam pelayanan yang disebut konsumen (customer) adalah masyarakat yang mendapat manfaat dari aktivitas yang dilakukan oleh organisasi atau petugas dari organisasi pemberi layanan.


Agar dapat memberikan pelayanan yang sungguh-sungguh memuaskan adalah harus dikenali dulu karakteristik pelanggannya. Kecerdikan dan ketepatan dalam mengenal karakteristik pelanggan merupakan prasyarat agar dapat menyusun sistem pelayanan bermutu tinggi.


Menurut status keterlibatnnya dengan lembaga yang melayani dibedakan dua golongan pelanggan, yaitu :

  • Pelanggan eksternal, yaitu semua pelanggan yang berasal dari luar organisasi.
  • Pelanggan internal, yaitu semua pelanggan yang berasal dari dalam organisasi yang memperoleh pelayanan dari unit kita.

Sedang menurut bentuk dan akibat dari kegiatan pelayanan yang kita berikan kepada pelanggan, dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu
  • Pelanggan langsung, yaitu semua pelanggan yang secara langsung menerima layanan dari organisasi kita.
  • Pelanggan tak langsung, yaitu pihak-pihak yang secara tidak langsung menerima layanan dari organisasi kita, tetapi ikut menerima dampak pelayanan dan pengaruh yang menentukan terhadap kelangsungan hidup pelayanan organisasi kita.
Sondang P. Siagian mengatakan, teori klasik ilmu administrasi negara mengajarkan bahwa pemerintahan negara pada hakikatnya menyelenggarakan dua jenis fungsi utama, yaitu fungsi pengaturan dan fungsi pelayanan. Fungsi pengaturan biasanya dikaitkan dengan hakikat negara modern sebagai suatu negara hukum (legal state) sedangkan fungsi pelayanan dikaitkan dengan hakikat negara sebagai suatu negara kesejahteraan (welfare state). Baik fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan menyangkut semua segi kehidupan dan penghidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan pelaksanaanya dipercayakan kepada aparatur pemerintah tertentu yang secara fungsional bertanggung jawab atas bidang-bidang tertentu kedua fungsi tersebut (Siagian, 1992: 128-129).

Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara no. 81 tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum, disebutkan pengertian pelayanan umum sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat maupun di daerah dan di lingkungan BUMN/BUMD, dalam bentuk barang/jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Moenir, 1992:34).


IV. PELAYANAN PRIMA.

Layanan dan dukungan kepada pelanggan dapat bermakna sebagai suatu bentuk layanan yang memberikan kepuasan bagi pelanggannya, selalu dekat dengan pelanggan sehingga kesan yang menyenangkan senantiasa diingat oleh pelanggannya. Selain itu membangun kesan yang dapat memberi citra positif di mata pelanggan karena jasa pelayanan yang diberikan dengan biaya yang terjangkau oleh pelanggan, membuat pelanggan termotivasi untuk ikut bekerjasama dalam proses pelyanan yang prima.

Pelayanan Prima merupakan terjemahan dari istilah “Service Excellent” yang secara harafiah berarti pelayanan yang sangat baik atau pelayanan yang terbaik, karena sesuai dengan standard pelayanan yang berlaku atau dimiliki oleh instansi yang memberikan pelayanan. Apabila instansi belum memiliki standard perlayanan maka pelayanan disebut sangat baik atau terbaik atau akan menjadi prima, manakala dapat atau mampu memuaskan pihak yang dilayani (pelanggan). Jadi pelayanan prima dalam hal ini sesuai dengan harapan pelanggan.


Penerapan konsep pelayanan prima di lingkungan aparatur pemerintahan seperti dijelaskan dalam keputusan Menpan nomor 81 / 1995, yang juga dipertegas dalam instruksi Presiden nomor I / 1995 tentang peningkatan kualitas aparatur pemerintahan kepada masyarakat. Ditegaskan pelayanan yang berkualitas terhadap masyarakat adalah yang sesuai dengan sendi-sendi sebagai berikut:


1. Kesederhanaan,
dalam arti bahwa prosedur / tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit serta mudah dipahami dan dilaksanakan.


2. Kejelasan dan kepastian
, menyangkut :

  • Prosedur / tata cara pelayanan umum
  • Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif
  • Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum
  • Rincian biaya / tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya
  • Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum.
  • Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti penerimaan permohonan / kelengkapannya sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum.
  • Pejabat yang menerima keluhan pelanggan (masyarakat).
3. Keamanan, dalam arti proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.

4. Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur / tata cara, persyaratan, satuan kerja / pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya / tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.


5. Efisien, meliputi persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan. Juga dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan , dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja / instansi pemerintah lain yang terkait.


6. Ekonomis, memperhatikan :

  • nilai barang atau jasa pelayanan umum dengan tidak menuntut biaya yang tinggi diluar kewajaran
  • kondisi dan kemampuan pelanggan (masyarakat) untuk membayar secara umum
  • ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

7. Keadilan yang merata dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.

8. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam periode waktu yang telah ditentukan.


Pelayanan prima sebagai pelayanan yang terbaik yang dapat diberikan kepada masyarakat. Tujuan dari pelayanan prima adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk mencapai hal itu diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan atau keinginan pelanggan. Karena itu yang disebut mutu pelayanan adalah kesesuaian antara harapan atau keinginan dengan kenyataan yang diberikan.

Strategi pelayanan prima, yang mengacu pada kepuasan / keinginan pelanggan antara lain dapat ditempuh melalui :

1. Implementasi visi, misi pelayanan pada semua level yang terkait dengan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat /pelanggan.

2. Hakekat pelayanan prima disepakati untuk dilaksanakan oleh semua apartur yang memberikan pelayanan.


3. Bahwa dalam pelaksanaan pelayanan prima, didukung oleh sistem dan lingkungan yang dapat memotivasi anggota organisasi untuk melaksanakan pelayanan prima.


4. Pelaksanaan prima aparatur pemerintah didukung oleh sumber daya manusia, dana, dan teknologi canggih yang tepat guna.


5. Pelayanan prima dapat berhasil guna, apabila organisasi memberikan standar pelayanan prima yang dapat dijadikan pedoman dalam melayani, dan panduan bagi pelanggan yang memerlukan jasa pelayanan.


Pemakaian istilah pelayanan dalam standar pelayanan prima pada organisasi pemerintah pada umumnya, perlu dipahami secara serius karena pada dasarnya itu merupakan fitrah aparatur pemerintah ( public servan ) untuk melayani masyarakat. Apabila dalam dunia bisnis yang sifatnya profit oriented bersemboyan “ pelayanan adalah awal pembelian “ maka bagi organisasi non profit seperti halnya pemerintahan perlu berkeyakinan bahwa “ pelayanan adalah awal dari pemberdayaan “

Dengan demikian signifikansi pendekatan visi, misi dan standar pelayanan prima bagi organisasi terletak pada hal-hal sebagai berikut :

  • Cita-cita masa depan suatu organisasi harus dicanangkan dalam visi dan misi yang mampu menggerakkan ( to energize ) tumbuhya : kebanggan diri, dan yang selalu ‘haus’ akan pembaharuan dan perbaikan.
  • Organisasi berkepentingan pada pelayanan prima karena merupakan persoalan kelangsungan organisasi.
  • Organisasi berkepentingan pada pelayanan prima, karena customer yang kita layani merupakan unsur yang berkualifikasi pembeli (dalam dunia bisnis) dan publik yang harus diberdayakan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan disegala bidang.

Sendi-sendi keprimaan dalam menetapkan standar pelayanan prima dapat dilakukan melalui :
  1. Keprimaan berawal dari adanya rumusan organisasi / instansi / negara.
  2. Visi dijabarkan secara tuntas ke dalam misi-misi organisasi yang terukur.
  3. Misi dijabarkan dalam standar pelayanan prima. Rincian kegiatannya yang secara tuntas menghasilkan output dengan mengacu pada parameter keprimaan teknis operasional seperti :
a. Kesederhanaan
b. Kejelasan dan kepastian
c. Akuntabel ( tanggung jawab )
d. Kemanan ( security )
e. Keterbukaan ( transparancy )
f. Efisiensi ( economis )
g. Efektifitas
h. Adil dan merata
i. Ketepatan ( accuracy )
j. Kemudahan ( accessibility ) k. Kesopanan ( courtesy )
l. Kenyamanan ( confort )
m. Kemampuan ( competence )
n. Dapat dipercaya ( credibilty / reliability )
o. Keandalan ( dependability )
p. Fleksibelity
q. Kejujuran ( honesty )
r. Kesegaran / kesigapan ( promptness )
s. Responsibility

Pelayanan yang smart merupakan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan (public) dengan penuh perhatian karena pelanggan adalah orang yang harus kita penuhi keinginannya. Pelanggan bukanlah pengganggu pekerjaan kita, melainkan merekalah yang menjadi tujuan kita bekerja. Karena itu, kepuasan pelanggan adalah tujuan kita dalam memberikan pelayanan.

Inti dari sasaran pelayanan SMART, adalah sasaran pelayanan yang : Spesivic ( spesifik/memiliki kekhususan ) ; Measurable ( dapat diukur ) , Achievable ( dapat dicapai ) , Relevant ( sesuai dengan kepentingan / kewenangan dan kepentingan pelanggan ), dan Time (jelas penentuan batas jangka waktunya)



V. PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut UU Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan Publik, mendefinisikan Pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedang organisasi penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Organisasi Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.


Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan milik swasta.

2. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi menjadi :

a) Yang bersifat primer dan,adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya.
b) Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.

Penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan UU Nomor 25 tahun 2009, harus harus dilakukan dengan asas :
  1. Asas kepentingan umum, artinya pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.
  2. Asas kesamaan hak, berarti jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan.
  3. Asas keseimbangan hak dan kewajiban adalah pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
  4. Asas keprofesionalan adalah pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
  5. Asas partisipatif adalah peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
  6. Asas persamaan perlakuan/tidak diskriminatif adalah setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.
  7. Asas keterbukaan adalah setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
  8. Asas akuntabilitas adalah proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  9. Asas fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan maksudnya adalah pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.
  10. Asas ketepatan waktu maksudnya adalah penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan, dan
  11. Asas kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan adalah setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

Masayarakat sebagai customer yang harus dilayani dalam penyelenggaraan pelayanan public mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut :


Hak-Hak Masyarakat dalam peyalanan public, adalah :

  1. mengetahui kebenaran isi standar pelayanan;
  2. mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;
  3. mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
  4. mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan;
  5. memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;
  6. memberitahukan kepada Pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;
  7. mengadukan Pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada Penyelenggara dan ombudsman;
  8. mengadukan Penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina Penyelenggara dan ombudsman; dan
  9. mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.

Sedang kewajiban masyarakat, meliputi :
  1. mematuhi dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan dalam standar pelayanan;
  2. ikut menjaga terpeliharanya sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik; dan
  3. berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.

Untuk mengoptimalkan pelayanan public dapat dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan public oleh penyelenggara pelayanan public sebagai barometer pengukuran kinerja peleyanan public dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungannya. Dalam penyusunannya harus melibatkan masyarakat sebagai obyek dari kegiatan pelayanan public tersebut.

Komponen Standar Pelayanan tersebut sekuarng-kurangnya meliputi :

  1. dasar hukum;
  2. persyaratan;
  3. sistem, mekanisme, dan prosedur;
  4. jangka waktu penyelesaian;
  5. biaya/tarif;
  6. produk pelayanan;
  7. sarana, prasarana, dan/atau fasilitas;
  8. kompetensi Pelaksana;
  9. pengawasan internal;
  10. penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
  11. jumlah Pelaksana;
  12. jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;
  13. jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan
  14. evaluasi kinerja Pelaksana.

Keberhasilan dalam meningkatkan optimalisasi pelayanan public juga dipengaruhi oleh sikap dan perilaku pelaksana pelayanan public. Undang-undang memberikan penegasan mengenai perilaku pelaksana pelayanan public harus bersikap :
  1. adil dan tidak diskriminatif;
  2. cermat;
  3. santun dan ramah;
  4. tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;
  5. profesional;
  6. tidak mempersulit;
  7. patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
  8. menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
  9. tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  10. terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
  11. tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
  12. tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;
  13. tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki;
  14. sesuai dengan kepantasan; dan
  15. tidak menyimpang dari prosedur.

Untuk mengawasi apakah badan-badan public telah menyelenggarakan pelayanan publiknya secara baik maka dilakukan mekanisme pengawasan baik secara internal maupun eksternal. Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:
  • pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
  • pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedang pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:
  • pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
  • pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
  • pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam pengukuran kinerja pelayanan public dapat digunakan indikator-indikator pengukuran kinerja pelayanan organisasi publik yang meliputi : Responsivitas, Responsibilitas, Akuntabilitas, Produktifitas dan Kepuasan pelanggan.

1. Responsivitas,
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

2. Responsibilitas.

Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit (Lenvine, 1990). Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.

3. Akuntabilitas,

Konsep akuntabilitas publik digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

4. Produktifitas,

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. Dan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.

5. Kepuasan Pelanggan,

Kehadiran organisasi publik adalah suatu alat untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik. Jadi kinerja pelayanan publik dapat dikatakan berhasil apabila ia mampu mewujudkan apa yang menjadi tugas dan fungsi utama dari organisasi yang bersangkutan.


VI. PENUTUP.
Pelayanan publik merupakan pilar dasar penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis kerakyatan. Salah tuntutan reformasi secara substansial adalah untuk mewujudkan pelayanan publik (public service) yang sesuai dengan koridor tata kelola pemerintahan yang balk (good govemanc), Pelayan-peiayan publik (public seivicer) yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dengan paradigma baru (the new paradigm) berubahnya birokrasi sebagai dari pangreh menjadi abdi alias pelayan masyarakat. Untuk itulah harus diupayakan terus untuk meneguhkan konstruksi birokrasi sebagai pelayan publik civil servants yang berposisi sebagai pengabdi rakyat.

Penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparatur pernerintah dewasa ini masih ditemukan banyak kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat dalam pemberian pelayanan terhadap masyarakat masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui media massa sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat salah satu fungsi pemerintah adalah melayani masyarakat maka pernerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan.


Pemahaman terhadap konsep pelayanan prima pada setiap penyelenggara pelayanan public sangat m,utlak diperlukan untuk meneguhkan sikap paerilaku dan etika dalam memberikan pelayanan public yang menjadi cerminan dari integritas dan akuntabilitas badan-badan public yang bersangkutan dalam mewujudkan cita-cita reformasi. ***** (Malang, 20 Desember 2010)


Referensi :
  • Kepmenpan No. 81 Tahun 1993 tentang pedoman Tata Lakasana Pelayanan Umum.
  • INPRES No. 1 Tahun 1995 tentang Kualitas Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada masyarakat
  • Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56 / MK. Waspan / 6/ 1998,
  • Surat Menkowasbangpan No. 145 / MK / Waspan/ 3 / 1999, ttg Peningkatan kualitas pelayanan
  • Keputusan Menpan No. 63 / Kep / M. Pan / 2003
  • Kepmenpan No. 24 / M. PAN / 2004 tentang pedoman umum penyusunan Indeks kepuasan masyarakat unit pelayanan Instansi Pemerintah.
  • Kepmenpan No. 26 / M. Pan / 2004, tentang Juknis transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan public.
  • Permendagri No. 24 tahun 2006 tentang pedoman penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu.
  • Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
  • Dr. Tina Malinda, Dra.MM,. Konsentrasi Manajemen Sumberdaya, Badan Penerbit STIE Mahardika Surabaya, 2007.
  • Samprana Lukman, Drs. MA, dan Sugiyanto, SH, MPA, Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima, LAN-RI, Jakarta 2001.

**********





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS