Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Pemberdayaan

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
(COMMUNITY EMPOWERMEMT)

Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM

Widyaiswara Madya.



A. PENDAHULUAN.
Pelaksanaan otonomi daerah yang bergulir sejak adanya reformasi dengan ditetapkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008, telah melahirkan banyak perubahan yang cukup signifikan, terutama yang berhubungan antar pelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan.

Dalam Penjelasannya disebutkan bahwa, otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah (Pusat) yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.


Kendala yang muncul pada kondisi social yang ada, pada salah satu sisi, kurangnya kemampuan masyarakat atau keberdayaan masyarakat dalam kreativitas dan kapasitasnya secara lebih kritis dan rasional, karena masih banyak terbelit dengan masalah kemiskinan, baik kemiskinan secara ekonomi, kemiskinan intelektual (pengetahuan dan ketrampilan), kemiskinan secara fisik, kemiskinan informasi dan politik (aksesibilitas informasi dan demokratisasi) dll. Pada sisi lain, di tengah era globalisasi, informasi dan komunikasi yang serba cepat, masyarakat seharus memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi agar mampu menjalani kehidupan masa depan dengan lebih baik.


Kondisi seperti ini, tidak hanya dihadapi oleh Indonesia saja, tetapi hampir terjadi khususnya pada negara-negara berkembang lainnya. Karena itu pada September 2000, Pemerintah Indonesia bersama 189 negara lain, pada KTT Melinium di New York menyetujuai Deklarasi Milenium, dan ada 147 negara yang menandatangani Deklarasi tersebut termasuk Indonesia. Isinya berupa komitmen negara –negara dunia dan komunitas internasional untuk mewujudkan “8 Sasaran Pembangunan Melinium atau Mellinnium Development Goals (MDGs) tahun 2000-2015.


Kedelapan sasaran tersebut meliputi : Pengentasan kemiskinan dan kelaparan ekstrim; Pemerataan pendidikan; Mendukung adanya persamaan jender dan pemberdayaan perempuan; Mengurangi tingkat tingkat kematian anak; Meningkatkan kesehatan ibu, Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; Menjamin daya dukung lingkungan; dan Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.


Komitmen semua negara di dunia untuk memberantas kemiskinan ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam Deklarasi Johannesburg mengenai “Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development” yang disepakati oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, September 2002.


Hasil deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen ”Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang juga telah ditanda-tangani oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia dengan target memberantas kemiskinan pada tahun 2015.


Pada tahun 1960, lahir sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut Community Development (atau CD). CD adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat. CD tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. CD adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan.


Pada abad millennium yang diwarnai dengan adanya tehnologi tinggi dibidang informasi dan komunikasi, menjadikan kehidupan ini bercirikan perubahan yang cepat, kompleks, beresiko tinggi, kompetitif dan penuh dengan kejutan. Kondisi seperti ini membuat individu, kelompok atau komunitas harus memiliki kemampuan melakukan berbagai upaya untuk ikut arus perubahan, menyesuaikan diri, atau mengambil kendali perubahan.


Pada sisi lain interdependensi atau ketergantungan antara individu, kelompok, komunitas, bahkan antar negara dalam percaturan dunia internasional sebagai totalitas semakin kuat, karena sadar semakin sulit untuk menghadapi perubahan itu sendirian. Itu artinya, keterlibatan semua pihak, stakeholder masyarakat, bangsa dan negara pada strata apapun, menjadi penting dalam menghadapi kemajuan dan perubahan jaman demi kelangsungan hidup yang lebih baik. Disinilah arti penting upaya pemberdayaan masyarakat terus harus dilakukan seiring dengan terus bergulirnya arus perubahan.


Pemberdayaan adalah bagian dari paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya yakni mulai dari aspek intelektual (SDM), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.


Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat saja, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai social budaya local. Pemberdayaan sebagai konsep social budaya yang implementatif, dalam pembangunan yang berpihak kepada kepentingan rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah secara ekonomi (pengentasan kemiskinan ekonomi) tetapi juga nilai tanbah social dan budaya.


B. PENGERTIAN.
Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris “empowerment” yang berarti “memberi kuasa/wewenang/kekuatan”, dalam kata ‘power’ tidak saja ada ‘daya’ tetapi juga ada ‘kuasa/kekuasaan’, sehingga “daya” tidak saja mengandung makna ‘mampu’ tetapi juga ‘berkuasa’ untuk melakukannya.

Memberikan kekuatan (power), memberikan dimensi bertambahnya kekuatan bagi satu pihak dan berkurangnya pada pihak lain atau timbulnya hirarkhi adanya kekuatan dan ketiadanya kekuatan. Simon (1990) dalam Rethinking Empowerment mengemukakan : Pemberdayaan merupakan system yang berinteraksi dengan lingkungan social dan fisik. Terkandung maksud bahwa pemberdeyaan bukan merupakan upaya pemaksanaan kehendak, proses yang dipaksakan, kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, atau hanya untuk keterlibatan dalam kegiatan tertentu saja.


Cornell Empowerment Group (Randy, 179) mendefinisikan pemberdayaan sebagai proses sengaja dan berkelanjutan, berpusat pada masyarakat local, dan melibatkan prinsip saling menghormati, refleksi kritis, kepedulian, dan partisipasi kelompok, dan melalui proses tersebut, orang-orang yang kurang memiliki bagian yang setara akan sumber daya berharga, akan memperoleh akses yang lebih besar dan memiliki kendali atas sumber daya tersebut.


Pemberdayan masyarakat didefinikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat menekankan partisipasi masyarakat untuk menemukenali permasalahan sendiri, mengatasi dengan program kerja yang sesuai dan mengatur penyelenggaraan untuk keberlajutannya.


Dari pengertian pemberdayaan masyarakat tersebut, akan terlihat tiga tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu : Mengembangkan kemampuan dan kecakapan masyarakat; Mengubah perilaku masyarakat, dan Mengorganisir diri masyarakat.


Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan adalah multi dimensi, seluruh kemampuan yang dapat memperbaiki kehidupan sosialnya. seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mengakses informasi, kemampuan untuk berkomunikasi, mengelola kegiatan, kemampuan dalam mengelola permasalahan yang dihadapinya.


C. KONSEP DAN AGENDA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.
Proses ‘menjadi berdaya’ bukan proses yang secara instan bisa diwujudkan, ada tahapan yang patut dilakukan, yaitu diawali dengan tahap penyadaran, pengkapasitasan dan kemudian pendayaan.

Pada tahap penyadaran dilakukan pencerahan kepada sasaran yang diberdayakan bisa dengan memberikan pemahaman dan pengetahuan yang bersifat kognitif, belief (percaya) dan healing (sehat). Kemudian dilakukan pengkapasitasan atau sering disebut ‘capacity building’ atau dengan kalimat yang lebih sederhana adalah ‘memampukan’ atau enabling.


Program capacity building diarahkan untuk memampukan sasaran agar mereka ‘cakap’ (skillfull) dalam mengelola kehidupan dirinya (individu), dapat mengelola sumber-sumber produksi dan sumber-sumber social (sdm, kelembagaan, teknologi, capital, dan system nilai) bagi sasaran komunitas/masyarakat. Dan pada tahap ketiga adalah m
eningkatkan daya / melakukan pemberdayaan itu sendiri atau ‘empowerment’.

Yang patut diperhatikan dalam pemberian daya ini, hendaknya diperhatikan kemampuan dan kecakapan sipenerima/sasaran. Jangan diberikan diberikan daya melebihi kemampuan dan kecakapannya. Misalnya, mereka diberdayakan dengan teknologi dan capital yang jauh dari kemampuannya. Memberikan pinjaman modal usaha tentu disesuaikan dengan kemampuan tingkat usahanya.


Konsep ‘empowerment’ menekankan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung (partisipasi), demokratis, dan pembelajaran social melalui pengalaman langsung. Konsep pemberdayaan merupakan hasil kerja proses interaktif baik pada tataran ideologis (antara konsep ‘top-down dan bottom-up’) dan tataran implementasi. Pada tataran implementasi, interaktif akan terjadi lewat pertarungan antar otonomi (Friedmann,1992). Konsep pemberdayaan sekaligus mengandung konteks pemihakan kepada lapisan masyarakat yang berada di bawah garus kemiskinan (Mubiyarto, 1997).


Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup tiga capain dengan pengertian untuk ‘community develompment’ (pembangunan masyarakat), community-based development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat), dan community driven development, yang diterjemahkan dengan pembangunan yang ditujukan atau diarahkan masyarakat, atau lebih tegasnya pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, partisipasi masyarakat memiliki kontribusi yang signifikan dalam semua proses pembangunan. Ini dapat terjadi apabila keberdayaan dalam konteks masyarakat sudah signifikan, yaitu kemampuan individu yang larut dan bersenyawa dalam masyarakat telah membangun adanya keberdayaan masyarakat.


Sumber-sumber keberdayaan masyarakat ada pada kondisi fisik dan mental yang sehat, pendidikan-pengetahuan dan ketrampilan serta kecerdasan social, serta nilai-nilai instrinsik yang ada pada masyarakat seperti nilai kebersamaan, kekeluargaan, kegotong-royongan, sikap kejuangan, dan kesadaran adanya kebhinekaan yang ada di Indonesia ini.


Dalam melakukan program pemberdayaan, para pelaku pemberdaya atau stakeholder yang memiliki kepedulian untuk memberdayakan masyarakat, perlu memperhatikan tiga agenda besar berikut ini.


1. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) merupakan modal yang sangat penting dalam melakukan pembangunan, hal ini menjadi focus karena memang ‘manusia” itulah yang menjadi subyek dan obyek dari pembangunan iru sendiri.
Karena itu dampak yang diinginkan dari pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat dalam mengatasi permasalahan mereka melalui prakarsa dan kreatifitas untuk meningkatkan kualitas hidup. Itu dapat melakukan itu dibutuhkan masyarakat yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan, motivasi dan sikap yang optimis dan semangat untuk keluar dari permasalahan mereka.

Kemandirian merupakan sikap yang bersumber pada kepercayaan diri. Kemandirian juga adalah kemampuan (mental dan fisik) untuk :

1) memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri;
2) memperhitungkan kesempatan dan ancaman lingkungan; dan
3) Memilih berbagai alternatif yang tersedia untuk mengatasi persoalan dan sekaligus mengembangkan kehidupan secara serasi dan berkesinambungan.

2. Membangun Kelembagaan Masyarakat.
Membahas tentang kelembagaan masyarakat erat kaitannya dengan proses pemberdayaan masyarakat di tingkat masyarakat/komunitas, karena pemberdayaan sebagai upaya untuk memandirikan masyarakat sasaran, tidak sekedar bertumpu pada pendekatan-pendekatan metodologis pada proses pemberdayaan semata, tetapi harus dapat terwujud yang lebih konkrit sebagai bentu dari pencapaian suatu program.

Misalnya, ketika dilaksanakan program pemberdayaan masyarakat miskin dalam suatu wilayah tertentu, pemberdayaan bukan ditempatkan hanya pada bagaimana metodenya dan bagaimana proses perencanaan dan pelaksanaannya, tetapi penting juga dilakukan pemantauan dan evaluasi keberlanjutannya. Sudah seberapa banyak masyarakat miskin yang berkurang, dengan dilakukan pemberdayaan tersebut, dan secara kuantitas kemandiriannya terus meningklat, dan semakin berkurang tingkat ketergantungannya terhadap pelaku pemberdaya dilingkungannya.


Karena itulah, program pemberdayaan orientasinya harus selalu tertuju kepada kemandirian, kesinambungan, dan keberlanjutan. Sangat mubadzir apabila suatu program pemberdayaan dilaksanakan justru akan menciptakan ketergantungan masyarakat kepada pihak lain atau kepada pihak pelaku pemberdayaan tersebut ( isitlah yang sangat umum, jangan beri mereka umpan, tetapi berilah mereka kail agar bisa mendapat ikat terus menerus )


3. Menyediakan Fasilitas Produksi (teknologi dan modal usaha)
Seperti yang diun gkap sebelumnya, pemberdayaan berfokus untuk mendorong kemandirian masyarakat. Kemandirian akan dicapai kalau masyarakat memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam menjalani kehidupannya. Salah satu input untuk meningkatkan produktifitasnya adalah ada pada tehnologi dan capital, atau ketrampilan teknis dan permodalan.

Dalam proses pelaksanaan program pemberdayaan, sering berhadapan dengan aspek pengembangan teknologi dan aksesibilitas permodalan. Banyak pelatihan ketrampilan yang sudah dilaksanakan, tetapi banyak menghadapi kendala ditingkat pemasaran hasil dan akses permodalan. Kelompok-kelompok belajar usaha ekonomi produktif (UEP) melambat perkembangannya, sering berkendalam daya saing yang lemah, karena aspek teknologi (produksi dan pemasaran) serta aspek permodalannya.


Juga yang sering terabaikan adalah penyediaan pusat informasi yang mudah diakses oleh masyarakat, untuk kalangan tertentu hal ini sudah bisa diatasi dengan jaringan internet, media lainnya, tetapi pada komunitas tertentu lainnya masih banyak lemah memperoleh informasi yang berkaitan dengan keadaan mutahir tentang peluang dan hambatan dunia usaha, peluang pasar serta akses modal.


D. PENDEKATAN DALAM PEMBERDAYAAN.
Dalam melakukan pemberdayaan masyarakat perlu dikenali mengenai bentuk-bentuk kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat, karena itu pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang, yaitu Deficit Based dan Strength Based.

Pendekatan Deficit-Based terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi.


Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan. (Cooperrider dan Srivastva, 1987)


Untuk mendukung dalam meilih model pendekatan yang akan digunakan dalam pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan kajian mengenai jenis kekuatan-kekuatan yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Ketajaman pengamatan dan analisis terhadap bentuk-bentik kekuatan yang ada dalam masyarakat akan sangat membantu secara efektif dan efisien dalam melakukan keguatan denagn masyarakat.


1. Kekuatan Pendorong.
Dengan menemukan dan mengenali bentuk-bentuk kekuatan pendorong yang ada dalam kehidupan masyarakat sasaran, akan membantu proses berlangsungnya proses perubahan sesuai yang ditargetkan dalam pemberdayaan masyarakat. Tanpa adanya kekuatan pendorong dari individu/kelompok/ organisasi masyarakat secara keseluruhan, kiranya sulit dan lambat kita malakukan perubahan. Kekuatan pendorong juga bisa kita ciptakan (secara ekstrin diprovokasi) dalam menjadi dorongan untuk melakukan perubahan.

Ciri-ciri kekuatan pendorong dalam sisten sasaran perubahan adalah :


a. Merasa tidak puas dengan situasi dan kondisi yang ada

Ketidak puasan tersebut memiliki alasan karena potensi untuk lebih maju atau lebih baik masih sangat terbuka. Secara psikologis suasana kebatinan orang seperti ini, lebih mudah untuk didorong melakukan pembaharuan demi memenuhi keinginan yang belum terpenuhi. Masalahnya, bagaimana kita menemukenali kondisi psikologis yang demikian ini. Kecerdasan dan kecermatan para petugas social sangat ditantang untuk mengnalisisnya.
Masyarakat dengan tingkat psikologis yang demikian ini, alternative model pendekatan yang digunakan adalah locality development (pengembangan localitas)

b. Rasa bersaing untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan.

Perasaan ini timbul karena adanya tuntuan baik secara biologis, psikologis ataupun sosiologis sehingga mendorong adanya upaya untuk melakukan perubahan.
Misalnya, Pingin makan enak atau baju keren atau rumah bagus, secara normative, mendorong orang akan bekerja keras dan berhemat. Keinginan agar dirinya dihormati atau disegani, atau dapat diterima dalam pergaulan di masyarakat, mendorong orang untuk selalu berbuat kebajikan, Demikian juga, keinginan untuk memiliki HP, sepeda motor atau mobil, mendorong orang harus bekerja keras dan menabung.

c. Menyadari adanya kekurangan.
Kesadaran akan adanya kekurangan dalam dirinya, maka orang terdorong untuk mengejar kekurangannya itu. Misalnya, kekurangtahuan mengenai teknologi bercocok tanam padi yang baik, maka ia berusaha mencari ilmu kepada siapa saja yang dapat mengajarkan ilmu bertani yang baik.

2. Kekuatan Bertahan.
Kekuatan bertahan yang ada pada masyarakat berupa, upaya masyarakat untuk mempertahankan apa yang telah ada di dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan ini bisanya terlihat dalam sikap masyarakat yang menentang setiap hal-hal yang baru, inocasi-inovasi baru, temuan-temuan baru yang dicurigai akan menimbulkan perubahan terhadap sesuatu yang ada dan yang selama ini sudah menjadi milik yang patut dipertahankan.

Sikap bertahan ini diselimuti karena rasa takut akan merusak tatanan yang sudah mapan, takut menghadapi kegagalan karena keterbatasan sumber dayanya, baik SDM maupun SDA nya. Bisa juga penolakan inovasi baru, atau sikap bertahan dari masyarakat ini tibul akibat agen pembaharu/petugas pemberdaya/petugas social nya kurang baik perilakunya atau kurang mampu menjelaskannya atau memang figure yang ditolak oleh masyarakat tersebut.


Menghadapi kekuatan bertahan yang ada dalam masyarakat seperti ini, alternative pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan model pendekatan ‘social planning’ (perencanaan social).


3. Kekuatan Penggangu
Kekuatan pengganggu selalu ada dalam kehidupan masyarakat, dan kekuatan ini akan menghambat proses perubahan dan upaya pemberdayaan masyarakat. Banyak factor penyebabnya, oleh karena itu para petugas social atau para pemberdaya harus terampil dalam menganalisisnya, dan yang penting jangan meletakkan posisi berhadap. Asumsikan bahwa kekuatan penggangu ini adalah karena factor ketidak tahuan mengenai makna pembaharuan dan pemberdayaan bagi masyarakat.

Kondisi masyarakat seperti ini, dalam melakukan pemberdayaan, alternative pendekatan yang digunakan adalah model pendekatan “social action” ( aksi social ) yang dimodifikasi sesuai budaya local.


Timbulnya kekuatan penggangu dalam masyarakat dalam proses pemberdayaan masyarakat, sering bersumber pada hal seperti :

a. Adanya kekuatan di masyarakat yang bersaing untuk berebut pengaruh dan dukungan dalam masyarakat (baik terkait peluang financial, leader, target social lainnya)

b. Kerumitan inovasi atau program-program pemberdayaan itu sendiri bagi masyarakat.


c. Terbatasnya sumber daya yang dimiliki untuk pelaksanaan program pemberdayaan.


E. STAKEHOLDER PEMBERDAYA
Pemberdayaan adalah sebagai proses. Keberhasilan proses ini bukan hanya karena faham terhadap pengetahuan dan ketrampilan menyangkut pemberdayaan dan pembangunan, akan tetapi seluruh stakeholders (seluruh unsur terkait dalam program pemberdayaan masyarakat selaku pemberdaya ) harus komitmen dengan beberapa hal antara lain:

a. Komitmen pada profesionalisme
b. Komitmen pada keterbukaan
c. Komitmen pada kejujuran
d. Komitmen pada kebersamaan dan kerjasama
e. Komitmen pada kemiteraan, dan
f. Komitmen pada kepentingan pembelajaran dan mencari keuntungan bersama dalam bentuk pola horizonal.

Prof. Bob Tilden telah memberikan jawaban mengenai keterampilan dan sikap apa yang harus dimiliki oleh stakeholder pelaku pemberdaya. Menurut Tilden sekurang-kurangnya ada 4 (empat) kegiatan penting yakni :

1. Problem solving (pemecahan masalah);
2. Sense of Community (perduli terhadapa masyarakat);
3. Sense of mission (komitmen terhadap misi proyek); dan
4. Honesty with self and with others (jujur kepada diri sendiri dan orang lain).

Disamping itu ada dua belas prinsip yang harus dijadikan kekuatan internal para stakeholder pelaku pemberdaya, yaitu :

Pertama, para pelaku pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders, harus berlaku adil ( melaksanakan prinsip kerja berdasarkan keadilan dan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerja yang adil).


Dalam hal ini ada dua hal untuk menunjukan perilaku adil, yaitu Keadilan Distribusi dan keadilan Prosedural.


Keadilan distribusi yang dimaksudkan adalah berlaku adil ketika mendistribusikan sesuatu, meskipun yang miskin harus diutamakan. Setiap orang beraharap adanya sikap adil, tetapi tidaklah berlebihan kalau kelompok miskin yang didahulukan, baik miskin secara ekonomi (kurang pangan,sandang, papan, dst), miskin intelektual (kurang pengetahuan dan ketrampilan), miskin social ( para penyandang masalah social ), dll. Kelompok ini karena membutuhkan perhatian lebih karena factor kemiskinan/kekuarangan tersebut, disbanding kelompok yang tidak miskin, karena mampu melakukan secara mandiri.


Keadilan prosedural adalah berlaku adil dalam memberikan pelayanan public, dan sekalipun yang harus mengutamakan kelompok miskin, bukan malah sebaliknya, selalu mengutakan kelompok yang mampu membayar lebih atau kelompok tidak miskin.


Kedua, seluruh unsur stakeholders harus jujur ( jujur kepada diri sendiri dan jujur kepada orang lain).

Kejujuran adalah sifat dasariah manusia, namun seringkali berubah (menjadi tidak jujur) karena terkalahkan oleh kepentingan emosi pribadinya. Kejujuran sangat besar pengaruhnya terhadap keadilan. Keduanya merupakan sifat dasariah manusia.


Ketiga, kemampuan melakukan problem solving, menumbuhkan inovasi, asistensi, fasilitasi, promosi, dan social marketing.

Memecahkan masalah (problem solving) adalah proses bagaimana semua pihak menerima solusi yang ditawarkan, selalu diusahakan dalam bentuk win-win solution’. harus trampil dan kreatif mencari inovasi (ide dan pemikiran baru atau terobosan baru); trampil melakukan asistensi dan fasilitasi (bimbingan dan dampingan); dan terampil dalam hal promosi dan sosial marketing.


Keempat, kerjasama dan koordinasi seluruh unsur stakeholders berdasarkan kemitraan.

Walaupun sebagai pelaku pemberdaya berangkat dengan atribut jabatan dan institusi, hendaknya dalam proses pemberdayaan harus berlangsung secara kemitraan. Karena mewujudkan visi dan misi adalah tugas dan tanggung jawab bersama, bahkan lebih pada kelompok sasaran, karena pelaku pemberdaya hanya sebagai fasilitator.


Kelima, gerakkan partisipasi aktif secara kuantitas dan kualitas.

Partisipasi disini tidak hanya diukur oleh jumlah (kuantitas) melainkan harus juga diukur oleh seberapa banyak elemen masyarakat yang terlibat (kualitas), misalnya dari latar belakang jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), latar belakang usia (tua dan muda), latar belakang sosial-ekonomi (kaya – menengah dan msikin) dan lain sebagainya.


Bias partisipasi yang sering dijumpai, pada saat melakukan pertemuan dengan masyarakat, mengundangnya lebih pada jumlah, tidak pada varian elemen komunitas. Hadir 50 orang dari satu elemen masyarakat, lebih kualitas hadir 30 orang namun dari beberapa elemen masyarakat (isitlah dalam komunikasi, adalah sasaran antara)


Keenam, lingkup dan cakupan program berlangsung secara terpadu.
Keterpaduan ini mengandung dua aspek, aspek tujuan dan aspek pelaku pemberdaya. Keterpaduan pada aspek tujuan adalah adanya kesamaan sudut pandang, visi yang dituju dalam pemberdayaan masyarakat, misal dalam aspek intelektual, social-ekonomi, dll. Maka tujuan juga harus mampu meningkatkan aspek pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan. Selanjutnya dari sisi pelakunya, keterpaduan harus diartikan kepada kerjasama unsur stakeholders yang harmonis dan kondusif.

Ketujuh, mengutamakan penggalian dan pengembangan potensi lokal.
Pengembangan potensi lokal untuk merintis kemandirian dan memperkecil terjadinya ketergantungan kepada pihak luar. Pengembangan potensi lokal yang konsisten, juga mengandung maksud agar masyarakat sadar bahwa kontribusi itu jauh lebih realistis untuk tujuan rasa memiliki.

Kedelapan, aktif melakukan mobilisasi dan peningkatan swadaya yang bertumpu kepada kekuatan masyarakat sendiri/kelompok sasaran (self-reliant development).

Kenyataan banyak sekali bentuk kemampuan yang bisa diswadayakan oleh masyarakat misalnya: tenaga, ide dan pemikiran, uang, dan kepemilikan (tanah dan harta lainnya).


Kesembilan, mengembangkan metode pembinaan yang konstruktif dan berkesinambungan.

Program pembinaan dikonstruksi bersama oleh semua pihak sehingga dapat dipastikan bahwa antara satu bentuk pembinaan dengan bentuk yang lainnya akan berkorelasi positif, saling mendukung dan berkesinambungan.

Kesepuluh, pelaksanaan kegiatan berlangsung secara gradual/bertahap.
Tahap-tahap kegiatan pemberdayaan sebaiknya dibuat bersama masyarakat. Para pemberdaya/Fasilitator dapat menggabungkan antara alokasi waktu program pemberdayaan dengan yang tersedia pada masyarakat.
Kesebelas, seluruh unsur stakeholders harus konsisten terhadap pola kerja pemberdayaan.

Pola pemberdayaan adalah berorientasi pada pembangunan manusia seutuhnya, baik non fisik maupun fisik. Pemberdayaan adalah untuk kepentingan manusia seutuhnya. Oleh karena itu pola dan cara kerja harus mampu menyentuh kepada seluruh kepentingan masyarakat (SDM, ekonomi dan material serta manajrial)

Keduabelas, komitmen serta peduli kepada misi pemberdayaan dan kepada masyarakat miskin yang kurang mampu (Sense of mission, sense of community, and mission driven profesionalism).

Misi pemberdayaan adalah memiliki perepektif kesinambungan dalam kemandirian. Oleh karena itu komitmen pemberdayaan masyarakat tidaklah putus dalam satu decade atau satu tahapan proses. Gerak pemberdayaan kepada seluruh aspek kebutuhan manusia adalah secara otomatis bermuara pada kesinambungan. Apabila terjadi ketidaksinambungan, maka ini berarti ada yang tidak benar di dalam melakukan pemberdayaannya.


F. PENUTUP.
Pemberdayaan sebagai suatu proses, suatu mekanisme, dalam hal ini, individu, organisasi, dan masyarakat menjadi ahli akan masalah yang mereka hadapi. Dalam teori pemberdayaan mengasumsikan bahwa, pemberdayaan akan berbeda bentuk untuk orang yang berbeda, untuk konteks yang berbeda, dan akan berfluktuasi atau berubah sesuai kondisi dan waktu.

Pemberdayan masyarakat sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat menekankan partisipasi masyarakat untuk menemukenali permasalahan sendiri, mengatasi dengan program kerja yang sesuai dan mengatur penyelenggaraan untuk keberlajutannya. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pemberdayaan masyarakat melingkupi hal-hal yang dialami masyarakat dalam upaya menyelesaikan ,asalah mereka sendiri.


Pemberdayaan masyarakat telah menjadi salah satu pendekatan yang digunakan dalam berbagai program pembangunan di Indonesia, terutama dalam penanggulangan kemiskinan sejak adanya krisis ekonomi tahun 1997. Pemberdeyaan masyarakat dalam upaya penguatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, disorong oleh pergantian paradigma pembangunan yang sebelumnya cenderung semtralistik dikenal dengan “government driven” bergeser ke paradigma “ community driven development “. Hak ini karena pembangunan berbasis partisipasi akan lebih berhasil baik disbanding dengan pembangunan yang berbasis dari kemauan pemerintah.


Sejak program pembangunan berbasis partisipasi dilaksanakan dengan pendekatan konsep pemberdayaan, maka beberapa kebijakan pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan yang berbasis konsep pemberdayaan diluncurkan seperti : (1) Program Pembangunan Kecamatan (PPK) yang dimulai sejak 1998; (2) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dimulai sejak Tahun 1999; (3) Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Prasarana Desa (P2MPD)/Community and Lokal Government Support Project (CLGS), dimulai sejak tahun 2002; (4) Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa (PMPD)/ Community Empowerment and Rural Development (CERD), dimulai sejak Tahun2001; (5) Program Kemitraan dan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) dimulai sejak tahun 2000; (6) Program Pembangunan Pendukung Daerah tertinggal dan Khusus (P2DTK)/Support for Poor Area and Disadvantage Area (SPADA), dimulai sejak tahun 2007; Program Pembangunan Prasarana Perdesaan (P2D), dimulai tahun 1999 s/d 2002, dan perbaharui dengan program Rural Infrastructure and Social-Economic (RISE), dimulai tahun 2008; dan Program Pemberdayaan dan Reformasi Tata Pemerintahan dan Kelembagaan (P2RTPD) / Initiatives for Local Governance Reform (ILGR) yang dimulai sejak 2004.


Kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan seperti tersebut diatas, menunjukan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat sudah menjadi tuntutan perkembangan kondisi social- politik di Indonesia, dan hasil menunjukan adanya pengaruh yang signifikan terhadap kelancaran pelaksanaan program-program tersebut.***


G. DAFTAR PUSTAKA.
1. Basir Barthos, Drs. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta, 1995
2. Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama Press, Bandung, 2001
3. Mubyarto, Strategi Pembangunan Pedesaan, P3PK UGM Yogyakarta, 1984.
4. Wrihatno, Randy R &R. Nugroho.D, Manajemen Pemberdayaan, PT Elex Media Komputindo-Gramedia, Jakarta, 2007.
5. http://fiqihsantoso.wordpress.com/2008/06/17/konsep-dan-metode-pemberdayaan-masyarakat- indonesia/ ( Diakses tanggal 21 Maret 2011)
6. MG Ana Budi Rahayu, Pembangunan Perekonomian Nasional Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa, http://www.binaswadaya.org/

diposting : 25/03/2011


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Peksos

PERAN PEKSOS DALAM
PENGEMBANGAN MASYARAKAT PARTISIPATIF.

Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM
Widyaiswara Madya UPT-PTKS Malang.


I. PENDAHULUAN.

Istilah yang banyak digunakan untuk menunjukan usaha memajukan kesatuan-kesatuan masyarakat dibeberapa negara yang sedang berkembang adalah ‘Cummunity Development (CD)’ yang di Indonesia sering diartikan dengan pengembangan masyarakat (PM) atau pembangunan masyarakat. PBB sejak tahun 1954 sudah banyak menggunakan istilah ‘community development’, sebagai penggunaan berbagai pendekatan dan teknik suatu program tertentu pada masyarakat. Program ini memberikan tekanan utama pada perbaikan kondisi kehidupan dasar dari warga masyarakat, termasuk didalamnya pemenuhan kebutuhan non material.

Pengembangan Masyarakat sebagai metoda yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993). Secara khusus Pengembangan Masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang yang tidak beruntung atau mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnyanya, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan.


Pengembangan Masyarakat, sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, juga memungkinkan pemberi dan penerima pelayanan terlibat dalam proses perencanaan, pengawasan dan evaluasi. Pengembangan Masyarakat meliputi berbagai pelayanan sosial yang berbasis masyarakat mulai dari pelayanan preventif untuk anak-anak sampai pelayanan kuratif dan pengembangan untuk keluarga yang berpendapatan rendah.


Community Development atau Pengembangan Masyarakat kini semakin populer sebagai salah satu pendekatan pembangunan yang berwawasan lokal, partisipatif dan edukatif. Secara akademis, Pengembangan Masyarakat dikenal sebagai salah satu metode pekerjaan sosial (social work) yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi social.


Pengembangan masyarakat partisipatif tidak menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek dari kegiatan pengembangan, tetapi memposisikan masyarakat sebagai subyek yang menentukan untuk mengembangkan dan memberdayakan dirinya. Pengembangan masyarakat paritisipatif merupakan disposisi dari era demokratisasi dan transparansi. Masyarakat terlibat dalam menentukan hajat hidup kedepannya.


Dalam perencanaan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada dewasa ini sudah banyak dikembangkan dengan model bottom up, ini berarti pelibatan masyaratat dari tingkat bawah menjadi tahapan awal dalam penyusunan suatu perencanaan pembangunan. Yang menjadi persoalan, apakah masyarakat ditingkat bawah telah berdaya untuk terlibat dalam perumusan perencanaan tersebut. Perencanaan partisipatif tersebut memiliki kekuatan : efektivitas (karena yang baik bagi masyarakat belum tentu yang dibutuhkan oleh masyarakat); kinerja (performance, outcome) nya bukan sekadar hasil seketika; terdapat Social virtue (kearifan social; dan masyarakat terasumsikan akan paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.


II. KONSEP DASAR.

Pengembangan masyarakat partisipatif terdiri dari tiga konsep, yaitu “pengembangan”, “masyarakat”, dan “partisipatif”. Pengembangan yang dapat diartikan pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, pembangunan yang dimaksudkan adalah pembangunan manusia seutuhnya yang meliputi pembangunan sector fisik maupun sector nonfisik (mental spiritual).

Menurut Mayo (1998), masyarakat diartikan dalam dua konsep, yaitu masyarakat sebagai “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Misalnya, sebuah rukun tetangga/rukun warga, komplek perumahan, daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan. Dan masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Misalnya, masyarakat nelayan, masyarakat petani, atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental, para lansia, dsb.


Istilah masyarakat dalam Pengembangan Masyarakat biasanya diterapkan terhadap pelayanan-pelayanan sosial kemasyarakatan yang membedakannya dengan pelayanan-pelayanan sosial kelembagaan. Misalnya pelayanan perawatan manula yang diberikan di rumah mereka dan/atau di pusat-pusat pelayanan yang terletak di suatu masyarakat merupakan contoh pelayanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan perawatan manula di sebuah rumah sakit khusus manula adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan.


Pengertian Pengembangan Masyarakat (PM) atau Community Development (CD) adalah sebagai wawasan dasar bersistem tentang asumsi perubahan social terencana yang diupayakan secara bersama untuk meningkatkan kualitas kehidupan sekelompok manusia dalam wilayah geografis tertentu atau kesamaan kepentingan berdasarkan budaya/identitas. Pengembangan Masyarakat juga diartikan sebagai pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan masyarakat lingkungan dalam aspek material dan spiritual tanpa merombak keutuhan komunitas dalam proses perubahannya.


Keutuhan komunitas dipandang sebagai persekutuan hidup atas sekelompok manusia dengan karakteristik : terikat pada interaksi sosial, mempunyai rasa kebersaman berdasarkan genealogis dan kepentingan bersama, bergabung dalam satu identitas tertentu, taat pada norma-norma kebersamaan, menghormati hak dan tanggung jawab berdasarkan kepentingan bersama, memiliki kohesi sosial yang kuat, dan menempati lingkungan hidup yang terbatas.


Istilah partisipasi menurut Mikkelsen (2005) biasanya digunakan di masyarakat dalam berbagai makna umum, diantaranya :

  • Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu pembangunan, tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
  • Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.
  • Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun kelompok yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai otonomi untuk melakukan hal itu.
  • Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam perubahan yang ditentukan sendiri oleh masyarakat.
  • Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri.
Perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas sejak munculnya metode partisipatif yang biasa disebut Participatory Rural Appraisal (PRA). Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifkasian masalah sampai pada penentuan skala prioritas.

Secara garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.


Permasalahan yang menghadang dalam perencanaan partisipatid antara lain bahwa partisipasi akan sulit terjadi apabila di dalam suatu masyarakat tidak mengetahui atau tidak mempunyai gagasan mengenai rangkaian pilihan yang seharusnya mereka pilih, karena keterbatasan aksesibilitas informasi, sehingga tidak mengherankan apabila masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, sering meminta hal-hal yang tidak mungkin atau hal lain yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan mereka. Jadi ada kemungkinan skala prioritas akan berbeda antara pihak pemerintah dan masyarakat.


Pengembangan masyarakat partisipatif (participatory community decelopment) menunjuk pada upaya memberdayakan masyarakat untuk mampu menggagas ide-idea dasar untuk meningkatkan kehidupannya secara bersama-sama dalam suatu komunitas tertentu atau masyarakat, keterlibatannya secara bersama-sama antara masyarakat dengan pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan untuk mewujudkan kejehateraan social. Pengembangan Masyarakat partisipatif sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan, berdasarkan prakarsa komunitas itu sendiri


Pengembangan masyarakat paritisipatif dengan pendekatan teori sumber daya manusia, memandang mutu penduduk sebagai kunci pembangunan dan pengembangan masyarakat. Banyaknya penduduk bukan beban pembangunan bila mutunya tinggi. Pengembangan hakikat manusiawi hendaknya menjadi arah pembangunan. Perbaikan mutu sumber daya manusia akan menumbuhkan inisiatif dan kewirausahaan.


Demikian juga pengembangan masyarakat partisipatif tidak bisa dilepas dari komponen ekosistem atau sumberdaya lingkungan sekitarnya, baik fisik maupun social. Dari sudut pandang ekologi/lingkungan sosial, pengembangan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh lingkungan fisik atau kondisi fisik alam sekitarnya saja, melainkan juga oleh lingkungan sosialnya, khususnya pranata-pranata/institusi social yang hidup didalamnya. Dengan kata lain bahwa perkembangan masyarakat pada umunya akan sangat ditentukan oleh kualitas interaksi dengan lingkungannya.


Pengembangan Masyarakat Partisipatif berfokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dengan melakukan upaya keberfungsian social terhadap orang dan sistem sosial agar memiliki kemampuan atau kapasitas dalam :

• memenuhi kebutuhan dasar (pendapatan, pendidikan, kesehatan)
• melaksanakan peran social.
• menghadapi goncangan dan tekanan.

Pengembangan Masyarakat Pertisipatif seringkali diimplementasikan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab (Payne, 1995:165).

III. PENDEKATAN.

Pengembangan masyarakat partisipatif sebagai salah satu model pendekatan pembangunan (bottoming up approach) merupakan upaya melibatkan peran aktif masyarakat beserta sumber daya lokal yang ada. Dan dalam pengembangan masyarakat hendaknya diperhatikan bahwa masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat, punya norma-norma tradisional yang masih dipatuhi, yang kemungkinan sebagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial.

Secara umum ada beberapa pendekatan dalam pengembangan masyarakat partisipatif, diantaranya adalah:

  1. Pendekatan potensi lingkungan, hal ini berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang ada pada masyarakat setempat.
  2. Pendekatan Kewilayahan, hal ini berkaitan dengan pengembangan terhadap wilayah dalam arti kesesuaian dengan wilayahnya (desa/kota) terhadap hal yang akan dikembangkan, setiap wilayah/daerah tertentu memiliki kebutuhan tertentu pula.
  3. Pendekatan kondisi fisik, lebih pada kondisi fisik manusianya.
  4. Pendekatan ekonomi, hal ini berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat.
  5. Pendekatan politik.
  6. Pendekatan Manajemen, Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan pendataan terhadap potensi, kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat kemudian dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, bugeting dan controlling. Model pendekatan ini sebenarnya dapat dilakukan dalam masyarakat yang bermacam-macam (pedesaan,perkotaan, marjinal, dan lain-lain).
  7. Pendekatan sistem, Pendekatan ini melibatkan semua unsur dalam masyarakat

Disamping itu, dalam pengembangan masyarakat pertisipatif tersebut dapat pula dilakukan dengan pendekatan seperti :
  1. Pendekatan Komunitas, Pendekatan ini menampilkan tiga ciri utama, yakni : a. partisipasi yang berbasis luas; b. komunitas merupakan konsep yang penting; c. kepeduliannya bersifat holistik. Pendekatan ini biasanya untuk memecahkan masalah luas dan menjadi kepentingan hampir semua warga. Warga terlibat dalam : a. pengambilan keputusan; b. pelaksanaan tindakan; c. penelaahan masalah menyeluruh; d. menghasilkan perubahan yang didasari pengertian dan dukungan moral.
  2. Pendekatan Pemecahan Masalah. Komunitas menggunakan jasa tenaga ahli untuk memecahkan masalah yg dihadapi warga. Tenaga ahli tsb melakukan identifikasi masalah, pemecahan masalah, mencarikan sumberdaya untuk memecahkannya, merencanakan tindakan-tindakan, memobilisasi partisipasi dan akhirnya ia mengevaluasi seluruh proses dan hasilnya (Thomas,1973)
  3. Pendekatan Demontrasi. Dengan memanfaatkan pengalaman komunitas lain yang diketahui proses dan hasil yang dicapainya untuk diterapkan dalam komunitas sendiri dengan harapan mendapatkan hasil yang sama (Ag Shier,1973)
  4. Pendekatan Eksperimental. Menerapkan pengalaman komunitas lain yang tidak diketahui bagaimana hasilnya,dengan harapan dapat melihat hasilnya dikomunitas sendiri (eversen,1973)
  5. Pendekatan Konflik Kekuatan. Upaya memperbaiki komunitas dengan gagasan-gagasan yang masing-masaing didukung oleh kekuatan yang bersumber pada kekuasaan, kecerdasan, kekayaan dan lain-lain,(tapi bukan kekerasan) dari kelompok-kelompok warga komunitas (Salmon And Taper,1973)

IV. ASUMSI-ASUMSI.

Donald W. Littrell (1982) merumuskan setidak-tidaknya ada 5 asumsi yang sangat mendasar dalam pengembangan masyarakat, yaitu :

1. Masyarakat merupakan subyek yang mampu bertingkah laku/bertindak secara rasional.
2. Tingkah laku adalah hasil dari proses belajar.
3. Tingkah laku tersebut dipelajari melalui proses interaksi social.
4. Masyarakat mampu memberikan arah terhadap tingkah lakunya sendiri
5. Masyarakat mampu menciptakan atau membentuk lingkungannya sendiri.

Dari asumsi-asumsi tersebut menegaskan bahwa masyarakat tidak dipandang sekedar sekumpulan manusia yang statis, melainkan senantiasa berada dalam “proses menjadi” (becoming being). Jika Peksos berpandangan bahwa tingkah laku dipelajari melalui proses interaksi social (asumsi 3) maka peran yang dapat dilakukan oleh peksos dalam pengembangan masyarakat akan terarah pada penciptaan kondisi interaksi social yang memungkinkan kemampuan masyarakat dapat berkembang dan meningkat.


V. NILAI-NILAI.

Dalam pengembangan masyarakat partisipatif hendaknya memperhatikan nilai-nilai dalam masyarakat, karena pemahaman ini akan berpengaruh pada kelancaran dan kesuksesan Peksos, atau pekerja komuniti (Community Worker) lainnya dalam melakukan pengembangan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah :
  1. Masyarakat mempunyai mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam menentukan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka.
  2. Kebebasan berpartisipasi merupakan suatu cara yang sangat berharga dalam mengendalikan persoalan-persoalan masyarakat.
  3. Masyarakat mempunyai hak untuk berusaha menciptakan lingkungan yang mereka inginkan.
  4. Masyarakat mempunyai hak untuk menolak suatu lingkungan yang dipaksakan dari luar.
  5. Peningkatan suatu interaksi manusia dalam suatu masyarakat akan menum buhkan potensi bagi pengembangan aspek kemanusiaan.
  6. Tercakup dalam suatu proses interaksi itu ialah suatu konsep atau pengertian tentang masyarakat yang selalu meluas.
  7. Setiap disiplin atau profesi merupakan suatu kontribusi yang sangat berharga (potensial) bagi proses pengembangan masyarakat.
  8. Motivasi diciptakan didalam diri manusia oleh pergaulan dengan lingkungan.
  9. Pengembangan masyarakat berkepentingan dengan pengembangan kemampuan manusia dalam menghadapi/mengatasi masalah-masalah lingkungannya.
Bahwa seseorang pada dasarnya sangat berkeinginan untuk berpartisipasi terhadap upaya untuk peningkatan kesejahteraannya. Suatu rencana atau program yang ditujukan untuk masyarakat yang dibuat tanpa pelibatan masyarakat, tidak dapat disebut sebagai pengembangan masyarakat.
Konsep bahwa masyarakat mempunyai hak untuk menciptakan lingkungan yang mereka inginkan, mempunyai landasan yang kuat karena masyarakat itu sendirilah yang mengetahui atau dapat mempelajari apa yang terbaik bagi mereka.

Konsep pembangunan dengan pendekatan “tentang apa yang masyarakat butuhkan” biasanya akan menghasilkan kualitas yang lebih baik dari pada dengan pendekatan “apa yang terbaik buat masyarakat”. Karena yang terbaik belum tentu yang dibutuhkan oleh masyarakat.


VI. PRINSIP-PRINSIP.

Dalam konteks pengembangan masyarakat, Jim Ife (1995) mengembangkan 22 prinsip, yaitu :
  1. Pembangunan Terpadu (Integrated Development). Aspek-aspek penting dalam masyarakat terdiri dari aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan dan spiritual. Aspek-aspek tersebut perlu dipertimbangkan. Aspek yang terlemah yang perlu mendapat intervensi pembangunan.
  2. Melawan Ketidak Berdayaan Struktural (Confronting Structural Disadvantages). Orang terampil tidak dapat bekerja bisa saja terjadi karena tidak ada kesempatan kerja atau tidak dibuka peluang yang terbuka bagi semua secara fair, atau terhambat karena masalah jenis kelamin, perbedaan suku/golongan/umur.pengembang masyarakat hendaknya mengenali dan mempertimbangkan masalah-masalah penindasan strukturak tersebut.
  3. Hak Asasi Manusia (human rights). Petugas Pengembangan Masyarakat berupaya melakukan perlindungan hak asasi manusia dan peningkatan pemenuhan hak dasar manusia (standar hidup layak, pendidikan, berpartisipasi, menentukan nasib sendiri dan hak perlindungan serta bantuan sosial bagi keluarga).
  4. Keberlanjutan (continuity / Sustainability). Dalam konteks ini apabila petugas pengembangan masyarakat bermaksud membangun tatanan sosial, ekonomi dan politik baru, maka struktur dan prosesnya harus berkelanjutan.struktur yang berkelanjutan ditandai dengan pelembagaan pelaksanaan pengembangan masyarakat, tidak hanya ditingkat pelaksana proyek tetapi akhirnya beralih ke masyarakat serta prosesnya tidak berhenti sebagai proyek tetapi menjadi kegiatan masyarakat.
  5. Pemberdayaan (empowerment). Petugas pengembangan masyrakat semestinya memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat guna meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya.
  6. Kaitan masalah pribadi dan politik (the personal and the political). Penyelesaian masalah tidak hanya didekati dengan penyelesaian secara individual, karena masalah ketidak berdayaan tidak hanya semata masalah individu tetapi juga struktural, demikian juga masalah potensi. Oleh karena itu, petugas pengembangan masyarakat hendaknya mengaitkan antara masalah pribadi dengan politik, individu dengan struktural, pribadi dengan masalah umum.
  7. Kepemilikan oleh komunitas (community ownership). Inti utama dari pengembangan masyarakat adalah membentuk unsur-unsur komunitas sebagai kesatuan masyarakat yang dilandasi kesalingtergantungan dan kebersamaan.
  8. Kemandirian (self reliance). Proses penyelenggaraan pembangunan hendaknya mendorong atau setidaknya tidak merusak kemandirian masyarakat. Pentingnya kemandirian dirasakan pada saat negara dalam kondisi menghadapi ketidakpastian atau krisis.
  9. Ketidaktergantungan pada pemerintah (independent from the state). Kemandirian terkait dengan posisi komunitas yang sejauh mungkin tidak tergantung pada pemerintah. Pengertian tidak tergantung, bukan berarti negara tidak perlu intervensi pada komunitas, tetapi lebih berarti tidak semua urusan diserahkan pada negara untuk menyelesaikannya, jika komunitas dapat menyelesaikannya sendiri.
  10. Keterkaitan tujuan jangka pendek dengan visi jangka panjang (immediate goals and ultimate vision) Tantangan seorang perencana petugas pengembangan masyarakat adalah merumuskan tujuan jangka pendek yang dapat menjawab permasalahan masyarakat sekaligus mengkaitkannya dengan visi pengembangan masyarakat yang dijalankannya.
  11. Pembangunan yg bersifat organik (organic development) pembangunan organik berlawanan dengan pembangunan yang mekanistik, perbedaan tsb ibarat pertumbuhan tanaman dan gerakan mesin. Mesin bekerja secara terpisah dari lingkungannya, dipindah kemana saja relatif tidak berubah dalam perkembangannya. Berbeda dengan tanaman ia sangat terkait dengan lingkungan, apabila dipindah bisa mati atau kerdil atau berbeda pertumbuhannya.
  12. Kecepatan pembangunan (the pace of development) akibat logis dari prinsip pembangunan yang organik adalah masyarakat harus diberikan kesempatan menentukan sendiri kecepatan perkembangannya. Pelaksana pengembangan masyarakat yang berhasil akan bergerak sesuai dengan kecepatan masyarakat itu sendiri, tidak mendorong terlalu cepat atau terlalu lambat.
  13. Keahlian dari luar (external expertise) seringkali karena faktor ketidaksabaran dan kurang mempercayai kemampuan masyarakat, suatu pemecahan masalah ditingkat komunitas diselesaikan oleh ahli-ahli dari luar, dengan cara dan proses yg dipaksakan dari luar. Pemerintah dapat membantu proses pengembangan masyrakat melalui penyediaan sumberdaya, komunikasi, dukungan, jaringan namun demikian pemerintah tidak dapat menentukan bagaimana pengembangan masyarakat harus terjadi. Hal ini tidak berarti bahwa proses pengembangan masyarakat tidak dapat belajar dari pengalaman luar daerah, tetapi pengalaman itu perlu diadaptasi sesuai dengan kondisi local.
  14. Pembangunan komunitas (community building ). Membangun komunitas berarti meningkatkan interaksi sosial dalam komunitas, mempertemukan orang-orang dan memfasilitasi mereka supaya saling berkomunikasi, sehingga memungkinkan dialog yang tulus, serta menciptakan saling pengertian.
  15. Kaitan proses dengan hasil (process and outcome). Pendekatan yang pragmatik cenderung menekankan pada hasil. Misalnya keberhasilan pembangunan irigasr diukur dari keberhasilan secara teknis fisik, sedangkan bagaimana proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kurang mendapat perhatian. Namun demikian, berkonsentrasi pada proses saja dapat menyebabkan orang kehilangan orientasi terhadap hasil yg harus dicapai. Dalam pengembangan masyarakat kedua hal tersebut hendaknya dilihat sebagai sesuatu yang integral dan bukanlah suatu fenomena yang terpisah.
  16. Integritas proses (the integrity of process). Proses dalam pengembangan masyarakat sama pentingnya dengan hasil. Hasil tercermin dalam tujuan, sedangkan cara mencapai tujuan merupakan proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu, proses hendaknya sesuai dengan harapan akan hasil yang berkaitan dengan keberlanjutan, keadilan sosial dll.
  17. Tanpa kekerasan (non violence). Arti kekerasan tidak sekedar berkenaan dengan kekerasan fisik yang dilakukan individu, tetapi juga berhubungan dengan kekerasan struktural. Disebut kekerasan struktural karena kekerasan tersebut telah melembaga dalam masyarakat atau suatu lembaga, contohnya, masalah rasialis, sekolah diskriminatif dll.
  18. Keinklusifan (inclusiveness). Untuk menerapkan prinsip inklusif dalam pengembangan masyarakat perlu suatu proses yang bersifat merangkul daripada menyingkirkan, setiap orang dihargai walaupun dalam posisi berlawanan dan orang diberi ruang yang cukup untuk merubah posisi tanpa kehilangan muka. Upaya dapat dilakukan melalui dialog dan saling pengertian.
  19. Konsensus (Concensus). Proses pengembangan masyarakat dengan pendekatan tanpa kekerasan dan inklusif perlu didasari dengan upaya membangun dasar-dasar konsensus dan proses pengambilan keputusan dengan cara mufakat.
  20. Kerjasama (co-operation). perspektif ekologi dan pendekatan tanpa kekerasan menekankan struktur yang bersifat kerjasama dari pada kompetitif.
  21. Partisipasi (participation). Pelaksana pengembangan masyarakat senantiasa berusaha memaksimumkan partisipasi dari warga/komunitas, dengan tujuan setiap orang terlibat secara aktif dalam aktivitas-aktivitas komunitas. Semakin aktif berpartisipasi semakin baik, karena dengan demikian, upaya menjadikan proses sebagai milik komunitas serta mendukung proses inklusif.
  22. Perumusan kebutuhan (defining need). Ada dua hal penting dlm perumusan tujuan. Pertama, pelaksana pengembangen masyarakat berusaha mencapai persetujuan antara pihar-pihak yg mendefinisikan kebutuhan, yakni antara penyelenggara program, konsumen, pemberi pelayanan dan peneliti. Upayakan dilaog agar diperoleh konsensus. Kedua, pendefinisian kebutuhan oleh masyarakat itu sendiri. upaya ini dapat dilakukan dengan cara mengajak orang berdialog dan mengembangkan kemampuan warga komunitas untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka yang sesungguhnya.

Donald W. Littrell (1984) mengembangkan 6 prinsip pengembangan suatu masyarakat, yaitu :
  1. Partisipasi dalam pembuatan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, hendaknya bebas dan terbuka bagi semua orang yang berkepentingan.
  2. Penggambaran secara ringkas mengenai keadan dimasa yang akan dating merupakan kondisi yang mempengaruhi suatu masyarakat.
  3. Penggunaan metode ilmiah dalam mengkaji masyarakat perlu dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
  4. Pencapaian pengertian dan consensus adalah merupakan dasar bagi usaha perubahan social
  5. Setiap orang mempunyai hak untuk didengarkan pendapatnya dalam suatu diskusi terbuka, apakah pendapat itu sesuai atau tidak dengan norma-norma masyarakat yang bersangkutan.
  6. Semua orang boleh berpartisipasi dalam menciptakan atau menciptakan kembali suatu susunan social dimana mereka merupakan bagiannya.

Sedangkan F. Ellen Netting, Petter M.Kettner dan Steven L.McMurtry (1993) merumuskan 4 prinsip yang diurai dan 9 sub-sub prinsip, yaitu meliputi :
  1. Kenali populasi yang dijadikan sasaran, prinsipnya : (1) Memahami karakteristik anggota populasi yang dijadikan sasaran.
  2. Menentukan karakteristik masyarakat, prinsipnya : (2) Identifikasi batasan masyarakat ; (3) Identifikasi profil masalah social; dan (4) Memahami nilai-nilai yang determinan?menentukan dalam masyarakat.
  3. Mengakui adanya perbedaan-perbedaan, prinsipnya : (5) Identifikasi mekanisme formal dan menekan; (6) Identifikasi peluang-peluang terjadinya diskriminasi;
  4. Kenali struktur, prinsipnya : (7) Mengetahui letak kekuatan atau kekuasaan; (8) Menentukan sumber-sumber yang dapat dipergunakan; dan (9) Identifikasi pola-pola penyampaian pelayanan dan pengawasan sumber.

VII. PERENCANAAN.

Dalam perencanaan pengambangan masyarakat partisipatif secara garis besar terdapat langkah-langkah perencanaan sebagai berikut :
  1. Perumusan masalah. PM dilaksanakan berdasarkan masalah atau kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa masalah yang biasanya ditangani oleh PM berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, pemberantasan buta hurup, dll. Perumusan masalah dilakukan dengan menggunakan penelitian (survey, wawancara, observasi), diskusi kelompok, rapat desa, dst.
  2. Penetapan program. Setelah masalah dapat diidentifikasi dan disepakati sebagai prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskanlah program penanganan masalah tersebut.
  3. Perumusan tujuan. Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan keberhasilannya dapat diukur perlu dirumuskan apa tujuan dari program yang telah ditetapkan. Tujuan yang baik memiliki karakteristik jelas dan spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai tujuan tersebut sesuai dengan dana, waktu dan tenaga yang tersedia.
  4. Penentuan kelompok sasaran. Kelompok sasaran adalah sejumlah orang yang akan ditingkatkan kualitas hidupnya melalui program yang telah ditetapkan.
  5. Identifikasi sumber dan tenaga pelaksana. Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menunjang program kegiatan, termasuk didalamnya adalah sarana, sumber dana, dan sumber daya manusia.
  6. Penentuan strategi dan jadwal kegiatan. Strategi adalah cara atau metoda yang dapat digunakan dalam melaksanakan program kegiatan.
  7. Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau proses dan hasil pelaksanaan program. Apakah program dapat dilaksanakan sesuai dengan strategi dan jadwal kegiatan? Apakah program sudah mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan? suatu kegiatanindikator keberhasilan.

VIII. PERAN PEKSOS DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PARTISIPATIF.

Pengembangan masyarakat partisipatif, secara umum meliputi perencanaan, pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek kemasyarakatan. Sebagai suatu kegiatan kolektif, pengembangan masyarakat partisipatif melibatkan beberapa actor atau stakeholder, seperti Pekerja Sosial, masyarakat setempat, lembaga-lembaga social kemasyarakatan serta instansi terkait, yang saling berkerjasama mulai dari perancangan, pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap program atau proyek tersebut.

Sesuai dengan paradigma pekerjaan sosial, yakni “membantu orang agar mampu membantu dirinya sendiri”, Pengembangan Masyarakat sangat memperhatikan pentingnya partisipasi sosial dan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, dan bahkan dalam hampir semua praktek pekerjaan sosial, peranan seorang community worker / pekerja komuniti seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung.


Terkait dengan pengembangan masyarakat, peran pekerja sosial berpusat pada “tiga P”, yaitu: Pemungkin (enabling); Pendukung (supporting), dan Pelindung (protecting). Prinsip utama peranan ini adalah “making the best of the client’s resources”. Dalam pendampingan social, Klien dan lingkungannya tidak dipandang sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa, tetapi dipandang sebagai sistem yang dinamis dan potensial dalam proses pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan sosial.


Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), mengungkapkan ada lima peran pekerjaan sosial dalam pembimbingan social, yaitu fasilitator, broker, mediator, pembela, dan pelindung.


1. Fasilitator

Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan “fasilitator” sering disebut sebagai “pemungkin” (enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Peran sebagai pemungkin atau fasilitator bertujuan untuk membantu klien agar menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional.

Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi :

• pemberian harapan,
• pengurangan penolakan dan ambivalensi,
• pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan,
• pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial,
• pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan
• pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker, 1987:49).

Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan social dan prinsip-prinsi pengembangan masyarakat, bahwa setiap perubahan terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya usaha-usaha klien sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah memfasilitasi atau memungkinkan klien mampu melakukan perubahan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.


2. Broker
Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham dan surat berharga lainnya di pasar modal. Seorang broker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pada saat klien menyewa seorang broker, klien meyakini bahwa broker tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal, pengetahuan yang diperoleh terutama berdasarkan pengalamannya sehari-hari.

Dalam konteks Pengembangan Masyarakat, peran pekerja sosial sebagai broker tidak jauh berbeda dengan peran broker di pasar modal. Seperti halnya di pasar modal, dalam Pengembangan Masyarakat terdapat klien atau konsumen. Namun demikian, pekerja sosial melakukan transaksi dalam pasar lain, yakni jaringan pelayanan sosial. Pemahaman pekerja sosial yang menjadi broker mengenai kualitas pelayanan sosial di sekitar lingkungannya merupakan aspek penting dalam memenuhi keinginan kliennya memperoleh “keuntungan” maksimal.


Ada tiga tugas utama dalam melakukan peranan sebagai broker : Pertama, mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber kemasyarakatan yang tepat. Kedua, menghubungkan konsumen atau klien dengan sumber secara konsisten. Ketiga, mengevaluasi efektifitas sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan klien.


Peranan sebagai broker pada prinsipnya adalah “menghubungkan klien dengan barang-barang dan jasa dan mengontrol kualitas barang dan jasa tersebut” .


Ada tiga kata kunci dalam pelaksanaan peran sebagai broker, yaitu: menghubungkan (linking), barang-barang dan jasa (goods and services) dan pengontrolan kualitas (quality control).


1). Linking adalah proses menghubungkan orang dengan lembaga-lembaga atau pihak-pihak lainnya yang memiliki sumber-sumber yang diperlukan. Linking juga tidak sebatas hanya memberi petunjuk kepada orang mengenai sumber-sumber yang ada. Lebih dari itu, ia juga meliputi memperkenalkan klien dan sumber referal, tindak lanjut, pendistribusian sumber, dan meenjamin bahwa barang-barang dan jasa dapat diterima oleh klien.


2). Goods and services, meliputi yang nyata, seperti makanan, uang, pakaian, perumahan, obat-obatan. Sedangkan services mencakup keluaran pelayanan lembaga yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan hidup klien, semisal perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan, konseling, pengasuhan anak.


3). Quality Control adalah proses pengawasan yang dapat menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkan lembaga memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Proses ini memerlukan monitoring yang terus menerus terhadap lembaga dan semua jaringan pelayanan untuk menjamin bahwa pelayanan memiliki mutu yang dapat dipertanggungjawabkan setiap saat.


3. Mediator
Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya. Peran mediator diperlukan terutama pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Pekerja sosial berperan sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai “solusi menang-menang” (win-win solution).


Beberapa strategi yang dapat digunakan dalam melakukan peran mediator antara lain :

  • mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat konflik,
  • membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan pihak lain,
  • membantu mengidentifikasi kepentingan bersama,
  • melokalisir konflik kedalam isu,
  • waktu dan tempat yang spesifik, memfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung mereka agar mau berbicara satu sama lain.

4. Pembela / advokasi.
Peran pembelaan atau advokasi merupakan salah satu praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan dengan kegiatan politik. Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kelas (class advocacy).

Apabila pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan kelas terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat.


Beberapa strategi dalam melakukan peran pembela adalah :

  • Keterbukaan, membiarkan berbagai pandangan untuk didengar,
  • perwakilan luas, mewakili semua pelaku yang memiliki kepentingan dalam pembuatan keputusan,
  • keadilan, kesetaraan atau kesamaan sehingga posisi-posisi yang berbeda dapat diketahui sebagai bahan perbandingan,
  • pengurangan permusuhan, mengembangkan keputusan yang mampu mengurangi permusuhan dan keterasingan,
  • informasi, menyajikan masing-masing pandangan secara bersama dengan dukungan dokumen dan analisis,
  • pendukungan, mendukung patisipasi secara luas,
  • kepekaan, mendorong para pembuat keputusan untuk benar-benar mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap minat-minat dan posisi-posisi orang lain.

5. Pelindung (protector)
Tanggungjawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung (protector) terhadap orang-orang yang lemah dan rentan.

Dalam melakukan peran sebagai pelindung (guardian role), pekerja sosial bertindak berdasarkan kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang berisiko lainnya.


Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan berbagai kemampuan yang menyangkut: (a) kekuasaan, (b) pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial.


Prinsip-prinsip peran pelindung meliputi :

  • Menentukan siapa klien pekerja sosial yang paling utama.
  • Menjamin bahwa tindakan dilakukan sesuai dengan proses perlindungan.
  • Berkomunikasi dengan semua pihak yang terpengaruh oleh tindakan sesuai dengan tanggungjawab etis,
  • legal dan rasional praktek pekerjaan sosial.

Secara umum peran Peksos sebagai pengembang/pekerja komuniti (community worker) dalam pengembangan masyarakat, juga dapat melakukan hal-hal sbb. :
  1. Fasilitatif, yaitu dengan melakukan animasi social/menggerakkan atau menghidupkan kondisi social, mediasi & negosiasi, dukungan, membangun consensus, fasilitasi kelompok.
  2. Edukasional, yaitu melakukan peningkatan kesadaran, memberi informasi, mengkonfrontasi, pelatihan.
  3. Representasional, yaitu mendapatkan sumber, advokasi, memanfaatkan media masa, hubungan masyarakat, networking, berbagi pengalaman.
  4. Peran teknis, yaitu melakukan pengumpulan dan analisis data, menggunakan komputer, manajemen, financial skill, need assessment.
Agar Peksos (pekerja komuniti/community worker atau pengembang) dapat berperan dengan baik dalam program pengembangan masyarakat, sedikitnya ada dua pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki.

Pertama, pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan masyarakat (community needs assessment), yang meliputi:

  1. jenis dan tipe kebutuhan,
  2. distribusi kebutuhan,
  3. kebutuhan akan pelayanan,
  4. pola-pola penggunaan pelayanan, dan
  5. hambatan-hambatan dalam menjangkau pelayanan.

Kedua, pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium dan jaringan antar organisasi, yang mencakup:

  1. kebijakan-kebijakan setiap lembaga,
  2. peranan lembaga-lembaga,
  3. potensi dan hambatan setiap lembaga,
  4. metode partisipatif dalam memecahkan masalah sosial masyarakat, dan
  5. prosedur pelayanan.

Disamping itu, kemampuanh dan ketrampilan teknis yang akan mendukung tugas-tugas pengembangan masyarakat juga harus dikuasai, seperti :
  1. Komunikasi personal
  2. Memahami dinamika kelompok
  3. Pendidikan masyarakat
  4. Menyediakan sumber
  5. Membuat tulisan
  6. Memotivasi
  7. Mengatasi konflik
  8. Mewakili dan advokasi
  9. Presentasi publik
  10. Kolaborasi dengan media masa
  11. Manajemen dan pengorganisasian
  12. Penelitian.


IX. PENUTUP.

Seiring kuatnya arus informasi dan kuatnya tuntutan demokratisasi dan transpoaransi, maka dalam penanganan pengembangan masyarakat partisipatif selain terbuka peluang juga menghadang tantangan yang sangat berbeda dengan era-era sebelumnya. Kondisi ini menuntut para Peksos, juga para pekerja Komuniti/community worker untuk terus mengasah pengetahuan dan pemahamannya yang terkait dengan kemasyarakatan.

Kompleksitas persoalan-persoalan social dan kemasyarakatan yang semakin rumit, menuntut Pekerja Sosial harus mampu memobilisasi masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhannya, dan kemudian berkerjasama untuk memenuhinya. Pekerja Sosial juga perlu mampu mengurangi kesenjangan dalam pemberian pelayanan, penghapusan diskriminasi dan ketelantaran melalui strategi-strategi pemberdayaan masyarakat. Fragmentasi dan konflik antar masyarakat yang cederung meningkat dewasa ini semakin menuntut pekerja sosial untuk lebih meningkatkan kemampuan profesionalnya, khususnya dalam bidang pendekatan-pendekatan kritis dan alternatif.


Pengembangan masyarakat Partisipatif sebagai metoda pekerjaan social akan memberikan kontribusi positif yaitu terjadi akselarasi atau percepatan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan social, manakala dilakukan pendekatan, model dan strategi serta asumsi-asumsi yang tepat. Ini semua dibutuhkan sikap profesionalitas dari Peksos. Kuncinya terus belajar dan terus memahami perkembangan yang ada, agar perkembangan yang diingin, perkembangan yang sesungguhnya, bukan justru bukan kemunduran.***



X. DAFTAR PUSTAKA.
1. Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Cet 1. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
2. Adi Fahrudin, Drs.,M.Soc.Sc, Pengembangan Masyarakat Bersumber Partisipasi Masyarakat, Modul diterbitkan BDPPS Lembang-Bandung, 1998.
3. Edy Suharto, Dr. M.Sc, Metodologi Pengembangan Masyarakat, Modul Pelatihan TKSM di Pusdiklat TKSM, Jakarta, 2002.
4. Edi Suharto, PhD, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS). 1997
5. Edy Suharto, PhD, Peran Peksos dalam Community Development, www.policy.hu/suharto.
6. Muhammad khoirun Najib, Pengembangan Masyarakat Islam, dalam Populis Jurnal Pengembangan masyarakat edisiNo. III/2003, Jogjakarta, Elsaq Press.
7. Sukriyanto, Model-model Pengembangan Masyarakat Dalam Era Kekinian.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS