tag:blogger.com,1999:blog-79546404801463314042024-03-13T20:51:31.653-07:00ViolamViolamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-11644791171128160422011-03-25T01:20:00.000-07:002011-03-25T01:41:04.243-07:00Pemberdayaan<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >PEMBERDAYAAN MASYARAKAT</span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;font-family:verdana;" >(COMMUNITY EMPOWERMEMT)</span><br /></span><span style="font-family:verdana;"><br /><span style="font-size:78%;"><span style="font-weight: bold;">Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM</span></span></span><span style="font-size:78%;"><br /><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >Widyaiswara Madya.</span></span><br /></div><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >A. PENDAHULUAN.</span><br /><span style="font-family:verdana;">Pelaksanaan otonomi daerah yang bergulir sejak adanya reformasi dengan ditetapkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008, telah melahirkan banyak perubahan yang cukup signifikan, terutama yang berhubungan antar pelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Dalam Penjelasannya disebutkan bahwa, otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah (Pusat) yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Kendala yang muncul pada kondisi social yang ada, pada salah satu sisi, kurangnya kemampuan masyarakat atau keberdayaan masyarakat dalam kreativitas dan kapasitasnya secara lebih kritis dan rasional, karena masih banyak terbelit dengan masalah kemiskinan, baik kemiskinan secara ekonomi, kemiskinan intelektual (pengetahuan dan ketrampilan), kemiskinan secara fisik, kemiskinan informasi dan politik (aksesibilitas informasi dan demokratisasi) dll. Pada sisi lain, di tengah era globalisasi, informasi dan komunikasi yang serba cepat, masyarakat seharus memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi agar mampu menjalani kehidupan masa depan dengan lebih baik. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Kondisi seperti ini, tidak hanya dihadapi oleh Indonesia saja, tetapi hampir terjadi khususnya pada negara-negara berkembang lainnya. Karena itu pada September 2000, Pemerintah Indonesia bersama 189 negara lain, pada KTT Melinium di New York menyetujuai Deklarasi Milenium, dan ada 147 negara yang menandatangani Deklarasi tersebut termasuk Indonesia. Isinya berupa komitmen negara –negara dunia dan komunitas internasional untuk mewujudkan “8 Sasaran Pembangunan Melinium atau Mellinnium Development Goals (MDGs) tahun 2000-2015. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Kedelapan sasaran tersebut meliputi : Pengentasan kemiskinan dan kelaparan ekstrim; Pemerataan pendidikan; Mendukung adanya persamaan jender dan pemberdayaan perempuan; Mengurangi tingkat tingkat kematian anak; Meningkatkan kesehatan ibu, Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; Menjamin daya dukung lingkungan; dan Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Komitmen semua negara di dunia untuk memberantas kemiskinan ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam Deklarasi Johannesburg mengenai “Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development” yang disepakati oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, September 2002. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Hasil deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen ”Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang juga telah ditanda-tangani oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia dengan target memberantas kemiskinan pada tahun 2015.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Pada tahun 1960, lahir sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut Community Development (atau CD). CD adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat. CD tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. CD adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Pada abad millennium yang diwarnai dengan adanya tehnologi tinggi dibidang informasi dan komunikasi, menjadikan kehidupan ini bercirikan perubahan yang cepat, kompleks, beresiko tinggi, kompetitif dan penuh dengan kejutan. Kondisi seperti ini membuat individu, kelompok atau komunitas harus memiliki kemampuan melakukan berbagai upaya untuk ikut arus perubahan, menyesuaikan diri, atau mengambil kendali perubahan. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Pada sisi lain interdependensi atau ketergantungan antara individu, kelompok, komunitas, bahkan antar negara dalam percaturan dunia internasional sebagai totalitas semakin kuat, karena sadar semakin sulit untuk menghadapi perubahan itu sendirian. Itu artinya, keterlibatan semua pihak, stakeholder masyarakat, bangsa dan negara pada strata apapun, menjadi penting dalam menghadapi kemajuan dan perubahan jaman demi kelangsungan hidup yang lebih baik. Disinilah arti penting upaya pemberdayaan masyarakat terus harus dilakukan seiring dengan terus bergulirnya arus perubahan.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Pemberdayaan adalah bagian dari paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya yakni mulai dari aspek intelektual (SDM), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat saja, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai social budaya local. Pemberdayaan sebagai konsep social budaya yang implementatif, dalam pembangunan yang berpihak kepada kepentingan rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah secara ekonomi (pengentasan kemiskinan ekonomi) tetapi juga nilai tanbah social dan budaya.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >B. PENGERTIAN.</span><br /><span style="font-family:verdana;">Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris “empowerment” yang berarti “memberi kuasa/wewenang/kekuatan”, dalam kata ‘power’ tidak saja ada ‘daya’ tetapi juga ada ‘kuasa/kekuasaan’, sehingga “daya” tidak saja mengandung makna ‘mampu’ tetapi juga ‘berkuasa’ untuk melakukannya.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Memberikan kekuatan (power), memberikan dimensi bertambahnya kekuatan bagi satu pihak dan berkurangnya pada pihak lain atau timbulnya hirarkhi adanya kekuatan dan ketiadanya kekuatan. Simon (1990) dalam Rethinking Empowerment mengemukakan : Pemberdayaan merupakan system yang berinteraksi dengan lingkungan social dan fisik. Terkandung maksud bahwa pemberdeyaan bukan merupakan upaya pemaksanaan kehendak, proses yang dipaksakan, kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, atau hanya untuk keterlibatan dalam kegiatan tertentu saja.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Cornell Empowerment Group (Randy, 179) mendefinisikan pemberdayaan sebagai proses sengaja dan berkelanjutan, berpusat pada masyarakat local, dan melibatkan prinsip saling menghormati, refleksi kritis, kepedulian, dan partisipasi kelompok, dan melalui proses tersebut, orang-orang yang kurang memiliki bagian yang setara akan sumber daya berharga, akan memperoleh akses yang lebih besar dan memiliki kendali atas sumber daya tersebut.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Pemberdayan masyarakat didefinikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat menekankan partisipasi masyarakat untuk menemukenali permasalahan sendiri, mengatasi dengan program kerja yang sesuai dan mengatur penyelenggaraan untuk keberlajutannya. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Dari pengertian pemberdayaan masyarakat tersebut, akan terlihat tiga tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu : Mengembangkan kemampuan dan kecakapan masyarakat; Mengubah perilaku masyarakat, dan Mengorganisir diri masyarakat. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan adalah multi dimensi, seluruh kemampuan yang dapat memperbaiki kehidupan sosialnya. seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mengakses informasi, kemampuan untuk berkomunikasi, mengelola kegiatan, kemampuan dalam mengelola permasalahan yang dihadapinya.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >C. KONSEP DAN AGENDA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.</span><br /><span style="font-family:verdana;">Proses ‘menjadi berdaya’ bukan proses yang secara instan bisa diwujudkan, ada tahapan yang patut dilakukan, yaitu diawali dengan tahap penyadaran, pengkapasitasan dan kemudian pendayaan. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Pada tahap penyadaran dilakukan pencerahan kepada sasaran yang diberdayakan bisa dengan memberikan pemahaman dan pengetahuan yang bersifat kognitif, belief (percaya) dan healing (sehat). Kemudian dilakukan pengkapasitasan atau sering disebut <span style="font-style: italic;">‘capacity building’ </span>atau dengan kalimat yang lebih sederhana adalah <span style="font-style: italic;">‘memampukan’</span> atau <span style="font-style: italic;">enabling. </span></span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Program capacity building diarahkan untuk memampukan sasaran agar mereka ‘cakap’ (<span style="font-style: italic;">skillfull</span>) dalam mengelola kehidupan dirinya (individu), dapat mengelola sumber-sumber produksi dan sumber-sumber social (sdm, kelembagaan, teknologi, capital, dan system nilai) bagi sasaran komunitas/masyarakat. Dan pada tahap ketiga adalah m</span><span style="font-family:verdana;">eningkatkan daya / melakukan pemberdayaan itu sendiri atau </span><span style="font-style: italic;font-family:verdana;" >‘empowerment’. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Yang patut diperhatikan dalam pemberian daya ini, hendaknya diperhatikan kemampuan dan kecakapan sipenerima/sasaran. Jangan diberikan diberikan daya melebihi kemampuan dan kecakapannya. Misalnya, mereka diberdayakan dengan teknologi dan capital yang jauh dari kemampuannya. Memberikan pinjaman modal usaha tentu disesuaikan dengan kemampuan tingkat usahanya. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Konsep ‘empowerment’ menekankan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung (partisipasi), demokratis, dan pembelajaran social melalui pengalaman langsung. Konsep pemberdayaan merupakan hasil kerja proses interaktif baik pada tataran ideologis (antara konsep ‘top-down dan bottom-up’) dan tataran implementasi. Pada tataran implementasi, interaktif akan terjadi lewat pertarungan antar otonomi (Friedmann,1992). Konsep pemberdayaan sekaligus mengandung konteks pemihakan kepada lapisan masyarakat yang berada di bawah garus kemiskinan (Mubiyarto, 1997).</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup tiga capain dengan pengertian untuk ‘community develompment’ (pembangunan masyarakat), community-based development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat), dan community driven development, yang diterjemahkan dengan pembangunan yang ditujukan atau diarahkan masyarakat, atau lebih tegasnya pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, partisipasi masyarakat memiliki kontribusi yang signifikan dalam semua proses pembangunan. Ini dapat terjadi apabila keberdayaan dalam konteks masyarakat sudah signifikan, yaitu kemampuan individu yang larut dan bersenyawa dalam masyarakat telah membangun adanya keberdayaan masyarakat. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Sumber-sumber keberdayaan masyarakat ada pada kondisi fisik dan mental yang sehat, pendidikan-pengetahuan dan ketrampilan serta kecerdasan social, serta nilai-nilai instrinsik yang ada pada masyarakat seperti nilai kebersamaan, kekeluargaan, kegotong-royongan, sikap kejuangan, dan kesadaran adanya kebhinekaan yang ada di Indonesia ini.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Dalam melakukan program pemberdayaan, para pelaku pemberdaya atau stakeholder yang memiliki kepedulian untuk memberdayakan masyarakat, perlu memperhatikan tiga agenda besar berikut ini.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;font-family:verdana;" >1. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia</span><br /><span style="font-family:verdana;">Sumber daya manusia (SDM) merupakan modal yang sangat penting dalam melakukan pembangunan, hal ini menjadi focus karena memang ‘manusia” itulah yang menjadi subyek dan obyek dari pembangunan iru sendiri. </span><br /><span style="font-family:verdana;">Karena itu dampak yang diinginkan dari pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat dalam mengatasi permasalahan mereka melalui prakarsa dan kreatifitas untuk meningkatkan kualitas hidup. Itu dapat melakukan itu dibutuhkan masyarakat yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan, motivasi dan sikap yang optimis dan semangat untuk keluar dari permasalahan mereka. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Kemandirian merupakan sikap yang bersumber pada kepercayaan diri. Kemandirian juga adalah kemampuan (mental dan fisik) untuk : </span><br /><span style="font-family:verdana;">1) memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri; </span><br /><span style="font-family:verdana;">2) memperhitungkan kesempatan dan ancaman lingkungan; dan </span><br /><span style="font-family:verdana;">3) Memilih berbagai alternatif yang tersedia untuk mengatasi persoalan dan sekaligus mengembangkan kehidupan secara serasi dan berkesinambungan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;font-family:verdana;" >2. Membangun Kelembagaan Masyarakat.</span><br /><span style="font-family:verdana;">Membahas tentang kelembagaan masyarakat erat kaitannya dengan proses pemberdayaan masyarakat di tingkat masyarakat/komunitas, karena pemberdayaan sebagai upaya untuk memandirikan masyarakat sasaran, tidak sekedar bertumpu pada pendekatan-pendekatan metodologis pada proses pemberdayaan semata, tetapi harus dapat terwujud yang lebih konkrit sebagai bentu dari pencapaian suatu program.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Misalnya, ketika dilaksanakan program pemberdayaan masyarakat miskin dalam suatu wilayah tertentu, pemberdayaan bukan ditempatkan hanya pada bagaimana metodenya dan bagaimana proses perencanaan dan pelaksanaannya, tetapi penting juga dilakukan pemantauan dan evaluasi keberlanjutannya. Sudah seberapa banyak masyarakat miskin yang berkurang, dengan dilakukan pemberdayaan tersebut, dan secara kuantitas kemandiriannya terus meningklat, dan semakin berkurang tingkat ketergantungannya terhadap pelaku pemberdaya dilingkungannya. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Karena itulah, program pemberdayaan orientasinya harus selalu tertuju kepada kemandirian, kesinambungan, dan keberlanjutan. Sangat mubadzir apabila suatu program pemberdayaan dilaksanakan justru akan menciptakan ketergantungan masyarakat kepada pihak lain atau kepada pihak pelaku pemberdayaan tersebut ( isitlah yang sangat umum, jangan beri mereka umpan, tetapi berilah mereka kail agar bisa mendapat ikat terus menerus )</span><br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;font-family:verdana;" >3. Menyediakan Fasilitas Produksi (teknologi dan modal usaha)</span><br /><span style="font-family:verdana;">Seperti yang diun gkap sebelumnya, pemberdayaan berfokus untuk mendorong kemandirian masyarakat. Kemandirian akan dicapai kalau masyarakat memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam menjalani kehidupannya. Salah satu input untuk meningkatkan produktifitasnya adalah ada pada tehnologi dan capital, atau ketrampilan teknis dan permodalan.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Dalam proses pelaksanaan program pemberdayaan, sering berhadapan dengan aspek pengembangan teknologi dan aksesibilitas permodalan. Banyak pelatihan ketrampilan yang sudah dilaksanakan, tetapi banyak menghadapi kendala ditingkat pemasaran hasil dan akses permodalan. Kelompok-kelompok belajar usaha ekonomi produktif (UEP) melambat perkembangannya, sering berkendalam daya saing yang lemah, karena aspek teknologi (produksi dan pemasaran) serta aspek permodalannya.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Juga yang sering terabaikan adalah penyediaan pusat informasi yang mudah diakses oleh masyarakat, untuk kalangan tertentu hal ini sudah bisa diatasi dengan jaringan internet, media lainnya, tetapi pada komunitas tertentu lainnya masih banyak lemah memperoleh informasi yang berkaitan dengan keadaan mutahir tentang peluang dan hambatan dunia usaha, peluang pasar serta akses modal.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >D. PENDEKATAN DALAM PEMBERDAYAAN.</span><br /><span style="font-family:verdana;">Dalam melakukan pemberdayaan masyarakat perlu dikenali mengenai bentuk-bentuk kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat, karena itu pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang, yaitu <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Deficit Based </span>dan <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Strength Based. </span></span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Pendekatan <span style="font-style: italic;">Deficit-Based</span> terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan. (Cooperrider dan Srivastva, 1987)</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Untuk mendukung dalam meilih model pendekatan yang akan digunakan dalam pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan kajian mengenai jenis kekuatan-kekuatan yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Ketajaman pengamatan dan analisis terhadap bentuk-bentik kekuatan yang ada dalam masyarakat akan sangat membantu secara efektif dan efisien dalam melakukan keguatan denagn masyarakat.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >1. Kekuatan Pendorong.</span><br /><span style="font-family:verdana;">Dengan menemukan dan mengenali bentuk-bentuk kekuatan pendorong yang ada dalam kehidupan masyarakat sasaran, akan membantu proses berlangsungnya proses perubahan sesuai yang ditargetkan dalam pemberdayaan masyarakat. Tanpa adanya kekuatan pendorong dari individu/kelompok/ organisasi masyarakat secara keseluruhan, kiranya sulit dan lambat kita malakukan perubahan. Kekuatan pendorong juga bisa kita ciptakan (secara ekstrin diprovokasi) dalam menjadi dorongan untuk melakukan perubahan.<br /><br />Ciri-ciri kekuatan pendorong dalam sisten sasaran perubahan adalah :</span><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;font-family:verdana;" ><br />a. Merasa tidak puas dengan situasi dan kondisi yang ada</span><br /><span style="font-family:verdana;">Ketidak puasan tersebut memiliki alasan karena potensi untuk lebih maju atau lebih baik masih sangat terbuka. Secara psikologis suasana kebatinan orang seperti ini, lebih mudah untuk didorong melakukan pembaharuan demi memenuhi keinginan yang belum terpenuhi. Masalahnya, bagaimana kita menemukenali kondisi psikologis yang demikian ini. Kecerdasan dan kecermatan para petugas social sangat ditantang untuk mengnalisisnya. </span><br /><span style="font-family:verdana;">Masyarakat dengan tingkat psikologis yang demikian ini, alternative model pendekatan yang digunakan adalah <span style="font-style: italic; font-weight: bold;"> locality development</span> (pengembangan localitas) </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">b. Rasa bersaing untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan.</span></span><br /><span style="font-family:verdana;">Perasaan ini timbul karena adanya tuntuan baik secara biologis, psikologis ataupun sosiologis sehingga mendorong adanya upaya untuk melakukan perubahan. </span><br /><span style="font-family:verdana;">Misalnya, Pingin makan enak atau baju keren atau rumah bagus, secara normative, mendorong orang akan bekerja keras dan berhemat. Keinginan agar dirinya dihormati atau disegani, atau dapat diterima dalam pergaulan di masyarakat, mendorong orang untuk selalu berbuat kebajikan, Demikian juga, keinginan untuk memiliki HP, sepeda motor atau mobil, mendorong orang harus bekerja keras dan menabung. </span><br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;font-family:verdana;" >c. Menyadari adanya kekurangan.</span><br /><span style="font-family:verdana;">Kesadaran akan adanya kekurangan dalam dirinya, maka orang terdorong untuk mengejar kekurangannya itu. Misalnya, kekurangtahuan mengenai teknologi bercocok tanam padi yang baik, maka ia berusaha mencari ilmu kepada siapa saja yang dapat mengajarkan ilmu bertani yang baik.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >2. Kekuatan Bertahan.</span><br /><span style="font-family:verdana;">Kekuatan bertahan yang ada pada masyarakat berupa, upaya masyarakat untuk mempertahankan apa yang telah ada di dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan ini bisanya terlihat dalam sikap masyarakat yang menentang setiap hal-hal yang baru, inocasi-inovasi baru, temuan-temuan baru yang dicurigai akan menimbulkan perubahan terhadap sesuatu yang ada dan yang selama ini sudah menjadi milik yang patut dipertahankan.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Sikap bertahan ini diselimuti karena rasa takut akan merusak tatanan yang sudah mapan, takut menghadapi kegagalan karena keterbatasan sumber dayanya, baik SDM maupun SDA nya. Bisa juga penolakan inovasi baru, atau sikap bertahan dari masyarakat ini tibul akibat agen pembaharu/petugas pemberdaya/petugas social nya kurang baik perilakunya atau kurang mampu menjelaskannya atau memang figure yang ditolak oleh masyarakat tersebut.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Menghadapi kekuatan bertahan yang ada dalam masyarakat seperti ini, alternative pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan model pendekatan <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">‘social planning’ </span>(perencanaan social).</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >3. Kekuatan Penggangu</span><br /><span style="font-family:verdana;">Kekuatan pengganggu selalu ada dalam kehidupan masyarakat, dan kekuatan ini akan menghambat proses perubahan dan upaya pemberdayaan masyarakat. Banyak factor penyebabnya, oleh karena itu para petugas social atau para pemberdaya harus terampil dalam menganalisisnya, dan yang penting jangan meletakkan posisi berhadap. Asumsikan bahwa kekuatan penggangu ini adalah karena factor ketidak tahuan mengenai makna pembaharuan dan pemberdayaan bagi masyarakat.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Kondisi masyarakat seperti ini, dalam melakukan pemberdayaan, alternative pendekatan yang digunakan adalah model pendekatan <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">“social action”</span> ( aksi social ) yang dimodifikasi sesuai budaya local.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Timbulnya kekuatan penggangu dalam masyarakat dalam proses pemberdayaan masyarakat, sering bersumber pada hal seperti :</span><br /><span style="font-family:verdana;">a. Adanya kekuatan di masyarakat yang bersaing untuk berebut pengaruh dan dukungan dalam masyarakat (baik terkait peluang financial, leader, target social lainnya)</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />b. Kerumitan inovasi atau program-program pemberdayaan itu sendiri bagi masyarakat.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />c. Terbatasnya sumber daya yang dimiliki untuk pelaksanaan program pemberdayaan.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >E. STAKEHOLDER PEMBERDAYA</span><br /><span style="font-family:verdana;">Pemberdayaan adalah sebagai proses. Keberhasilan proses ini bukan hanya karena faham terhadap pengetahuan dan ketrampilan menyangkut pemberdayaan dan pembangunan, akan tetapi seluruh stakeholders (seluruh unsur terkait dalam program pemberdayaan masyarakat selaku pemberdaya ) harus komitmen dengan beberapa hal antara lain:</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">a. Komitmen pada profesionalisme</span><br /><span style="font-family:verdana;">b. Komitmen pada keterbukaan</span><br /><span style="font-family:verdana;">c. Komitmen pada kejujuran</span><br /><span style="font-family:verdana;">d. Komitmen pada kebersamaan dan kerjasama</span><br /><span style="font-family:verdana;">e. Komitmen pada kemiteraan, dan</span><br /><span style="font-family:verdana;">f. Komitmen pada kepentingan pembelajaran dan mencari keuntungan bersama dalam bentuk pola horizonal.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Prof. Bob Tilden telah memberikan jawaban mengenai keterampilan dan sikap apa yang harus dimiliki oleh stakeholder pelaku pemberdaya. Menurut Tilden sekurang-kurangnya ada 4 (empat) kegiatan penting yakni :</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">1. Problem solving (pemecahan masalah); </span><br /><span style="font-family:verdana;">2. Sense of Community (perduli terhadapa masyarakat); </span><br /><span style="font-family:verdana;">3. Sense of mission (komitmen terhadap misi proyek); dan </span><br /><span style="font-family:verdana;">4. Honesty with self and with others (jujur kepada diri sendiri dan orang lain).</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Disamping itu ada dua belas prinsip yang harus dijadikan kekuatan internal para stakeholder pelaku pemberdaya, yaitu :</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Pertama,</span> para pelaku pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders, harus berlaku adil ( melaksanakan prinsip kerja berdasarkan keadilan dan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerja yang adil). </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Dalam hal ini ada dua hal untuk menunjukan perilaku adil, yaitu Keadilan Distribusi dan keadilan Prosedural.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Keadilan distribusi yang dimaksudkan adalah berlaku adil ketika mendistribusikan sesuatu, meskipun yang miskin harus diutamakan. Setiap orang beraharap adanya sikap adil, tetapi tidaklah berlebihan kalau kelompok miskin yang didahulukan, baik miskin secara ekonomi (kurang pangan,sandang, papan, dst), miskin intelektual (kurang pengetahuan dan ketrampilan), miskin social ( para penyandang masalah social ), dll. Kelompok ini karena membutuhkan perhatian lebih karena factor kemiskinan/kekuarangan tersebut, disbanding kelompok yang tidak miskin, karena mampu melakukan secara mandiri. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Keadilan prosedural adalah berlaku adil dalam memberikan pelayanan public, dan sekalipun yang harus mengutamakan kelompok miskin, bukan malah sebaliknya, selalu mengutakan kelompok yang mampu membayar lebih atau kelompok tidak miskin.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;"> <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kedua,</span> seluruh unsur stakeholders harus jujur ( jujur kepada diri sendiri dan jujur kepada orang lain). </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Kejujuran adalah sifat dasariah manusia, namun seringkali berubah (menjadi tidak jujur) karena terkalahkan oleh kepentingan emosi pribadinya. Kejujuran sangat besar pengaruhnya terhadap keadilan. Keduanya merupakan sifat dasariah manusia.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Ketiga,</span> kemampuan melakukan problem solving, menumbuhkan inovasi, asistensi, fasilitasi, promosi, dan social marketing.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Memecahkan masalah (problem solving) adalah proses bagaimana semua pihak menerima solusi yang ditawarkan, selalu diusahakan dalam bentuk win-win solution’. harus trampil dan kreatif mencari inovasi (ide dan pemikiran baru atau terobosan baru); trampil melakukan asistensi dan fasilitasi (bimbingan dan dampingan); dan terampil dalam hal promosi dan sosial marketing.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Keempat, </span>kerjasama dan koordinasi seluruh unsur stakeholders berdasarkan kemitraan. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Walaupun sebagai pelaku pemberdaya berangkat dengan atribut jabatan dan institusi, hendaknya dalam proses pemberdayaan harus berlangsung secara kemitraan. Karena mewujudkan visi dan misi adalah tugas dan tanggung jawab bersama, bahkan lebih pada kelompok sasaran, karena pelaku pemberdaya hanya sebagai fasilitator.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kelima, </span>gerakkan partisipasi aktif secara kuantitas dan kualitas. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Partisipasi disini tidak hanya diukur oleh jumlah (kuantitas) melainkan harus juga diukur oleh seberapa banyak elemen masyarakat yang terlibat (kualitas), misalnya dari latar belakang jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), latar belakang usia (tua dan muda), latar belakang sosial-ekonomi (kaya – menengah dan msikin) dan lain sebagainya. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Bias partisipasi yang sering dijumpai, pada saat melakukan pertemuan dengan masyarakat, mengundangnya lebih pada jumlah, tidak pada varian elemen komunitas. Hadir 50 orang dari satu elemen masyarakat, lebih kualitas hadir 30 orang namun dari beberapa elemen masyarakat (isitlah dalam komunikasi, adalah sasaran antara)</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Keenam, </span>lingkup dan cakupan program berlangsung secara terpadu. </span><br /><span style="font-family:verdana;">Keterpaduan ini mengandung dua aspek, aspek tujuan dan aspek pelaku pemberdaya. Keterpaduan pada aspek tujuan adalah adanya kesamaan sudut pandang, visi yang dituju dalam pemberdayaan masyarakat, misal dalam aspek intelektual, social-ekonomi, dll. Maka tujuan juga harus mampu meningkatkan aspek pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan. Selanjutnya dari sisi pelakunya, keterpaduan harus diartikan kepada kerjasama unsur stakeholders yang harmonis dan kondusif.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Ketujuh,</span> mengutamakan penggalian dan pengembangan potensi lokal. </span><br /><span style="font-family:verdana;">Pengembangan potensi lokal untuk merintis kemandirian dan memperkecil terjadinya ketergantungan kepada pihak luar. Pengembangan potensi lokal yang konsisten, juga mengandung maksud agar masyarakat sadar bahwa kontribusi itu jauh lebih realistis untuk tujuan rasa memiliki.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kedelapan, </span>aktif melakukan mobilisasi dan peningkatan swadaya yang bertumpu kepada kekuatan masyarakat sendiri/kelompok sasaran (self-reliant development). </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Kenyataan banyak sekali bentuk kemampuan yang bisa diswadayakan oleh masyarakat misalnya: tenaga, ide dan pemikiran, uang, dan kepemilikan (tanah dan harta lainnya).</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kesembilan,</span> mengembangkan metode pembinaan yang konstruktif dan berkesinambungan. </span><br /><span style="font-family:verdana;">Program pembinaan dikonstruksi bersama oleh semua pihak sehingga dapat dipastikan bahwa antara satu bentuk pembinaan dengan bentuk yang lainnya akan berkorelasi positif, saling mendukung dan berkesinambungan.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kesepuluh,</span> pelaksanaan kegiatan berlangsung secara gradual/bertahap. </span><br /><span style="font-family:verdana;">Tahap-tahap kegiatan pemberdayaan sebaiknya dibuat bersama masyarakat. Para pemberdaya/Fasilitator dapat menggabungkan antara alokasi waktu program pemberdayaan dengan yang tersedia pada masyarakat. </span><br /><span style="font-family:verdana;">Kesebelas, seluruh unsur stakeholders harus konsisten terhadap pola kerja pemberdayaan. </span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Pola pemberdayaan adalah berorientasi pada pembangunan manusia seutuhnya, baik non fisik maupun fisik. Pemberdayaan adalah untuk kepentingan manusia seutuhnya. Oleh karena itu pola dan cara kerja harus mampu menyentuh kepada seluruh kepentingan masyarakat (SDM, ekonomi dan material serta manajrial) </span><br /><span style="font-family:verdana;">Keduabelas, komitmen serta peduli kepada misi pemberdayaan dan kepada masyarakat miskin yang kurang mampu (Sense of mission, sense of community, and mission driven profesionalism).</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Misi pemberdayaan adalah memiliki perepektif kesinambungan dalam kemandirian. Oleh karena itu komitmen pemberdayaan masyarakat tidaklah putus dalam satu decade atau satu tahapan proses. Gerak pemberdayaan kepada seluruh aspek kebutuhan manusia adalah secara otomatis bermuara pada kesinambungan. Apabila terjadi ketidaksinambungan, maka ini berarti ada yang tidak benar di dalam melakukan pemberdayaannya. </span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >F. PENUTUP.</span><br /><span style="font-family:verdana;">Pemberdayaan sebagai suatu proses, suatu mekanisme, dalam hal ini, individu, organisasi, dan masyarakat menjadi ahli akan masalah yang mereka hadapi. Dalam teori pemberdayaan mengasumsikan bahwa, pemberdayaan akan berbeda bentuk untuk orang yang berbeda, untuk konteks yang berbeda, dan akan berfluktuasi atau berubah sesuai kondisi dan waktu.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Pemberdayan masyarakat sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat menekankan partisipasi masyarakat untuk menemukenali permasalahan sendiri, mengatasi dengan program kerja yang sesuai dan mengatur penyelenggaraan untuk keberlajutannya. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pemberdayaan masyarakat melingkupi hal-hal yang dialami masyarakat dalam upaya menyelesaikan ,asalah mereka sendiri.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Pemberdayaan masyarakat telah menjadi salah satu pendekatan yang digunakan dalam berbagai program pembangunan di Indonesia, terutama dalam penanggulangan kemiskinan sejak adanya krisis ekonomi tahun 1997. Pemberdeyaan masyarakat dalam upaya penguatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, disorong oleh pergantian paradigma pembangunan yang sebelumnya cenderung semtralistik dikenal dengan “government driven” bergeser ke paradigma “ community driven development “. Hak ini karena pembangunan berbasis partisipasi akan lebih berhasil baik disbanding dengan pembangunan yang berbasis dari kemauan pemerintah.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Sejak program pembangunan berbasis partisipasi dilaksanakan dengan pendekatan konsep pemberdayaan, maka beberapa kebijakan pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan yang berbasis konsep pemberdayaan diluncurkan seperti : (1) Program Pembangunan Kecamatan (PPK) yang dimulai sejak 1998; (2) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dimulai sejak Tahun 1999; (3) Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Prasarana Desa (P2MPD)/Community and Lokal Government Support Project (CLGS), dimulai sejak tahun 2002; (4) Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa (PMPD)/ Community Empowerment and Rural Development (CERD), dimulai sejak Tahun2001; (5) Program Kemitraan dan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) dimulai sejak tahun 2000; (6) Program Pembangunan Pendukung Daerah tertinggal dan Khusus (P2DTK)/Support for Poor Area and Disadvantage Area (SPADA), dimulai sejak tahun 2007; Program Pembangunan Prasarana Perdesaan (P2D), dimulai tahun 1999 s/d 2002, dan perbaharui dengan program Rural Infrastructure and Social-Economic (RISE), dimulai tahun 2008; dan Program Pemberdayaan dan Reformasi Tata Pemerintahan dan Kelembagaan (P2RTPD) / Initiatives for Local Governance Reform (ILGR) yang dimulai sejak 2004.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan seperti tersebut diatas, menunjukan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat sudah menjadi tuntutan perkembangan kondisi social- politik di Indonesia, dan hasil menunjukan adanya pengaruh yang signifikan terhadap kelancaran pelaksanaan program-program tersebut.***</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >G. DAFTAR PUSTAKA.</span><br /><span style="font-family:verdana;">1. Basir Barthos, Drs. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta, 1995</span><br /><span style="font-family:verdana;">2. Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama Press, Bandung, 2001 </span><br /><span style="font-family:verdana;">3. Mubyarto, Strategi Pembangunan Pedesaan, P3PK UGM Yogyakarta, 1984.</span><br /><span style="font-family:verdana;">4. Wrihatno, Randy R &R. Nugroho.D, Manajemen Pemberdayaan, PT Elex Media Komputindo-Gramedia, Jakarta, 2007.</span><br /><span style="font-family:verdana;">5. http://fiqihsantoso.wordpress.com/2008/06/17/konsep-dan-metode-pemberdayaan-masyarakat- indonesia/ ( Diakses tanggal 21 Maret 2011)</span><br /><span style="font-family:verdana;">6. MG Ana Budi Rahayu, Pembangunan Perekonomian Nasional Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa</span><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:trackmoves/> <w:trackformatting/> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:donotpromoteqf/> <w:lidthemeother>EN-US</w:LidThemeOther> <w:lidthemeasian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:lidthemecomplexscript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:splitpgbreakandparamark/> <w:dontvertaligncellwithsp/> <w:dontbreakconstrainedforcedtables/> <w:dontvertalignintxbx/> <w:word11kerningpairs/> <w:cachedcolbalance/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathpr> <m:mathfont val="Cambria Math"> <m:brkbin val="before"> <m:brkbinsub val="--"> <m:smallfrac val="off"> <m:dispdef/> <m:lmargin val="0"> <m:rmargin val="0"> <m:defjc val="centerGroup"> <m:wrapindent val="1440"> <m:intlim val="subSup"> <m:narylim val="undOvr"> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" defunhidewhenused="true" defsemihidden="true" defqformat="false" defpriority="99" latentstylecount="267"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Normal"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="heading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="35" qformat="true" name="caption"> <w:lsdexception locked="false" priority="10" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" name="Default Paragraph Font"> <w:lsdexception locked="false" priority="11" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtitle"> <w:lsdexception locked="false" priority="22" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Strong"> <w:lsdexception locked="false" priority="20" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="59" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Table Grid"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Placeholder Text"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="No Spacing"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Revision"> <w:lsdexception locked="false" priority="34" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="List Paragraph"> <w:lsdexception locked="false" priority="29" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="30" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="19" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="21" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="31" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="32" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="33" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Book Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="37" name="Bibliography"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" qformat="true" name="TOC Heading"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif";} </style> <![endif]--><span style=";font-family:";font-size:12pt;" >, <span style="font-size:100%;"><a href="http://www.binaswadaya.org/">http://www.binaswadaya.org/</a></span></span><br /><br />diposting : 25/03/2011<br /><br /><br /></div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-4491418130970788542011-03-09T00:05:00.000-08:002011-03-09T00:32:32.894-08:00Peksos<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;"><span style="font-family: arial;">PERAN PEKSOS DALAM </span><br /><span style="font-family: arial;">PENGEMBANGAN MASYARAKAT PARTISIPATIF.</span><br /></div><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-family: arial; font-style: italic;">Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-family: arial; font-style: italic;">Widyaiswara Madya UPT-PTKS Malang.</span></span><br /></div><br /><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">I. PENDAHULUAN.</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Istilah yang banyak digunakan untuk menunjukan usaha memajukan kesatuan-kesatuan masyarakat dibeberapa negara yang sedang berkembang adalah <span style="font-style: italic;">‘Cummunity Development (CD)’ </span>yang di Indonesia sering diartikan dengan pengembangan masyarakat (PM) atau pembangunan masyarakat. PBB sejak tahun 1954 sudah banyak menggunakan istilah ‘<span style="font-style: italic;">community development’</span>, sebagai penggunaan berbagai pendekatan dan teknik suatu program tertentu pada masyarakat. Program ini memberikan tekanan utama pada perbaikan kondisi kehidupan dasar dari warga masyarakat, termasuk didalamnya pemenuhan kebutuhan non material.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Pengembangan Masyarakat sebagai metoda yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993). Secara khusus Pengembangan Masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang yang tidak beruntung atau mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnyanya, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Pengembangan Masyarakat, sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, juga memungkinkan pemberi dan penerima pelayanan terlibat dalam proses perencanaan, pengawasan dan evaluasi. Pengembangan Masyarakat meliputi berbagai pelayanan sosial yang berbasis masyarakat mulai dari pelayanan preventif untuk anak-anak sampai pelayanan kuratif dan pengembangan untuk keluarga yang berpendapatan rendah. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br /><span style="font-style: italic;">Community Development </span>atau Pengembangan Masyarakat kini semakin populer sebagai salah satu pendekatan pembangunan yang berwawasan lokal, partisipatif dan edukatif. Secara akademis, Pengembangan Masyarakat dikenal sebagai salah satu metode pekerjaan sosial (social work) yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi social.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Pengembangan masyarakat partisipatif tidak menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek dari kegiatan pengembangan, tetapi memposisikan masyarakat sebagai subyek yang menentukan untuk mengembangkan dan memberdayakan dirinya. Pengembangan masyarakat paritisipatif merupakan disposisi dari era demokratisasi dan transparansi. Masyarakat terlibat dalam menentukan hajat hidup kedepannya. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Dalam perencanaan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada dewasa ini sudah banyak dikembangkan dengan model <span style="font-style: italic;">bottom up,</span> ini berarti pelibatan masyaratat dari tingkat bawah menjadi tahapan awal dalam penyusunan suatu perencanaan pembangunan. Yang menjadi persoalan, apakah masyarakat ditingkat bawah telah berdaya untuk terlibat dalam perumusan perencanaan tersebut. Perencanaan partisipatif tersebut memiliki kekuatan : efektivitas (karena yang baik bagi masyarakat belum tentu yang dibutuhkan oleh masyarakat); kinerja (<span style="font-style: italic;">performance, outcome</span>) nya bukan sekadar hasil seketika; terdapat Social virtue (kearifan social; dan masyarakat terasumsikan akan paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.</span><br /> <br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">II. KONSEP DASAR</span>.<br /><br /><span style="font-family: arial;">Pengembangan masyarakat partisipatif terdiri dari tiga konsep, yaitu “pengembangan”, “masyarakat”, dan “partisipatif”. Pengembangan yang dapat diartikan pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, pembangunan yang dimaksudkan adalah pembangunan manusia seutuhnya yang meliputi pembangunan sector fisik maupun sector nonfisik (mental spiritual).</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Menurut Mayo (1998), masyarakat diartikan dalam dua konsep, yaitu masyarakat sebagai “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Misalnya, sebuah rukun tetangga/rukun warga, komplek perumahan, daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan. Dan masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Misalnya, masyarakat nelayan, masyarakat petani, atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental, para lansia, dsb.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Istilah masyarakat dalam Pengembangan Masyarakat biasanya diterapkan terhadap pelayanan-pelayanan sosial kemasyarakatan yang membedakannya dengan pelayanan-pelayanan sosial kelembagaan. Misalnya pelayanan perawatan manula yang diberikan di rumah mereka dan/atau di pusat-pusat pelayanan yang terletak di suatu masyarakat merupakan contoh pelayanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan perawatan manula di sebuah rumah sakit khusus manula adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Pengertian</span> Pengembangan Masyarakat (PM) atau Community Development (CD) adalah sebagai wawasan dasar bersistem tentang asumsi perubahan social terencana yang diupayakan secara bersama untuk meningkatkan kualitas kehidupan sekelompok manusia dalam wilayah geografis tertentu atau kesamaan kepentingan berdasarkan budaya/identitas. Pengembangan Masyarakat juga diartikan sebagai pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan masyarakat lingkungan dalam aspek material dan spiritual tanpa merombak keutuhan komunitas dalam proses perubahannya. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Keutuhan komunitas dipandang sebagai persekutuan hidup atas sekelompok manusia dengan karakteristik : terikat pada interaksi sosial, mempunyai rasa kebersaman berdasarkan genealogis dan kepentingan bersama, bergabung dalam satu identitas tertentu, taat pada norma-norma kebersamaan, menghormati hak dan tanggung jawab berdasarkan kepentingan bersama, memiliki kohesi sosial yang kuat, dan menempati lingkungan hidup yang terbatas.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Istilah partisipasi menurut Mikkelsen (2005) biasanya digunakan di masyarakat dalam berbagai makna umum, diantaranya : </span><br /><ul><li><span style="font-family: arial;">Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu pembangunan, tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan.</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: arial;">Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: arial;">Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun kelompok yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai otonomi untuk melakukan hal itu.</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: arial;">Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam perubahan yang ditentukan sendiri oleh masyarakat.</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: arial;">Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri.</span></li></ul><span style="font-family: arial;">Perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas sejak munculnya metode partisipatif yang biasa disebut Participatory Rural Appraisal (PRA). Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifkasian masalah sampai pada penentuan skala prioritas.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Secara garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Permasalahan yang menghadang dalam perencanaan partisipatid antara lain bahwa partisipasi akan sulit terjadi apabila di dalam suatu masyarakat tidak mengetahui atau tidak mempunyai gagasan mengenai rangkaian pilihan yang seharusnya mereka pilih, karena keterbatasan aksesibilitas informasi, sehingga tidak mengherankan apabila masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, sering meminta hal-hal yang tidak mungkin atau hal lain yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan mereka. Jadi ada kemungkinan skala prioritas akan berbeda antara pihak pemerintah dan masyarakat.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Pengembangan masyarakat partisipatif (<span style="font-style: italic; font-weight: bold;">participatory community decelopment</span>) menunjuk pada upaya memberdayakan masyarakat untuk mampu menggagas ide-idea dasar untuk meningkatkan kehidupannya secara bersama-sama dalam suatu komunitas tertentu atau masyarakat, keterlibatannya secara bersama-sama antara masyarakat dengan pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan untuk mewujudkan kejehateraan social. Pengembangan Masyarakat partisipatif sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan, berdasarkan prakarsa komunitas itu sendiri</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Pengembangan masyarakat paritisipatif dengan pendekatan teori sumber daya manusia, memandang mutu penduduk sebagai kunci pembangunan dan pengembangan masyarakat. Banyaknya penduduk bukan beban pembangunan bila mutunya tinggi. Pengembangan hakikat manusiawi hendaknya menjadi arah pembangunan. Perbaikan mutu sumber daya manusia akan menumbuhkan inisiatif dan kewirausahaan.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Demikian juga pengembangan masyarakat partisipatif tidak bisa dilepas dari komponen ekosistem atau sumberdaya lingkungan sekitarnya, baik fisik maupun social. Dari sudut pandang ekologi/lingkungan sosial, pengembangan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh lingkungan fisik atau kondisi fisik alam sekitarnya saja, melainkan juga oleh lingkungan sosialnya, khususnya pranata-pranata/institusi social yang hidup didalamnya. Dengan kata lain bahwa perkembangan masyarakat pada umunya akan sangat ditentukan oleh kualitas interaksi dengan lingkungannya.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Pengembangan Masyarakat Partisipatif berfokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dengan melakukan upaya keberfungsian social terhadap orang dan sistem sosial agar memiliki kemampuan atau kapasitas dalam :</span><br /><span style="font-family: arial;">• memenuhi kebutuhan dasar (pendapatan, pendidikan, kesehatan)</span><br /><span style="font-family: arial;">• melaksanakan peran social.</span><br /><span style="font-family: arial;">• menghadapi goncangan dan tekanan.</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Pengembangan Masyarakat Pertisipatif seringkali diimplementasikan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab (Payne, 1995:165). </span><br /><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">III. PENDEKATAN.</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Pengembangan masyarakat partisipatif sebagai salah satu model pendekatan pembangunan (bottoming up approach) merupakan upaya melibatkan peran aktif masyarakat beserta sumber daya lokal yang ada. Dan dalam pengembangan masyarakat hendaknya diperhatikan bahwa masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat, punya norma-norma tradisional yang masih dipatuhi, yang kemungkinan sebagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Secara umum ada beberapa pendekatan dalam pengembangan masyarakat partisipatif, diantaranya adalah:</span><br /><ol><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan potensi lingkungan, hal ini berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang ada pada masyarakat setempat.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan Kewilayahan, hal ini berkaitan dengan pengembangan terhadap wilayah dalam arti kesesuaian dengan wilayahnya (desa/kota) terhadap hal yang akan dikembangkan, setiap wilayah/daerah tertentu memiliki kebutuhan tertentu pula.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan kondisi fisik, lebih pada kondisi fisik manusianya.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan ekonomi, hal ini berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan politik.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan Manajemen, Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan pendataan terhadap potensi, kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat kemudian dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, bugeting dan controlling. Model pendekatan ini sebenarnya dapat dilakukan dalam masyarakat yang bermacam-macam (pedesaan,perkotaan, marjinal, dan lain-lain).</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan sistem, Pendekatan ini melibatkan semua unsur dalam masyarakat</span><br /></li></ol><br /><span style="font-family: arial;">Disamping itu, dalam pengembangan masyarakat pertisipatif tersebut dapat pula dilakukan dengan pendekatan seperti :</span><br /><ol><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan Komunitas, Pendekatan ini menampilkan tiga ciri utama, yakni : a. partisipasi yang berbasis luas; b. komunitas merupakan konsep yang penting; c. kepeduliannya bersifat holistik. Pendekatan ini biasanya untuk memecahkan masalah luas dan menjadi kepentingan hampir semua warga. Warga terlibat dalam : a. pengambilan keputusan; b. pelaksanaan tindakan; c. penelaahan masalah menyeluruh; d. menghasilkan perubahan yang didasari pengertian dan dukungan moral.</span></li><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan Pemecahan Masalah. Komunitas menggunakan jasa tenaga ahli untuk memecahkan masalah yg dihadapi warga. Tenaga ahli tsb melakukan identifikasi masalah, pemecahan masalah, mencarikan sumberdaya untuk memecahkannya, merencanakan tindakan-tindakan, memobilisasi partisipasi dan akhirnya ia mengevaluasi seluruh proses dan hasilnya (Thomas,1973)</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan Demontrasi. Dengan memanfaatkan pengalaman komunitas lain yang diketahui proses dan hasil yang dicapainya untuk diterapkan dalam komunitas sendiri dengan harapan mendapatkan hasil yang sama (Ag Shier,1973)</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan Eksperimental. Menerapkan pengalaman komunitas lain yang tidak diketahui bagaimana hasilnya,dengan harapan dapat melihat hasilnya dikomunitas sendiri (eversen,1973)</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pendekatan Konflik Kekuatan. Upaya memperbaiki komunitas dengan gagasan-gagasan yang masing-masaing didukung oleh kekuatan yang bersumber pada kekuasaan, kecerdasan, kekayaan dan lain-lain,(tapi bukan kekerasan) dari kelompok-kelompok warga komunitas (Salmon And Taper,1973)</span><br /></li></ol><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">IV. ASUMSI-ASUMSI.</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Donald W. Littrell (1982) merumuskan setidak-tidaknya ada 5 asumsi yang sangat mendasar dalam pengembangan masyarakat, yaitu :</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">1. Masyarakat merupakan subyek yang mampu bertingkah laku/bertindak secara rasional.</span><br /><span style="font-family: arial;">2. Tingkah laku adalah hasil dari proses belajar.</span><br /><span style="font-family: arial;">3. Tingkah laku tersebut dipelajari melalui proses interaksi social.</span><br /><span style="font-family: arial;">4. Masyarakat mampu memberikan arah terhadap tingkah lakunya sendiri</span><br /><span style="font-family: arial;">5. Masyarakat mampu menciptakan atau membentuk lingkungannya sendiri.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Dari asumsi-asumsi tersebut menegaskan bahwa masyarakat tidak dipandang sekedar sekumpulan manusia yang statis, melainkan senantiasa berada dalam “proses menjadi” (becoming being). Jika Peksos berpandangan bahwa tingkah laku dipelajari melalui proses interaksi social (asumsi 3) maka peran yang dapat dilakukan oleh peksos dalam pengembangan masyarakat akan terarah pada penciptaan kondisi interaksi social yang memungkinkan kemampuan masyarakat dapat berkembang dan meningkat.</span><br /><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">V. NILAI-NILAI.</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Dalam pengembangan masyarakat partisipatif hendaknya memperhatikan nilai-nilai dalam masyarakat, karena pemahaman ini akan berpengaruh pada kelancaran dan kesuksesan Peksos, atau pekerja komuniti (Community Worker) lainnya dalam melakukan pengembangan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah :</span><br /><ol><li><span style="font-family: arial;">Masyarakat mempunyai mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam menentukan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Kebebasan berpartisipasi merupakan suatu cara yang sangat berharga dalam mengendalikan persoalan-persoalan masyarakat.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Masyarakat mempunyai hak untuk berusaha menciptakan lingkungan yang mereka inginkan.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Masyarakat mempunyai hak untuk menolak suatu lingkungan yang dipaksakan dari luar.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Peningkatan suatu interaksi manusia dalam suatu masyarakat akan menum buhkan potensi bagi pengembangan aspek kemanusiaan.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Tercakup dalam suatu proses interaksi itu ialah suatu konsep atau pengertian tentang masyarakat yang selalu meluas.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Setiap disiplin atau profesi merupakan suatu kontribusi yang sangat berharga (potensial) bagi proses pengembangan masyarakat.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Motivasi diciptakan didalam diri manusia oleh pergaulan dengan lingkungan.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pengembangan masyarakat berkepentingan dengan pengembangan kemampuan manusia dalam menghadapi/mengatasi masalah-masalah lingkungannya.</span><br /></li></ol><span style="font-family: arial;">Bahwa seseorang pada dasarnya sangat berkeinginan untuk berpartisipasi terhadap upaya untuk peningkatan kesejahteraannya. Suatu rencana atau program yang ditujukan untuk masyarakat yang dibuat tanpa pelibatan masyarakat, tidak dapat disebut sebagai pengembangan masyarakat.</span><br /><span style="font-family: arial;">Konsep bahwa masyarakat mempunyai hak untuk menciptakan lingkungan yang mereka inginkan, mempunyai landasan yang kuat karena masyarakat itu sendirilah yang mengetahui atau dapat mempelajari apa yang terbaik bagi mereka.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Konsep pembangunan dengan pendekatan “tentang apa yang masyarakat butuhkan” biasanya akan menghasilkan kualitas yang lebih baik dari pada dengan pendekatan “apa yang terbaik buat masyarakat”. Karena yang terbaik belum tentu yang dibutuhkan oleh masyarakat.</span><br /><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">VI. PRINSIP-PRINSIP.</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Dalam konteks pengembangan masyarakat, Jim Ife (1995) mengembangkan 22 prinsip, yaitu :</span><br /><ol><li><span style="font-family: arial;">Pembangunan Terpadu (<span style="font-style: italic;">Integrated Development)</span>. Aspek-aspek penting dalam masyarakat terdiri dari aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan dan spiritual. Aspek-aspek tersebut perlu dipertimbangkan. Aspek yang terlemah yang perlu mendapat intervensi pembangunan.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Melawan Ketidak Berdayaan Struktural <span style="font-style: italic;">(Confronting Structural Disadvantages).</span> Orang terampil tidak dapat bekerja bisa saja terjadi karena tidak ada kesempatan kerja atau tidak dibuka peluang yang terbuka bagi semua secara fair, atau terhambat karena masalah jenis kelamin, perbedaan suku/golongan/umur.pengembang masyarakat hendaknya mengenali dan mempertimbangkan masalah-masalah penindasan strukturak tersebut.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Hak Asasi Manusia <span style="font-style: italic;">(human rights).</span> Petugas Pengembangan Masyarakat berupaya melakukan perlindungan hak asasi manusia dan peningkatan pemenuhan hak dasar manusia (standar hidup layak, pendidikan, berpartisipasi, menentukan nasib sendiri dan hak perlindungan serta bantuan sosial bagi keluarga).</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Keberlanjutan <span style="font-style: italic;">(continuity / Sustainability).</span> Dalam konteks ini apabila petugas pengembangan masyarakat bermaksud membangun tatanan sosial, ekonomi dan politik baru, maka struktur dan prosesnya harus berkelanjutan.struktur yang berkelanjutan ditandai dengan pelembagaan pelaksanaan pengembangan masyarakat, tidak hanya ditingkat pelaksana proyek tetapi akhirnya beralih ke masyarakat serta prosesnya tidak berhenti sebagai proyek tetapi menjadi kegiatan masyarakat.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pemberdayaan <span style="font-style: italic;">(empowerment).</span> Petugas pengembangan masyrakat semestinya memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat guna meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Kaitan masalah pribadi dan politik <span style="font-style: italic;">(the personal and the political). </span>Penyelesaian masalah tidak hanya didekati dengan penyelesaian secara individual, karena masalah ketidak berdayaan tidak hanya semata masalah individu tetapi juga struktural, demikian juga masalah potensi. Oleh karena itu, petugas pengembangan masyarakat hendaknya mengaitkan antara masalah pribadi dengan politik, individu dengan struktural, pribadi dengan masalah umum.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Kepemilikan oleh komunitas <span style="font-style: italic;">(community ownership).</span> Inti utama dari pengembangan masyarakat adalah membentuk unsur-unsur komunitas sebagai kesatuan masyarakat yang dilandasi kesalingtergantungan dan kebersamaan.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Kemandirian <span style="font-style: italic;">(self reliance).</span> Proses penyelenggaraan pembangunan hendaknya mendorong atau setidaknya tidak merusak kemandirian masyarakat. Pentingnya kemandirian dirasakan pada saat negara dalam kondisi menghadapi ketidakpastian atau krisis.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Ketidaktergantungan pada pemerintah <span style="font-style: italic;">(independent from the state).</span> Kemandirian terkait dengan posisi komunitas yang sejauh mungkin tidak tergantung pada pemerintah. Pengertian tidak tergantung, bukan berarti negara tidak perlu intervensi pada komunitas, tetapi lebih berarti tidak semua urusan diserahkan pada negara untuk menyelesaikannya, jika komunitas dapat menyelesaikannya sendiri.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Keterkaitan tujuan jangka pendek dengan visi jangka panjang <span style="font-style: italic;">(immediate goals and ultimate vision)</span> Tantangan seorang perencana petugas pengembangan masyarakat adalah merumuskan tujuan jangka pendek yang dapat menjawab permasalahan masyarakat sekaligus mengkaitkannya dengan visi pengembangan masyarakat yang dijalankannya.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pembangunan yg bersifat organik <span style="font-style: italic;">(organic development) </span>pembangunan organik berlawanan dengan pembangunan yang mekanistik, perbedaan tsb ibarat pertumbuhan tanaman dan gerakan mesin. Mesin bekerja secara terpisah dari lingkungannya, dipindah kemana saja relatif tidak berubah dalam perkembangannya. Berbeda dengan tanaman ia sangat terkait dengan lingkungan, apabila dipindah bisa mati atau kerdil atau berbeda pertumbuhannya.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Kecepatan pembangunan <span style="font-style: italic;">(the pace of development)</span> akibat logis dari prinsip pembangunan yang organik adalah masyarakat harus diberikan kesempatan menentukan sendiri kecepatan perkembangannya. Pelaksana pengembangan masyarakat yang berhasil akan bergerak sesuai dengan kecepatan masyarakat itu sendiri, tidak mendorong terlalu cepat atau terlalu lambat.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Keahlian dari luar <span style="font-style: italic;">(external expertise) </span>seringkali karena faktor ketidaksabaran dan kurang mempercayai kemampuan masyarakat, suatu pemecahan masalah ditingkat komunitas diselesaikan oleh ahli-ahli dari luar, dengan cara dan proses yg dipaksakan dari luar. Pemerintah dapat membantu proses pengembangan masyrakat melalui penyediaan sumberdaya, komunikasi, dukungan, jaringan namun demikian pemerintah tidak dapat menentukan bagaimana pengembangan masyarakat harus terjadi. Hal ini tidak berarti bahwa proses pengembangan masyarakat tidak dapat belajar dari pengalaman luar daerah, tetapi pengalaman itu perlu diadaptasi sesuai dengan kondisi local.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pembangunan komunitas <span style="font-style: italic;">(community building ).</span> Membangun komunitas berarti meningkatkan interaksi sosial dalam komunitas, mempertemukan orang-orang dan memfasilitasi mereka supaya saling berkomunikasi, sehingga memungkinkan dialog yang tulus, serta menciptakan saling pengertian.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Kaitan proses dengan hasil <span style="font-style: italic;">(process and outcome).</span> Pendekatan yang pragmatik cenderung menekankan pada hasil. Misalnya keberhasilan pembangunan irigasr diukur dari keberhasilan secara teknis fisik, sedangkan bagaimana proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kurang mendapat perhatian. Namun demikian, berkonsentrasi pada proses saja dapat menyebabkan orang kehilangan orientasi terhadap hasil yg harus dicapai. Dalam pengembangan masyarakat kedua hal tersebut hendaknya dilihat sebagai sesuatu yang integral dan bukanlah suatu fenomena yang terpisah.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Integritas proses (<span style="font-style: italic;">the integrity of process)</span>. Proses dalam pengembangan masyarakat sama pentingnya dengan hasil. Hasil tercermin dalam tujuan, sedangkan cara mencapai tujuan merupakan proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu, proses hendaknya sesuai dengan harapan akan hasil yang berkaitan dengan keberlanjutan, keadilan sosial dll.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Tanpa kekerasan <span style="font-style: italic;">(non violence).</span> Arti kekerasan tidak sekedar berkenaan dengan kekerasan fisik yang dilakukan individu, tetapi juga berhubungan dengan kekerasan struktural. Disebut kekerasan struktural karena kekerasan tersebut telah melembaga dalam masyarakat atau suatu lembaga, contohnya, masalah rasialis, sekolah diskriminatif dll.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Keinklusifan <span style="font-style: italic;">(inclusiveness).</span> Untuk menerapkan prinsip inklusif dalam pengembangan masyarakat perlu suatu proses yang bersifat merangkul daripada menyingkirkan, setiap orang dihargai walaupun dalam posisi berlawanan dan orang diberi ruang yang cukup untuk merubah posisi tanpa kehilangan muka. Upaya dapat dilakukan melalui dialog dan saling pengertian.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Konsensus <span style="font-style: italic;">(Concensus).</span> Proses pengembangan masyarakat dengan pendekatan tanpa kekerasan dan inklusif perlu didasari dengan upaya membangun dasar-dasar konsensus dan proses pengambilan keputusan dengan cara mufakat.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Kerjasama <span style="font-style: italic;">(co-operation)</span>. perspektif ekologi dan pendekatan tanpa kekerasan menekankan struktur yang bersifat kerjasama dari pada kompetitif.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Partisipasi <span style="font-style: italic;">(participation)</span>. Pelaksana pengembangan masyarakat senantiasa berusaha memaksimumkan partisipasi dari warga/komunitas, dengan tujuan setiap orang terlibat secara aktif dalam aktivitas-aktivitas komunitas. Semakin aktif berpartisipasi semakin baik, karena dengan demikian, upaya menjadikan proses sebagai milik komunitas serta mendukung proses inklusif.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Perumusan kebutuhan <span style="font-style: italic;">(defining need)</span>. Ada dua hal penting dlm perumusan tujuan. Pertama, pelaksana pengembangen masyarakat berusaha mencapai persetujuan antara pihar-pihak yg mendefinisikan kebutuhan, yakni antara penyelenggara program, konsumen, pemberi pelayanan dan peneliti. Upayakan dilaog agar diperoleh konsensus. Kedua, pendefinisian kebutuhan oleh masyarakat itu sendiri. upaya ini dapat dilakukan dengan cara mengajak orang berdialog dan mengembangkan kemampuan warga komunitas untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka yang sesungguhnya.</span><br /></li></ol><br /><span style="font-family: arial;">Donald W. Littrell (1984) mengembangkan 6 prinsip pengembangan suatu masyarakat, yaitu :</span><br /><ol><li><span style="font-family: arial;">Partisipasi dalam pembuatan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, hendaknya bebas dan terbuka bagi semua orang yang berkepentingan.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Penggambaran secara ringkas mengenai keadan dimasa yang akan dating merupakan kondisi yang mempengaruhi suatu masyarakat.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Penggunaan metode ilmiah dalam mengkaji masyarakat perlu dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Pencapaian pengertian dan consensus adalah merupakan dasar bagi usaha perubahan social</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Setiap orang mempunyai hak untuk didengarkan pendapatnya dalam suatu diskusi terbuka, apakah pendapat itu sesuai atau tidak dengan norma-norma masyarakat yang bersangkutan.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Semua orang boleh berpartisipasi dalam menciptakan atau menciptakan kembali suatu susunan social dimana mereka merupakan bagiannya.</span><br /></li></ol><br /><span style="font-family: arial;">Sedangkan F. Ellen Netting, Petter M.Kettner dan Steven L.McMurtry (1993) merumuskan 4 prinsip yang diurai dan 9 sub-sub prinsip, yaitu meliputi :</span><br /><ol><li><span style="font-family: arial;">Kenali populasi yang dijadikan sasaran, prinsipnya : (1) Memahami karakteristik anggota populasi yang dijadikan sasaran.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Menentukan karakteristik masyarakat, prinsipnya : (2) Identifikasi batasan masyarakat ; (3) Identifikasi profil masalah social; dan (4) Memahami nilai-nilai yang determinan?menentukan dalam masyarakat.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Mengakui adanya perbedaan-perbedaan, prinsipnya : (5) Identifikasi mekanisme formal dan menekan; (6) Identifikasi peluang-peluang terjadinya diskriminasi;</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Kenali struktur, prinsipnya : (7) Mengetahui letak kekuatan atau kekuasaan; (8) Menentukan sumber-sumber yang dapat dipergunakan; dan (9) Identifikasi pola-pola penyampaian pelayanan dan pengawasan sumber.</span><br /></li></ol><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">VII. PERENCANAAN.</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Dalam perencanaan pengambangan masyarakat partisipatif secara garis besar terdapat langkah-langkah perencanaan sebagai berikut :</span><br /><ol><li><span style="font-family: arial;">Perumusan masalah. PM dilaksanakan berdasarkan masalah atau kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa masalah yang biasanya ditangani oleh PM berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, pemberantasan buta hurup, dll. Perumusan masalah dilakukan dengan menggunakan penelitian (survey, wawancara, observasi), diskusi kelompok, rapat desa, dst.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Penetapan program. Setelah masalah dapat diidentifikasi dan disepakati sebagai prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskanlah program penanganan masalah tersebut. </span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Perumusan tujuan. Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan keberhasilannya dapat diukur perlu dirumuskan apa tujuan dari program yang telah ditetapkan. Tujuan yang baik memiliki karakteristik jelas dan spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai tujuan tersebut sesuai dengan dana, waktu dan tenaga yang tersedia. </span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Penentuan kelompok sasaran. Kelompok sasaran adalah sejumlah orang yang akan ditingkatkan kualitas hidupnya melalui program yang telah ditetapkan. </span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Identifikasi sumber dan tenaga pelaksana. Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menunjang program kegiatan, termasuk didalamnya adalah sarana, sumber dana, dan sumber daya manusia. </span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Penentuan strategi dan jadwal kegiatan. Strategi adalah cara atau metoda yang dapat digunakan dalam melaksanakan program kegiatan. </span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;">Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau proses dan hasil pelaksanaan program. Apakah program dapat dilaksanakan sesuai dengan strategi dan jadwal kegiatan? Apakah program sudah mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan? suatu kegiatanindikator keberhasilan. </span><br /></li></ol><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">VIII. PERAN PEKSOS DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PARTISIPATIF.</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Pengembangan masyarakat partisipatif, secara umum meliputi perencanaan, pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek kemasyarakatan. Sebagai suatu kegiatan kolektif, pengembangan masyarakat partisipatif melibatkan beberapa actor atau stakeholder, seperti Pekerja Sosial, masyarakat setempat, lembaga-lembaga social kemasyarakatan serta instansi terkait, yang saling berkerjasama mulai dari perancangan, pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap program atau proyek tersebut.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Sesuai dengan paradigma pekerjaan sosial, yakni “membantu orang agar mampu membantu dirinya sendiri”, Pengembangan Masyarakat sangat memperhatikan pentingnya partisipasi sosial dan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, dan bahkan dalam hampir semua praktek pekerjaan sosial, peranan seorang community worker / pekerja komuniti seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Terkait dengan pengembangan masyarakat, peran pekerja sosial berpusat pada “tiga P”, yaitu: Pemungkin (enabling); Pendukung (supporting), dan Pelindung (protecting). Prinsip utama peranan ini adalah “making the best of the client’s resources”. Dalam pendampingan social, Klien dan lingkungannya tidak dipandang sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa, tetapi dipandang sebagai sistem yang dinamis dan potensial dalam proses pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan sosial.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br /><span style="font-style: italic;">Parsons, Jorgensen dan Hernandez</span> (1994), mengungkapkan ada lima peran pekerjaan sosial dalam pembimbingan social, yaitu <span style="font-style: italic;">fasilitator, broker, mediator, pembela, dan pelindung. </span></span><br /><span style="font-family: arial;"><br /><span style="font-weight: bold;">1. Fasilitator </span></span><br /><span style="font-family: arial;">Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan “fasilitator” sering disebut sebagai “pemungkin” (enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Peran sebagai pemungkin atau fasilitator bertujuan untuk membantu klien agar menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi : </span><br /><span style="font-family: arial;">• pemberian harapan, </span><br /><span style="font-family: arial;">• pengurangan penolakan dan ambivalensi, </span><br /><span style="font-family: arial;">• pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, </span><br /><span style="font-family: arial;">• pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial, </span><br /><span style="font-family: arial;">• pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan </span><br /><span style="font-family: arial;">• pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker, 1987:49). </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan social dan prinsip-prinsi pengembangan masyarakat, bahwa setiap perubahan terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya usaha-usaha klien sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah memfasilitasi atau memungkinkan klien mampu melakukan perubahan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. </span><br /><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">2. Broker </span><br /><span style="font-family: arial;">Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham dan surat berharga lainnya di pasar modal. Seorang broker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pada saat klien menyewa seorang broker, klien meyakini bahwa broker tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal, pengetahuan yang diperoleh terutama berdasarkan pengalamannya sehari-hari. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Dalam konteks Pengembangan Masyarakat, peran pekerja sosial sebagai broker tidak jauh berbeda dengan peran broker di pasar modal. Seperti halnya di pasar modal, dalam Pengembangan Masyarakat terdapat klien atau konsumen. Namun demikian, pekerja sosial melakukan transaksi dalam pasar lain, yakni jaringan pelayanan sosial. Pemahaman pekerja sosial yang menjadi broker mengenai kualitas pelayanan sosial di sekitar lingkungannya merupakan aspek penting dalam memenuhi keinginan kliennya memperoleh “keuntungan” maksimal. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Ada tiga tugas utama dalam melakukan peranan sebagai broker : <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Pertama,</span> mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber kemasyarakatan yang tepat. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kedua, </span>menghubungkan konsumen atau klien dengan sumber secara konsisten. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Ketiga,</span> mengevaluasi efektifitas sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan klien. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Peranan sebagai broker pada prinsipnya adalah “menghubungkan klien dengan barang-barang dan jasa dan mengontrol kualitas barang dan jasa tersebut” . </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Ada tiga kata kunci dalam pelaksanaan peran sebagai broker, yaitu: menghubungkan (linking), barang-barang dan jasa (goods and services) dan pengontrolan kualitas (quality control). </span><br /><span style="font-family: arial;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1).</span> <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Linking </span>adalah proses menghubungkan orang dengan lembaga-lembaga atau pihak-pihak lainnya yang memiliki sumber-sumber yang diperlukan. Linking juga tidak sebatas hanya memberi petunjuk kepada orang mengenai sumber-sumber yang ada. Lebih dari itu, ia juga meliputi memperkenalkan klien dan sumber referal, tindak lanjut, pendistribusian sumber, dan meenjamin bahwa barang-barang dan jasa dapat diterima oleh klien. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">2). Goods and services,</span> meliputi yang nyata, seperti makanan, uang, pakaian, perumahan, obat-obatan. Sedangkan services mencakup keluaran pelayanan lembaga yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan hidup klien, semisal perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan, konseling, pengasuhan anak. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">3). Quality Control </span>adalah proses pengawasan yang dapat menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkan lembaga memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Proses ini memerlukan monitoring yang terus menerus terhadap lembaga dan semua jaringan pelayanan untuk menjamin bahwa pelayanan memiliki mutu yang dapat dipertanggungjawabkan setiap saat. </span><br /> <br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">3. Mediator </span><br /><span style="font-family: arial;">Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya. Peran mediator diperlukan terutama pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Pekerja sosial berperan sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai “solusi menang-menang” (win-win solution). </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Beberapa strategi yang dapat digunakan dalam melakukan peran mediator antara lain : </span><br /><ul><li><span style="font-family: arial;">mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat konflik, </span></li><li><span style="font-family: arial;">membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan pihak lain, </span></li><li><span style="font-family: arial;">membantu mengidentifikasi kepentingan bersama, </span></li><li><span style="font-family: arial;">melokalisir konflik kedalam isu, </span></li><li><span style="font-family: arial;">waktu dan tempat yang spesifik, memfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung mereka agar mau berbicara satu sama lain. </span></li></ul><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">4. Pembela / advokasi.</span><br /><span style="font-family: arial;">Peran pembelaan atau advokasi merupakan salah satu praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan dengan kegiatan politik. Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kelas (class advocacy). </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Apabila pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan kelas terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Beberapa strategi dalam melakukan peran pembela adalah : </span><br /><ul><li><span style="font-family: arial;">Keterbukaan, membiarkan berbagai pandangan untuk didengar, </span></li><li><span style="font-family: arial;">perwakilan luas, mewakili semua pelaku yang memiliki kepentingan dalam pembuatan keputusan, </span></li><li><span style="font-family: arial;">keadilan, kesetaraan atau kesamaan sehingga posisi-posisi yang berbeda dapat diketahui sebagai bahan perbandingan, </span></li><li><span style="font-family: arial;">pengurangan permusuhan, mengembangkan keputusan yang mampu mengurangi permusuhan dan keterasingan, </span></li><li><span style="font-family: arial;">informasi, menyajikan masing-masing pandangan secara bersama dengan dukungan dokumen dan analisis, </span></li><li><span style="font-family: arial;">pendukungan, mendukung patisipasi secara luas, </span></li><li><span style="font-family: arial;">kepekaan, mendorong para pembuat keputusan untuk benar-benar mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap minat-minat dan posisi-posisi orang lain. </span></li></ul><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">5. Pelindung (protector)</span><br /><span style="font-family: arial;">Tanggungjawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung (protector) terhadap orang-orang yang lemah dan rentan. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Dalam melakukan peran sebagai pelindung (guardian role), pekerja sosial bertindak berdasarkan kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang berisiko lainnya. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan berbagai kemampuan yang menyangkut: (a) kekuasaan, (b) pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Prinsip-prinsip peran pelindung meliputi :</span><br /><ul><li><span style="font-family: arial;">Menentukan siapa klien pekerja sosial yang paling utama.</span></li><li><span style="font-family: arial;">Menjamin bahwa tindakan dilakukan sesuai dengan proses perlindungan.</span></li><li><span style="font-family: arial;">Berkomunikasi dengan semua pihak yang terpengaruh oleh tindakan sesuai dengan tanggungjawab etis, </span></li><li><span style="font-family: arial;">legal dan rasional praktek pekerjaan sosial.</span></li></ul> <br /><span style="font-family: arial;">Secara umum peran Peksos sebagai pengembang/pekerja komuniti (community worker) dalam pengembangan masyarakat, juga dapat melakukan hal-hal sbb. :</span><br /><ol><li><span style="font-family: arial;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Fasilitatif</span>, yaitu dengan melakukan animasi social/menggerakkan atau menghidupkan kondisi social, mediasi & negosiasi, dukungan, membangun consensus, fasilitasi kelompok.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Edukasional</span>, yaitu melakukan peningkatan kesadaran, memberi informasi, mengkonfrontasi, pelatihan. </span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Representasional,</span> yaitu mendapatkan sumber, advokasi, memanfaatkan media masa, hubungan masyarakat, networking, berbagi pengalaman.</span><span style="font-family: arial;"></span></li><li><span style="font-family: arial;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Peran teknis, </span>yaitu melakukan pengumpulan dan analisis data, menggunakan komputer, manajemen, financial skill, need assessment.</span><br /></li></ol><span style="font-family: arial;">Agar Peksos (pekerja komuniti/community worker atau pengembang) dapat berperan dengan baik dalam program pengembangan masyarakat, sedikitnya ada dua pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Pertama,</span> pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan masyarakat (community needs assessment), yang meliputi: </span><br /><ol><li><span style="font-family: arial;">jenis dan tipe kebutuhan, </span></li><li><span style="font-family: arial;">distribusi kebutuhan, </span></li><li><span style="font-family: arial;">kebutuhan akan pelayanan, </span></li><li><span style="font-family: arial;">pola-pola penggunaan pelayanan, dan </span></li><li><span style="font-family: arial;">hambatan-hambatan dalam menjangkau pelayanan. </span></li></ol><span style="font-family: arial;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kedua,</span> pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium dan jaringan antar organisasi, yang mencakup: </span><br /><ol><li><span style="font-family: arial;">kebijakan-kebijakan setiap lembaga, </span></li><li><span style="font-family: arial;">peranan lembaga-lembaga, </span></li><li><span style="font-family: arial;">potensi dan hambatan setiap lembaga, </span></li><li><span style="font-family: arial;">metode partisipatif dalam memecahkan masalah sosial masyarakat, dan </span></li><li><span style="font-family: arial;">prosedur pelayanan. </span></li></ol> <br /><span style="font-family: arial;">Disamping itu, kemampuanh dan ketrampilan teknis yang akan mendukung tugas-tugas pengembangan masyarakat juga harus dikuasai, seperti : </span><br /><ol><li><span style="font-family: arial;">Komunikasi personal</span></li><li><span style="font-family: arial;">Memahami dinamika kelompok</span></li><li><span style="font-family: arial;">Pendidikan masyarakat</span></li><li><span style="font-family: arial;">Menyediakan sumber</span></li><li><span style="font-family: arial;">Membuat tulisan</span></li><li><span style="font-family: arial;">Memotivasi</span></li><li><span style="font-family: arial;">Mengatasi konflik</span></li><li><span style="font-family: arial;">Mewakili dan advokasi</span></li><li><span style="font-family: arial;">Presentasi publik</span></li><li><span style="font-family: arial;">Kolaborasi dengan media masa</span></li><li><span style="font-family: arial;">Manajemen dan pengorganisasian</span></li><li><span style="font-family: arial;">Penelitian.</span></li></ol><br /><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">IX. PENUTUP.</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Seiring kuatnya arus informasi dan kuatnya tuntutan demokratisasi dan transpoaransi, maka dalam penanganan pengembangan masyarakat partisipatif selain terbuka peluang juga menghadang tantangan yang sangat berbeda dengan era-era sebelumnya. Kondisi ini menuntut para Peksos, juga para pekerja Komuniti/community worker untuk terus mengasah pengetahuan dan pemahamannya yang terkait dengan kemasyarakatan.</span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Kompleksitas persoalan-persoalan social dan kemasyarakatan yang semakin rumit, menuntut Pekerja Sosial harus mampu memobilisasi masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhannya, dan kemudian berkerjasama untuk memenuhinya. Pekerja Sosial juga perlu mampu mengurangi kesenjangan dalam pemberian pelayanan, penghapusan diskriminasi dan ketelantaran melalui strategi-strategi pemberdayaan masyarakat. Fragmentasi dan konflik antar masyarakat yang cederung meningkat dewasa ini semakin menuntut pekerja sosial untuk lebih meningkatkan kemampuan profesionalnya, khususnya dalam bidang pendekatan-pendekatan kritis dan alternatif. </span><br /><span style="font-family: arial;"><br />Pengembangan masyarakat Partisipatif sebagai metoda pekerjaan social akan memberikan kontribusi positif yaitu terjadi akselarasi atau percepatan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan social, manakala dilakukan pendekatan, model dan strategi serta asumsi-asumsi yang tepat. Ini semua dibutuhkan sikap profesionalitas dari Peksos. Kuncinya terus belajar dan terus memahami perkembangan yang ada, agar perkembangan yang diingin, perkembangan yang sesungguhnya, bukan justru bukan kemunduran.***</span><br /><br /><br /><span style="font-family: arial; font-weight: bold;">X. DAFTAR PUSTAKA.</span><br /><span style="font-family: arial;">1. Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Cet 1. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.</span><br /><span style="font-family: arial;">2. Adi Fahrudin, Drs.,M.Soc.Sc, Pengembangan Masyarakat Bersumber Partisipasi Masyarakat, Modul diterbitkan BDPPS Lembang-Bandung, 1998.</span><br /><span style="font-family: arial;">3. Edy Suharto, Dr. M.Sc, Metodologi Pengembangan Masyarakat, Modul Pelatihan TKSM di Pusdiklat TKSM, Jakarta, 2002.</span><br /><span style="font-family: arial;">4. Edi Suharto, PhD, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS). 1997</span><br /><span style="font-family: arial;">5. Edy Suharto, PhD, Peran Peksos dalam Community Development, www.policy.hu/suharto.</span><br /><span style="font-family: arial;">6. Muhammad khoirun Najib, Pengembangan Masyarakat Islam, dalam Populis Jurnal Pengembangan masyarakat edisiNo. III/2003, Jogjakarta, Elsaq Press.</span><br /><span style="font-family: arial;">7. Sukriyanto, Model-model Pengembangan Masyarakat Dalam Era Kekinian.</span><br /></div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-5122989995368669002011-01-05T18:19:00.000-08:002011-01-05T18:38:55.873-08:00<div style="text-align: justify; font-family: verdana;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;">DASAR-DASAR MANAJEMEN DAN STANDAR PELAYANAN PANTI.<br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Oleh : Dra. Lamsari Sitompil, MM</span><br /></div><br /><br /><span style="font-weight: bold;">A. PENDAHULUAN.</span><br />Kebijakan Pemerintah dalam menangani Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), diarahkan kepada upaya penyelamatan, pemulihan dan kemandirian dalam mencapai taraf hidup kesejahteraan sosial yang layak, normatif dan manusiawi yang dilaksanakan melalui sistem Panti Sosial dan Non Panti Sosial. Hasil yang dicapai melalui panti-panti sosial dirasakan belum optimal karena perkembangan jumlah dan sebaran permasalahan sosial jauh lebih cepat bila dibanding dengan daya jangkau, kapasitas dan kemampuan pelayanan kesejahteraan social, baik yang dilaksanakan oleh panti sosial milik pemerintah maupun masyarakat. <br /><br />Walaupun adanya keterbatasan daya jangkau, kapasitas dan kemampuan pelayanan Panti Sosial, namun dengan mencermati perkembangan PMKS, keberadaan panti-panti sosial tetap strategis sebagai salah satu alternatif pelayanan kesejahteraan sosial yang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam penanganan PMKS.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">B. PANTI SOSIAL</span><br />Panti Sosial yang dalam UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, disebut sebagai Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yaitu organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.<br /><br />Panti sosial atau Lembaga Kesejahteraan Social memiliki posisi strategis, karena memiliki tugas dan tanggungjawabnya yang mencakup 4 kategori, yaitu meliputi :<br />(1) Bertugas untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial penyandang masalah dengan melakukan deteksi dan pencegahan sedini mungkin ;<br /><br />(2) Bertugas melakukan rehabilitasi sosial untuk memulihkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab terhadap diri dan keluarganya; dan meningkatkan kemampuan kerja fisik dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendukung kemandiriannya di masyarakat ;<br /><br />(3) Bertugas untuk mengembalikan PMKS ke masyarakat melalui penyiapan sosial, penyiapan masyarakat agar mengerti dan mau menerima kehadiran kembali mereka, dan membantu penyaluran mereka ke pelbagai sektor kerja dan usaha produktif ; dan<br /><br />(4) Bertugas melakukan pengembangan individu dan keluarga, seperti mendorong peningkatan taraf kesejahteraan pribadinya; meningkatkan rasa tanggungjawab sosial untuk berpartisipasi aktif di tengah masyarakat; mendorong partisipasi masyarakat untuk menciptakan iklim yang mendukung pemulihan; dan memfasilitas dukungan psiko-sosial dari keluarganya.<br /><br />Sedangkan fungsi utamanya, antara lain sebagai : tempat penyebaran layanan; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya (dalam sistem rujukan/referral system) dan tempat pelatihan keterampilan.<br /><br />Panti Sosial sebagai lembaga pelayanan kesejahteraan sosial, dalam melaksanakan kegiatannya terikat dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan Panti Sosial dalam praktek pekerjaan sosial (Lampiran I Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 50/HUK/2004) , yaitu :<br /><ol><li>Mengacu kepada rambu-rambu hukum yang berlaku ;</li><li>Memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan ;</li><li>Menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat ;</li><li>Menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan </li><li>Menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan ;</li><li>Menyediakan pelayanan kesejahteraan sosial berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya ;</li><li>Memberikan kesempatan kepada klien untuk berpartisipasi secara aktic dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan ;</li><li>Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial kepada pemerintah atau masyarakat.</li></ol>Gambaran mengenai tanggungjawab, fungsi dan prinsip-prinsip panti-panti social atau Lembaga Kesejahteran Ssoail seperti yang diuraikan di atas akan dapat dilaksanakan dengan baik jika seluruh komponen yang terlibat dalamnya telah memahami bagaimana mengelola panti dengan baik serta mengetahui dan memahami standar pelayanan panti. <br /><br />Dengan manajerial pengelolaan yang baik dan mematuhi standar pelayanan sebuah panti, serta didukung dengan sumber daya profesional yang ada di dalamnya, sarana dan prasarananya, maka visi dan misi panti akan dapat diwujudkan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">C. DASAR-DASAR MANAJEMEN.</span><br />Manajemen panti memang memerlukan pendekatan khusus karena memiliki karakteristik yang unik, karena kita mengelola suatu obyek manusia penyandang masalah. Karena itu pendekatan teori majajemen saja tidak cukup, harus pula dilengkapi tentang pengetahuan kesejahteraan social. <br /><br />Panti sebagai suatu lembaga (institusi/organisasi) sebetulnya mirip suatu makhluk hidup. Mengapa? Karena ia adalah kumpulan manusia. Manusia yang bersatu untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu kita tidak bisa memandang panti sebagai benda mati yang bisa diperlakukan seenaknya. Diperlukan suatu perawatan khusus agar tetap hidup dan berkembang.<br /><br />Berangkat dari pemikiran itu, prinsip-prinsip manajemen pengelolaan panti sesungguhnya adalah manajemen orang-orang didalamnya. SDM merupakan faktor paling penting dalam keberlangsungan hidup panti. Manusia adalah pendiri, perancang, pekerja, pengamat, pengkritik, pemutus suatu organisasi panti. Tanpa mereka tidak ada artinya panti tersebut. Oleh karena itu konsep manajemen pengelolaan panti haruslah berpusat pada manusia.<br /><br />Setidaknya ada tiga hal yang merupakan prinsip pokok dalam manajemen, yakni planning, actuating, dan controlling. Prinsip-prinsip pokok ini harus dilakukan dengan melibatkan organ-organ dalam panti.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Planning</span><br />Planning/perencanaan adalah hal utama yang harus dilakukan dalam manajemen. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang "begin from the end". Kita tetapkan tujuan bersama yang ingin dicapai.<br /><br />Tujuan adalah pelita yang menunjukkan jalan bahkan di kegelapan malam. Tetapkan visi dan misi panti. Yang penting adalah penetapan tujuan, visi, dan misi panti ini harus dilakukan bersama-sama oleh pengurus panti. Minimal tidak dilakukan sendirian, agar semua pelaku yang terlibat dalam mengelola panti memiliki sikap, pemahaman, dan motivasi yang sama dalam mewujudkan tujuan, visi dan misi panti.<br /><br />Jangan ragu dalam menetapkan tujuan, visi, dan misi. Seorang yang bermimpi besar dan telah berusaha keras untuk mewujudkannya namun tidak bisa sepenuhnya terwujud, masih lebih baik daripada orang yang bermimpi kecil dan hanya bisa mewujudkan sebagian saja.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">2. Actuating</span><br />Actuating/pelaksanaan adalah roh dari organisasi panti. Omong kosong saja jika perencanaan tidak diikuti dengan aksi yang sesuai. Implementasi adalah sama pentingnya dengan perencanaan. Tanpa pelaksanaan yang baik rencana akan hancur berantakan tanpa sempat mencapai tujuan.<br /><br />Oleh karena itu perlu adanya pendelegasian dan pembagian tugas yang tepat untuk merealisasi rencana besar tersebut. Untuk menunjuk orang yang tepat di tempat yang tepat perlu adanya komunikasi terus menerus diantara para peneglola panti. Dengan adanya komunikasi, kompetensi seseorang akan dapat diketahui. Selain itu komunikasi sangat penting dilakukan antara planner (perencana) dan actuator (pelaksana).<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">3. Controlling.</span><br />Controlling/pengawasan adalah kunci dalam manajemen. Walaupun pendelegasian adalah hal yang mutlak dalam organisasi, tetapi pendelegasian bukanlah berarti menyerahkan segala urusan tanpa kendali.<br /><br />Seorang yang buta niscaya akan dapat berjalan dengan normal jika diberitahu jalan yang harus dilewatinya. Begitupun orang-orang dalam panti, seburuk-buruknya sistem manajemen jika ada kontrol dan umpan balik yang rutin dilakukan maka hasilnya masih dapat diterima.<br /><br />Selain yang tiga hal diatas, beberapa teori tentang fungsi manajemen banyak dikemukakan seperti : Hendry Fayol, fungsi manajemen meliputi : Planing, Organizing, commanding, coocordinating dan Controling. Menurut GR. Terry : Planning, Organizing, Actuating, dan Controling.<br /><br />Sedang Menurut H. Koontz dan O' Donel : Planning, Organizing, staffing, directing, controlling. Namun, unsure pokok dari manajemen ada tiga tadi, planning, actuating dan contrioling.<br /><br />Ada suatu hal yang perlu diingat bahwa haruslah ada sistem reward and punishment dalam manajemen pengelolaan panti. Orang yang berprestasi patut diberi penghargaan dan sebaliknya orang yang melakukan kesalahan sebaiknya diingatkan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Ini penting sebab, selain hal tersebut sebagai tindak lanjut dari pengawasan/control, sistem ini akan memacu orang-orang dalam panti untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya karena merasa dihargai. Hargai prestasi sekecil apapun dan jangan biarkan kesalahan sekecil apapun. Segala sesuatu yang besar dimulai dari yang kecil.<br /><br />Tetapi ada hal yang penting namun seringkali terlewatkan oleh banyak manajer. Yakni pentingnya menyentuh kebutuhan akan kepuasan hati (emosi) manusia. Kerelaan hati yang terekspesi dalam “cinta” akan pekerjaanya”, merupakan daya yang besar bagi keberlangsungan mengelola panti, ini seringkali dilupakan dalam manajemen organisasi pada umunya. <br /><br />Ada dua hal yang bisa membuat orang total dalam suatu hal, yakni adanya factor ‘cinta’ dan factor ‘keuntungan’. Orang bilang ‘cinta’ itu buta. Maka jika orang telah merasakan ‘cinta’ terhadap pekerjaannya dia akan ‘buta’ atau melupakan kelelahan, kesusahan, penderitaan yang dirasakan dan akan mencurahkan segenap waktunya untuk hal yang dicintainya.<br /><br />Jangan ragu-ragu bagi seorang manajer untuk melakukan pendekatan personal dengan orang-orang dalam organisasi seperti menjenguk jika ada yang sakit, menanyakan kabar, memberi hadiah, melontarkan pujian, dan sebagainya. Perhatikan kebutuhannya dan berempatilah terhadap kesusahannya.<br /><br />Hal-hal ini mungkin kedengarannya remeh tetapi sebenarnya ini solusi yang jitu bagi manajemen pengelolaan panti, yang memang bergerak dibidang kesejahteraan social, yang memerlukan rasa empathi yang kuat.<br /><br />Raca cinta terhadap panti, akan menjadi perekat yang sangat kuat bagi keutuhan organisasi/panti. Manajemen pengelolaan panti yang efektif akan menghasilkan kenerja anggota yang baik begitu juga dengan tujuan organisasi akan terrealisaikan dengan baik pula. Adapun indicator kinerja adalah ukuran kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujaun yang telah itetapkan dengan memperhatikan indicator masuk (Input), Keluar (Output), hasil ( outcomes), manfaat ( benefit), dan dampak (infacts).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">D. STANDARISASI PANTI.</span><br />Sebelum dilakukan pembahasan tentang standar pelayanan panti, ada baiknya kita uraian dulu tentang standarisasi panti yang telah dituangkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial RI. Nomor : 50/HUK/2004 tentang Standardisasi Panti Sosial dan Pedoman Akreditasi.Panti Sosial, sebagai landasan untuk menetapkan standar pelayanan panti.<br /><br />Standard panti sosial adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lainnya yang sejenis. Adapun yang dimaksud dengan panti sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas SDM dan memberdayakan para penyandang masalah kesejahteraan sosial ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental, maupun sosial.<br /><br />Ada dua macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar khusus. Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial jenis apapun. Sedangkan standar khusus adalah ketentuan yang memuat hal-hal tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial dan/atau lembaga pelayanan sosial lainnya yang sejenis sesuai dengan karakteristik panti sosial.<br /><br />Standar umum panti sebagaimana dimaksud adalah :<br /><br /><span style="font-weight: bold;">1. Kelembagaan,</span><span style="font-style: italic; font-weight: bold;"> meliputi : </span><br /><ul><li><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">Legalitas Organisasi</span>.</span> Mencakup bukti legalitas dari instansi yang berwenang dalam rangka memperoleh perlindungan dan pembinaan profesionalnya.</li><li><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">Visi dan Misi</span>.</span> Memiliki landasan yang berpijak pada visi dan misi;</li><li><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Organisasi dan Tata Kerja</span>. Memiliki struktur organisasi dan tata kerja dalam rangka penyelenggaraan kegiatan.</li></ul><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">2. </span><span style="font-weight: bold;">Sumber Daya Manusia, mencakup 2 aspek :</span><br />a.<span style="font-style: italic; font-weight: bold;"> Aspek penyelenggara panti,</span> terdiri 3 unsur :<br /><ul><li><span style="font-style: italic;">Unsur Pimpinan,</span> yaitu kepala panti dan kepala-kepala unit yang ada dibawahnya.</li><li><span style="font-style: italic;">Unsur Operasional,</span> meliputi pekerja sosial, instruktur, pembimbing rohani, dan pejabat fungsional lainnya.</li><li><span style="font-style: italic;">Unsur Penunjang,</span> meliputi pembina asrama, pengasuh, juru masak, petugas kebersihan, satpam, dan sopir.</li></ul><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">b. Pengembangan personil panti</span><br />Panti Sosial perlu memiliki program pengembangan SDM bagi personil panti.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Sarana Prasarana,</span> <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">mencakup :</span><br /><ul><li><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Pelayanan Teknis.</span> Mencakup peralatan asesmen, bimbingan sosial, ketrampilan fisik dan mental.</li><li><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Perkantoran</span>. Memiliki ruang kantor, ruang rapat, ruang tamu, kamar mandi, WC, peralatan kantor seperti : alat komunikasi, alat transportasi dan tempat penyimpanan dokumen. </li><li><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Umum.</span> Memiliki ruang makan, ruang tidur, mandi dan cuci, kerapihan diri, belajar, kesehatan dan peralatannya (serta ruang perlengkapan).</li></ul><br /><span style="font-weight: bold;">4. Pembiayaan</span><br />Memiliki anggaran yang berasal dari sumber tetap maupun tidak tetap.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">5. Pelayanan Sosial Dasar</span><br />Memiliki pelayanan sosial dasar untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien, meliputi : makan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, dan kesehatan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">6. Monitoring dan Evaluasi,</span> <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">meliputi :</span><br /><ul><li><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Monev Proses,</span> yakni penilaian terhadap proses pelayanan yang diberikan kepada klien. </li><li><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Monev Hasil,</span> yakni monitoring dan evaluasi terhadap klien, untuk melihat tingkat pencapaian dan keberhasilan klien setelah memperoleh proses pelayanan.</li></ul><br /><span style="font-weight: bold;">E. STANDAR PELAYANAN PANTI.</span><br />Standar khusus panti seperti yang tertuang pada keputusan Menteri Sosial RI. Nomor : 50/HUK/2004 tersebut, merupakan bentuk-bentuk pelayanan yang akan diberikan oleh panti. Untuk itu perlu ditetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk masing-masing bentuk pelayanan tersebut.<br /><br />Standar Pelayanan Minimal (SPM) standar kualitas/mutu untuk menjembatanii terwujudnya pelayanan sosial yng diberikan yang layak secara keilmuan bagi kelayan. Kata ’minimal’ merujuk pada kewajiban tanggung jawab serta tindakan-tindakan posisif yang setidaktidaknya harus dilampai/dijalankan, bukan diterjemahkan sebagai kelonggaran negatif yang membolehkan pelayanan dengan apa adanya atau sekedarnya. SPM sebagai dasar menuju pada Pelayanan Prima kemudian pada Pelayanan Berkualitas.<br /><br />Standar Pelayanan Panti, disusun dan ditetapkan oleh para stakeholder panti yang bersangkutan secara bersama-sama dan menjadi pedoman operasinal pelayanan panti. Stantar pelayanan tersebut sekurang-kurang membuat hal-hal sebagaimana yang ada pada Standar Khusus Panti Sosial, berupa kegiatan pelayanan yang terdiri dari tahapan sebagai berikut (disesuaikan jenis pelayanan sosial masing-masing panti ) :<br /><br /><span style="font-weight: bold;">1. Tahap Pendekatan Awal.</span><br />Tahap pendekatan yang merupakan tahap persispan ini meliputi : Sosialisasi program, Penjaringan/penjangkauan calon klien, Seleksi calon klien, Penerimaan dan registrasi, dan Konferensi kasus (case conference ). Untuk ini dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut :<br /><ul><li>a. Penjemputan (untuk yang perlu dilakukan penjelmputan) atau penerimaan (bagi kelayan yang datang sendiri) oleh Peksos sebagai upaya menciptakan kontak awal/pendahuluan denga kelayan (pengenalan untuk pendekatan diri dua pihak)</li></ul><ul><li>b. Pemeriksaan dokumen kelayan oleh petugas Peksos/panti.</li></ul><ul><li>c. Menetapkan persyaratan kelayan yang akan memperoleh pelayanan panti</li></ul><ul><li>d. Seleksi/pemeriksaan awal calon kelayan (kesehatan, motivasi, kesesuaian masalah dengan pelayanan panti, dll). Dan biayanya ditetapkan menjadi tanggung jawab siapa ?</li></ul><ul><li>e. Penetapan kelayan terpilih dari seleksi kelayan yang dilakukan;</li></ul><br /><span style="font-weight: bold;">2. Tahap Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (Assesment)</span>,<br />Assesment yang termasuk tahap persiapan, dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai latar belakang permasalahan kelayan, juga yang terkait dengan bakat, minat, potensi-potensi diri yang dimilikinya, kemampuan, harapan dan cita-cita kedepannya yang dapat digunakan untuk mendukung upaya pemecahan masalah serta upaya-upaya untuk mengembangkan kemampuan kelayan.<br /><br />Kegiatan Assesment tersebut meliputi :<br /><ul><li>a. Analisa kondisi kelayan, keluarga kelayan, dan lingkungan sosial/ masyarakat kelayan.</li></ul><ul><li>b. Karakteristik masalah, sebab dan implikasi masalah yang dihadapi kelayan</li></ul><ul><li>c. Kapasitas mengatasi masalah dan sumber daya</li></ul><ul><li>d. Konferensi kasus</li></ul><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Misalnya, </span>kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan seperti :<br /><ul><li>Mendalami seberapa jauh/luas permasalahan yang dihadapi kelayan;</li><li>Mengidentifikasi seluruh potensi kelayan, baik kelemahan maupun kemampuan yang dimiliki dan lingkungannya.</li><li>Merencanakan penentuan program pelayanan sesuai hasil indentifikasi permasalahan yang dihadapi kelayan</li></ul><br />Assesment dilakukan dengan wawancara dan observasi terhadap kelayanan, keluarga kelayan, dan lingkungan kelayan. Hasil yang diharapkan adalah untuk mendapatkan data dan informasi yang terkait dengan bakat, minat, potensi-potensi diri yang dimilikinya, kemampuan, harapan dan cita-cita kedepannya.<br />Tahapan assesment dianggap cukup kalau, apabila : telah dapat ditetapkan klasifikasi permasalahan yang dihadapi kelayan ; telah dapat dirumuskan rencana pelayanan dan rehabilitasi dengan dukungan data yang jelas ; dan tersedia bukti fisik adminsitrasi dari semua kegiatan assesment yang telah dilakukan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Tahap Perencanaan Pelayanan.</span><br />Pada tahap perencanaan pelayanan terhadap kelayan dari panti yang bersangkutan adalah yang meliputi : Penetapan tujuan pelayanan dari panti ; Penetapan jenis pelayanan panti ; dan Sumber daya yang akan digunakan. ( sesuai dengan masing-masing jenis pelayanan sosial yang dilakukan oleh panti ).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">4. Tahap Pelaksanaan Pelayanan di Panti.</span><br />Tahap ini merupakan kegiatan lanjutan dari ditetapkannya kelayan untuk menerima pelayanan di panti, yang pelaksanaannya dititik beratkan pada profesi pekerjaan sosial dan didukung oleh pelatih atau instruktur dari profesi lain untuk menunjang proses rehabilitasi kelayan.<br /><br />Tahap pelaksanaan pelayanan kelayan di dalam panti , dibagi dalam dua bagian, yaitu Pelayanan Sosial dan Pelayanan Rehabilitasi.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">a. Pelayanan Sosial,</span> yang diberikan di dalam panti dimaksudkan agar kebutuhan fisiologis kelayan tercukupi, sehingga dapat mengikuti semua program pemulihan yang telah ditetapkan oleh panti. Pelayanan sosial yang diberikan meliputi :<br /><ul><li>(1) Pelayanan Pangan, SPM yang terkait dengan pelayanan pangan ini adalah makan diberikan 3 kali dalam satu hari, panti menetapkan daftar menu dan mengenatuhi ahli gizi / atau dokter untuk jangka waktu setiap 1 minggu atau 10 hari yang akan dijadikan acuan bagi petugas masak; Menu disusun dengan memperhatikan aspek, gizi, kesehatan dan kebersihan. Misalnya dibuat Tabel Kebutuhan Sehat Untuk Menu makanan Kelayan setiap hari per kelayan/orang : Waktu Jenis menu Ukuran Kadar kalori(terdiri Pagi, Siang, Sore ) Nasi Lauk, Sayur, minum/Susu, dll ) gram kaloriJumlah kalori<br /></li></ul><br /><ul><li>(2) Pelayanan Papan, SPM yang terkait dengan pelayanan tempat tinggal kelayan yang ada dipanti berupa apa (asrama, dll), untuk setiap kamar berapa orang, fasilitas kamar meliputi apa saja (lemari, meja kursi, tempat tidur lengkap dengan kasur,bantal, selimut, sprei, sarung bantal, ventilasi udara cukup, lampu penerangan dll.)</li></ul><ul><li>(3) Pelayanan Kesehatan, SPM yang terkait pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada kelayan selama di panti baik untuk pemeriksaan rutin (berapa kali dalam satu bulan) maupun perawatan bila kelayan sakit ringan atau sakit berat )</li></ul><ul><li>(4) Pelayanan Kebutuhan Hidup Sehat, SPM yang terkait pelayanan ini berupa standar hygiene yang diberikan panti berupa kebutuhan hidup sehat di panti yang meliptui : persediaan air bersih (untuk mandi, dan minum) ; tersedianya MCK yang terjaga kebersihannya ; tersedianya sarana kesehatan (P3K); Saluran pembuangan yang baik, sirkulasi udara yang sehat, kegiatan olah raga yang teratur, dll.</li></ul><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">b. Pelayanan Rehabilitasi.</span><br />Pelayanan ini dimaksudkan sebagaimana yang ditetapkan tujuan pelayanan panti (dalam perencanaan pelayanan) yaitu antara lain untuk membentuk dan merubah perilaku phisik dan psichys (fisik dan mental) dan perilaku sosial kelayan (Sesuai dengan permasalahan kelayan ). Kemudian dalam SPMnya ditetap mengenai waktu pelayanan (berapa hari/minggu/bulan atau tahun). Disusun jadwal kegiatan (bimbingan) yang diberikan kepada kepalayan, misalnya dengan membuat daftar layanan sebagai berikut : (No. Pukul / Jam Uraian Kegiatan/Bimbingan Keterangan )<br /><br />Disusn pula SPM bentuk-bentuk kegiatan/bimbingan yang diberikan kepada kelayan, yang meliputi : Bimbingan Individu ; Bimbingan Kelompok ; Bimbingan Sosial ; Penyiapan Lingkungan Sosial ; Bimbingan Mental Spiritual/Psikososial; Bimbingan Pelatihan Ketrampilan ; Bimbingan Fisik Kesehatan; Bimbingan Pendidikan.<br /><br />SPM untuk Bimbingan fisik Kesehatan, kelayan diberikan bimbingan berupa : kegiatan olah raga ; kebersihan lingkungan, dan SKJ ( tentukan frekuensi kegiatannya, setiap hari / setiap hari apa dan jam berapa )<br />SPM untuk Bimbingan Mental Spiritual ditetapkan balam bentuk : mental keagamaan sesuai dengan keyakinannya ; harus menjalankan ibadah agama sesuai dengan keyakinannya. Bagi yang beragama Islam ada kegiatan pengajian setiap ( kapan), sholat dilakukan secara berjamaah, dll.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">5. </span><span style="font-weight: bold;">Tahap Pasca Pelayanan, terdiri dari :</span><br /><ul><li>a. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Penghentian Pelayanan.</span> Dilakukan setelah klien selesai mengikuti proses pelayanan dan telah mencapai hasil pelayanan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.</li></ul><ul><li>b. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Rujukan.</span> Dilaksanakan apabila klien membutuhkan pelayanan lain yang tidak tersedia dalam panti.</li></ul><ul><li>c. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Pemulangan dan Penyaluran.</span> Dilaksanakan setelah klien dinyatakan berhenti atau selesai mengikuti proses pelayanan.</li></ul><ul><li>d. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Pembinaan Lanjut.</span> Kegiatan memonitor/memantau klien sesudah mereka bekerja atau kembali ke keluarga.</li></ul><ul><li>e. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Terminasi,</span> dilaksanakan sehubungan dengan kondisi kelayan yang sudah mampu memenuhi kebutuhan sosialnya dan terlepas dari masalah yang pernah dihadapi.</li></ul><br />Bentuk-bentuk pelayanan pasca pelayanan dipanti, ditetapkan SPM nya sebagai pedoman petugas.<br /><br />Misalnya:<br /><ul><li>SPM untuk Penghentian Pelayanan ini, kelayan yang sudah selesai mendapatkan pelayanan, apabila kondisi dan mental kelayan dipandang sudah cukup dapat bersosialisasi baik dilingkungan keluarga, kerja/sekolah dan masyarakat.</li></ul><ul><li>SPM untuk Rujukan, ditetapkan prosedure rujukan yang akan dilakukan dan bagaiamana hak dan kewajiban masing-masing pihak (panti dan kelayan/keluarganya)</li></ul><ul><li>SPM untuk Pemulangan dan penyaluran, ditetapkan bagaimana prosedurenya kepulangannya ; kemudian kepulangannya apakah diantar atau keluarga kelayan dihubungan agar menjemput kelayan, dll. (semua itu disesuaikan dengan pelayanan yang disediakan oleh panti ). Dan diberikan akses kebidang pekerjaan sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki/diterima dari panti.</li></ul><ul><li>SPM untuk Pembinaan Lanjut, ditetapkan yang terkait dengan pembinaan lanjut yang bertujuan untuk memperkuat stabilitas perubahan dan peranan kelayan dalam melaksanakan fungsi sosialnya. (misalnya : untuk jangka waktu 1-2 bulan setelah pulang dari panti, petugas masih melakukan bimbingan lanjutan ; Melakukan monitor dan evaluasi mantan kelayan panti dalam mengembangkan hasil rehabilitasi dari panti ; membantu mendapatkan akses ke program-program ekonomi produktif, dll.</li></ul><ul><li>SPM untuk Terminasi, ditetapkan hal-hal yang terkait dengan persyaratan kondisi kelayan yang sudah dapat dilakukan terminasi, seperti : Telah mampu menyelesaikan masalahnya secara mandiri ; telah dapat menyesuaikan diri dengan nilai-nilai serta norma-norma sosial yang berlaku dilingkungan masyarakat.</li></ul><br />Untuk melengkapi Standar Pelayanan (Minimal) dibuat juga Standar Anggaran Pelayanan Panti, mulai dari Tahap persiapan sampai Tahap Terminasi. Hal ini penting untuk mengukur kinerja pelayanan dengan unsur-unurnya input (penganggaran) output (hasilnya), outcome (manfaat) dan Benefit (dampak) dari pelayanan panti yang diselenggrakan. Karena itu perlu ditetapkan indikator pelayanan panti yang dilihat dari Aspek kelayan, dengan ciri-ciri (indikasi keberhasilan) dan dari Aspek Lingkungan masyarakat dengan ciri-ciri (indikasi keberhasilan).<br /><br />Misalnya pada aspek kelayan, dengan ciri-ciri : sudah tidak tidak dijalanan lagi (untuk anak jalanan) tidak menggelandang/mengemis (untuk gelandangan/pengemis) sudah tidak minum minuman keras/berhenti dari bnarkoba ; ciri-ciri lain, Sudah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memotivasi diri dan menolak untuk melakukan yang membuat permasalahan seperti sebelumnya ; Telah memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk mendayagukan dan meningkatkan sumber-sumber pelayanan sosiaol sebagai salah satu bentuk pertisipasi mereka untuk dapat membantu dirinya sendiri, keluarga, atau kelompoknya. Dll.<br /><br />Dari aspek masyarakat, indikasinya seperti : dapat menerima kembali kelayan dan memberi kesempatan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagaimana masyarakat lainnya ; membentuk daya tangkal sumber-sumber permasalahan yang menimbulkan masalah seperti yang yang pernah dialami oleh kelayan ; memberi kesempatan/melibatkan kelayan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, dll.<br /><br />Sekian, semoga sukses menjalankan tugas-tugas sosial kemanusiaan !! ********<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-67202645568289992072011-01-05T18:06:00.000-08:002011-01-05T18:16:13.796-08:00<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;"><span style="font-family: verdana;">ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH</span><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="font-family: verdana;"><br />Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM</span></span><br /></div><br /><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-weight: bold;">A. PENDAHULUAN.</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Etika Birokrasi atau Etika Organisasi Pemerintah sejak era reformasi ini menjadi topik bahasan, terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan atau gejala yang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Pemerintah dan arapatur pemerintah yang selalu menjaga kredibilitas dan akuntabilitas yang tinggi adalah menjadi dambaan masyarakat yang menjadi oebyek pelayanan public. Dalam pemerintahan yang demikian ini, iklim keterbukaan, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat akan dapat diwujudkan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan , yaitu fungsi pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi atau Etika Organisasi Pemerintahan berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dilaksanakan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Menjadi permasalahan sekarang ini bagaimana proses penentuan Etika dalam Birokrasi itu sendiri, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana dengan kondisi saat itu dan tempat daerah tertentu yang mengatakan bahwa itu etis saja di daerah kami atau dapat dibenarkan, namun ditempat lain belum tentu.<br /><br />Dapat dikatakan bahwa Etika Birokrasi sangat terpergantung dari seberapa jauh melanggar di tempat atau daerah mana, kapan dilakukannya dan pada saat yang bagaimana, serta sangsi apa yang akan diterapkan sangsi social moral ataukah sangsi hukum, semua ini sangat temporer dan bervariasi di negara kita sebab terkait juga dengan aturan, norma, adat dan kebiasaan setempat.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Dalam penulisan ini kami akan mencoba membahas tentang apa yang dimaksudkan dengan Etika, mengapa kita memerlukan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dari mana Etika Birokrasi dibentuk dan sejauhmana peraturan Kepegawaian dapat menjadi bagian dari penerapan Etika Birokrasi di negara kita. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">B. PENGERTIAN ETIKA</span><br /><span style="font-family: verdana;">Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta minta ditaati pula oleh orang lain.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan. Dengan demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan Etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan (cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan seamangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral, dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak social dengan masyarakat, ini berarti Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Menurut Drs.Haryanto, MA. Bahwa Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral. Ini berarti Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perulaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan normative yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan normative tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut sebagai Etika Birokrasi.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">C. ALASAN PENTINGNYA ETIKA DALAM BIROKRASI.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Ketika masyarakat berurusan dengan pelayan public yang diberikan oleh aparat birokrasi berharap diterapkannya ketentuan peraturan yang berlaku dengan penuh tanggung jawab, jujur, transparan dan sopan. Namun kenyataannya masih belum sepenuhnya itu dilakukan. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Ada beberapa alasan mengapa Etika Organisasi Pemerintah / Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang kridibel, efisien, efektif, dan akuntabel, hal ini karena : <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Pertama,</span> masalah – masalah yang dihadapi aparat pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah menumbuhkan berbagai tuntutan kemudahan dan keterbukaan dalam pelayanan public, masalah – masalah publik yang semakin banyak dan komplek yang harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalah yang berkembang birokrasi seringkali dihadapkan pada pilihan – pilihan sulit, dan sering berdimensi baik atau buruk. yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Dalam banyak kasus, aparat birokrasi sering dihadapkan pada pilihan yang bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam “grey area “ (abu-abu) seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kedua, </span>keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar.<br /><br />Penggunaan kekuasaan hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">D. DARI MANA ETIKA BIROKRASI DIBENTUK.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam masyarakat. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Menurut Drs. Haryanto,MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat birokrasi mudaj tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang menyimpang belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk itu perlu adanya penegasan paying hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya <span style="font-style: italic;">“Ethics in Government” </span>yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA, tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu : </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /></span><ul><li><span style="font-family: verdana;">1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: verdana;">2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentinagn dinas.</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: verdana;">3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: verdana;">4. Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: verdana;">5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.</span></li></ul><span style="font-family: verdana;">Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Untuk itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi mengacu kepada ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia yang notabenen merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">E. PERATURAN KEPEGAWAIAN SEBAGAI BAGIAN DARI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI. </span><br /><span style="font-family: verdana;">Berbicara tentang Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi itu sendiri karena ketika kita Etika Birokrasi didengungkan secara tertulis memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para apata birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sessuai aturan yang telah ditetakan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI).</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Dengan sendirinya Kode Etik itu dibaca secara bersama – sama pada kesempatan tertentu yang kadang –kadang diikuti oleh suatau wejangan dari seorang pimpinan upacara disebut inspektur upacara ( IRUP ), maksudnya adalah untuk menciptakan kondisi – kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mentalyang diperlukan, juga untuk menciptakan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan upacara – upacara nasional.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Setiap organisasi, demikian juga KORPRI (PNS) ada usaha untuk membentuk Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan bermoral. Namun sampai sekarang belum diketahui sampai seberapa jauhnya dan juga belum dapat dipantau secara jelas dari perbuatan seseorang apakah yang bersangkutan melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena belum jelas batasannya dan apa sangsinya, sehingga benar-benar dapat dipergunakan sebagai ukuran atau criteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Tetapi apapun dan bagaimanapun maksud yang hendak dicapai dengan membentuk, menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yg baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme & lain-lain.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan main para aparat Birokrasi.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau Aparat Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai berikut :</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Aturan mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual, dimana diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsure aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dlam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk mewujutkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu kewajiban dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">2. Aturan menegnai kedudukan Pegawai Negeri sipil</span><br /><span style="font-family: verdana;">Pegawai Negeri sipil adalah unsure aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, mengatur masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan penuh tersebut mengandung pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah aturan yang telah ditentukan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">3. Penghargaan Pegawai Negeri sipil </span><br /><span style="font-family: verdana;">Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat perlu diberikan penghargaan kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan harapan agar menjadi contoh kepada yang lain dalam melaksanakan tugas.</span><br /> <br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">4. Keanggotaan Pegawai negeri dalam Partai Politik</span><br /><span style="font-family: verdana;">Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral, supaya terhindar dari kepentingan partai politik, maka sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan memundurkan diri demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">5. Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil</span><br /><span style="font-family: verdana;">Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peratuiran Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan, sangsi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri yang menjadi kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, antara lain mengatur tentang :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji jabatan berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima sangsinya.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Menyimpan rahasia negara dan atau rahasi jabatan dengan sebaik-baiknya.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Mentaati ketentuan jam kerja.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Bersikap adil dan bijaksana terhadaop bawahannya.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Menjadi atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan kariernya.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama pegawai dan atasannya.</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi, yaitu larangan seperti :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri sipil.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Menyalahgunakan wewenangnya.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutan.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri yang notabenen merupakan aparat birokrasi.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sangsi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis sangsi tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Hukuman disiplin ringan antara lain :</span></span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;"></span><span style="font-family: verdana;">teguran lisan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">teguran tertulis</span></li><li><span style="font-family: verdana;">pernyataan tidak puas secara tertulis.</span></li></ul><span style="font-family: verdana;">2. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Jenis hukuman disiplin sedang, antara lain :</span></span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">penundaan kenaikkan gaji berkala untuk paling lama satu tahun</span></li><li><span style="font-family: verdana;">penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk paling lama satu tahun.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.</span></li></ul><span style="font-family: verdana;">3. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Jenis hukuman disiplin berat, terdiri dari :</span></span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling lama satu tahun.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pembebasan dari jabatan.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">Dari sangsi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi atau hukuamn yang telah ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada penegakkan sangsi atas pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sangsi social saja, karena sangsi social hanya efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus tegas berupa sangsi hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di atas.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan segala sangsi yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat membuat aparat birokrasi lebih beretika. Jadi selain etika yang berlaku dalam masyarakat dimana aparat birokrasi merupakan bagian dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus terikat dengan aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi mempunyai aturan main sendiri yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai negeri sipil, serta aturan Kepegawaian yang berlaku dengan memberikan sangsi yang tegas dan nyata terhadap yang melanggarnya. Ini diharapkan dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika dan bermoral.</span><br /> <br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">F. P E N U T U P</span><br /><span style="font-family: verdana;">Uraian-uraian dari makalah yang disajikan diatas, merupakan konsep ideal yang diharapka dari aparat pelaksana pemerintahan di Indonesia yang merupakan aparat birokrasi di negara kita yang mempunyai tugas dan fungsi pokok untuk melayani masyarakat, mengatur masyarakat dan memberdayakan masyarakat. Fungsi-fungsi ini dapat dilaksanakn dengan baik apabila Aparat Birokrasi tersebut memiliki Etika dalam bekerja.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Etika Birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan baik lewat Sapta Pra Setya Korpri maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Tentang kepegawaian, tetapi lebih dari itu bagaiaman ketentuan-ketentuan tersebut dapat dihayati dan diamalkan dalam berperilaku sebagai Aparat Birokrasi dan yang tidak kalah penting yaitu bagaiman penegakkan hukum atau sangsi yang tegas bagi para pelanggar aturan yang telah disepakati dan ditentukan tersebut. Hukuman atau sangsi perlu ditegakkan secara merata tanpa pandang bulu apakah dia atasan atau bawahan semuanya harus sama di mata hukum.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Masyarakat juga berhak menentukan kode Etik atau aturan dalam masyarakat yang juga turut mengatur keberadaan seorang Aparat Birokrasi di lingkungannya, kalau memang melanggar harus ada komitmen bersama untuk mentaati aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Jadi yang disebut Etika Birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat Birokrasi itu sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah masyarakat dia terikat dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang menjadi lansasan Etika dalam bertindak dan berperilaku dalam melaksanakan tugasnya. *************</span><br /><br /><br /><br /></div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-13794069168760336822011-01-05T17:39:00.002-08:002011-01-05T18:03:42.372-08:00<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;"><span style="font-family: verdana;">BUDAYA KERJA ORGANISASI PEMERINTAH</span><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="font-family: verdana;"><br />Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM</span></span><br /></div><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">A. LATAR BELAKANG</span><br /><span style="font-family: verdana;">Suatu keberhasilan keja berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaan. Nilai-nilai yang menjadi kebiasaan disebut dengan budaya, dikaitkan dengan mutu/kualitas kerja maka dinamakan budaya kerja .</span><br /><span style="font-family: verdana;">Budaya kerja pertama kalai dikenalkan oleh Negara Jepang dalam melakukan manajemen kualitas yang berakar dan bersumber dari budaya yang dimiliki bangsa Jepang dikombinasikan dengan tehnik-tehnik manajemen modern pada tahun 1970an. Keberhasilan Jepang membangun perekonomiannya mendorong bangsa lain ingin meniru dan mengembangkan sesuai dengan budaya yang dimiliki Negara masing-masing.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Bangsa Indonesia sendiri mengembangkan pola Program Pengendalian Mutu Terpadu dan telah berkembang disektor swasta namun kurang mengakar,sehingga kurang mantap keberadaannya ,hal ini dikarenakan manajemen yang kurang menggali nilai-nilai budaya untuk diolah menjadi perilaku manajemen pada saatnya nanti menjadi kebiasaan dan keyakinan untuk bekerja yang lebih baik dan mendapatkan mutu yang diharapkan dan sekaligus dapat membangun SDM yang berkualitas.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">B. PENGERTIAN </span><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">1. Budaya dan Kebudayaan: </span><br /><span style="font-family: verdana;">Secara harfiah, pengertian budaya (culture) berasal dari kata Latin ‘colere’ yang artinya mengerjakan tanah atau mengolah ladang, yang merupakan kebiasaan hidup yang dilakukan orang saat itu. Selanjutnya budaya diartikan sebagai cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa (Ashley Montagu & Cristoper Dawson, 1993). Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Koentjoroningrat mengartikan budaya sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Kebudayaan memiliki tiga wujud, namun dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain, yaitu :</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai dan norma-norma, peraturan-peraturan dsb. ( wujud ini sebagai wujud idiil, sifatnya bastrak tidak dapat diraba/difoto, lokasinya ada dialam fikiran masyarakat dimana kebudayaan bersangkutan hidup )</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas aktivitas kelakuan berpola dari mansuia dalam masyarakat. (wujud ini sebagai system social, lebih konkrit karena terjadi disekeliling kita sehari-hari bisa diamati, difoto dan didokumentasikan ) </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. (sebagai kebudayaan fisik, wujudnya lebih konkrit lagi misalnya candi, kantor, pabrik, para ahli dll)</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">2. Kerja :</span><br /><span style="font-family: verdana;">Dalam memberikan definisi istilah “kerja” ini dalam budaya organisasi dilakukan dengan mengidentifikasi sebagai berikut :</span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah hukuman. manusia hidup bahagia tanpa kerja,tetapi Karen berbuat salah maka dihukum harus bekerja bentuk hukuman adalah kerja paksa.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah beban. Hal ini bagi orang yang malas, pekerja yang berada dalam posisis lemah</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah Kewajiban. Karena terikat kontrak atau guna memenuhi perintah atau membayar hutang.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah sumber penghasilan. Hal ini jelas kerja sebagai sumber nafkah merupakan anggaran dasar masyarakat umumnya</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah kesenangan. Kerja sebagai kesenangan seakan hobi, karena suka kerja (workaholic)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah gengsi atau prestise. Kerja sebagai gengsi berkaitan dengan status social dan jabatan, karena itu jabatan structural lebih diidamkan dari jabtan fungsional.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah aktualisai diri. Kerja disini dikaitkan dengan peran, cita-cita atau ambisi. (ibaratnya, lebih memilih jadi kepala ayam dari pada ekor sapi)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah panggilan jiwa. Kerja disini berkaitan dengan bakat, disini tumbuh profesionalisme dan pengabdian kepada kerja.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah pengabdian kepada sesama. Kerja dilakukan dengan tulus dan tanpa pamrih.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah hidup. Hidup diabdikan dan diisi untuk dan dengan kerja</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah ibadah. Kerja sebagai pernyataan syukur atas kehidupan didunia ini, dilakukan seakan-akan kepada dan bagi kemuliaan nama Tuhan bukan kepada manusia </span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kerja adalah suci. Kerja harus dihormati dan jangan dicemarkan dengan perbuatan dosa pelanggaran dan kejahatan</span></li></ol><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">3. Budaya Kerja</span><br /><span style="font-family: verdana;">Adalah suatu falsafah yang didasari oleh suatu pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang tercermin dalam sikap perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat, pandangan dan tindakan yang terwujud sebagai “kerja “ atau “bekerja “ (Sumber : Drs. Gering Supriyadi,MM dan Drs. Tri Guno, LLM )</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Sedang Budaya kerja organisasi, adalah manajemen yang meliputi pengembangan, perencanaan, produksi dan pelayanan suatu produk yang berkualitas dalam arti optimal, ekonomi dan memuaskan</span><br /><span style="font-family: verdana;">Menurt hasil seminar KORPRI 1992, Budaya kerja adalah suatu komponen kualitas mansuia yang sangat melekat dengan identitas bangsa dan menjadi tolok ukur dasar dalam pembangunan ; Budaya kerja dapat ikut menentukan intergritas bangsa dan menjadi penyumbang utama dalam menjamin kesinambungan kehidupan bangsa ; Budaya kerja sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dimilikinya yang mampu mendorong prestasi kerja setinggi-tingginya. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">C. TUJUAN DAN MANFAAT BUDAYA KERJA</span><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">1. Tujuannya : </span><br /><span style="font-family: verdana;">Untuk merubah sikap dan perilaku SDM yang ada dapat meningkatkan produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">2. Manfaat dari penerapan Budaya Kerja yang baik :</span><br /><span style="font-family: verdana;">a. meningkatkan jiwa gotong royong</span><br /><span style="font-family: verdana;">b. meningkatkan kebersamaan</span><br /><span style="font-family: verdana;">c. saling terbuka satu sama lain</span><br /><span style="font-family: verdana;">d. meningkatkan jiwa kekeluargaan</span><br /><span style="font-family: verdana;">e. meningkatkan rasa kekeluargaan</span><br /><span style="font-family: verdana;">f. membangun komunikasi yang lebih baik</span><br /><span style="font-family: verdana;">g. meningkatkan produktivitas kerja</span><br /><span style="font-family: verdana;">h. tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">D. PRINSIP BUDAYA KERJA</span><br /><span style="font-family: verdana;">Dalam suatu oragniassi bekerja melalui serangkaian proses yang saling berkaitan yang terjadi melalui dan melewati batas-batas birokrasi. Kesalahan dalam suatu proses akan mempengaruhi pada kualitas produk akhir ,oleh karena itu jaminan mutu terletak pada kekuatan setiap rangkaian yang berjalan benar sejak pertama pada setiap tahap pekerjaan.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Tujuan fundamental dari budaya kerja adalah untuk membangun SDM seutuhnya agar setiap orang sadar bahwa mereka berada dalam suatu hubungan sifat peran, berkomunikasi secara efektif dan efisien yang menggembirakan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">E. NILAI-NILAI BUDAYA KERJA:</span><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">a. Unsur-Unsur Falsafah Budaya Kerja</span><br /><span style="font-family: verdana;">Falsafah Negara, bangsa dan rakyat Indonesia adalah Pancasila seperti yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945. Implementasi nilai-nilai luhur Pancasila dalam organisasi pemerintah mutlak harus diwujudkan dalam semua tingkatan kepemimpinan. Pola komunikasi yang partisipatif, gaya kepemimpinan yang lebih pada mengajak dari pada memerintah, memberi keteladanan yang baik, mendorong dan memberikan kepercayaan kepada bawahan, serta pengambilan keputusan dengan cara musyawarah merupakan konsekuensi dari keharusan melaksanakan nilai-nilai dari falsafah pancasila tersebut.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Nilai-nilai budaya kerja yang dipengaruhi unsur-unsur falsafah negara tersebut dapat membentuk system kerja dan lingkungan kerja yang : disiplin, efektif, efisien, cepat, pasti, sopan, ramah, penolong, indah, nyaman, dan memiliki produktivitas yang tinggi. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">b. Arti dan Makna Nilai Budaya Kerja.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Nilai adalah dasar pertimbangan yang berharga bagi seseorang untuk menentukan sikap dan perilaku dalam menghadapi suatu masalah atau kejadian.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Nilai budaya kerja adalah pilihan nilai-nilai moral dan etika yang dianggap baik dan positif. Nilai tersebut dipedomani secara individu maupun kelompok yang dapat meningkatkan produktivitas dan kinerja dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">F. WAWASAN TUGAS ORGANISASI PEMERINTAH</span><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">a. Wawasan Tugas.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Wawasan tugas pemerintah merupakan pemahaman terhadap kondisi yang mempengaruhi organisai baik internal maupun eksternal ,untuk memahami wawasan tersebut harus memahami Visi dan Misi organisasi .</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-weight: bold;">Visi</span> adalah gambaran masa depan suatu organisasi yangb realistic, kridibel dan atraktif</span>. <span style="font-family: verdana;">Visi bagi oraganisasi mempunyai makna yaitu:</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Memberi nilai tambah bagi kehidupan oraganisasi baik secara individu maupun keseluruhan organisasi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Membangun komitmen diantara angkatan kerja organisasi untuk bergerak maju menuju masa depan yang lebih baik</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Mengatasi ketakutan akan kegagalan usaha yang mengarah pada kemajuan dan perbaikan masa depan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Menantang setiap kemamapan dan status quo yang merugikan kelangsungan hidup organisasi</span></li></ul><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-weight: bold;">Misi </span>: adalah Suatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh instansi pemerintah sesuai yang ditetapkan agar tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Ciri-ciri misi yang baik:</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Memiliki integritas suatu ‘sense of purpose “ sejati yang mendorong organisasi berbuat serta menyatakan hal yang terbaik</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Harus bermakna dan relevan membuat perbedaan yang jelas bagi person atau kehidupan sehari-hari</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Bertahan lama dan dapat dipertahanlan diperpanjang serta mampu melanggengkan hubungan-hubungan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Mudah dikomunikasikan dan dapat diingat yang memadukan tujuan organisasi dan janjinya pada pelanggan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Sederhana</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Didasari oleh nilai-nilai</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Mudah diterjemahkan menjadi spesifik</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Berbeda dapan dapat diingat dan baru tdk hanya mengarah kepada anggota melainkan juga menyegarkan dan member</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Tidak menguasai kompetensi yang diperlukan organisasi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Menarik bersama asama sumber daya dan berbagai bagian oragnisasi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Misi yang menciptakan pasar harus mengkaitkan kemanusiaan dan fungsi analitas.</span></li></ul> <span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">b. Organisasi Pemerintah.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Pengertian organisasi dalam arti statis adalah wadah yang berupa bagan atau struktur, tempat berkumpulnya orang yang melaksanakan tugas. Dalam arti dinamis adalah suatu proses penetapan dan pembagian pekerjaan atau tugas.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Pembatasan tugas dan tanggung jawab serta wewenang hubungan kerja,sehingga memungkinkan orang-orang dapat berinteraksi dalam pelaksanaan tugas secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Ada 2 aspek organisasi :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Aspek struktur organisasi yang meliputi pengelompokan secara formal dan bagan organisasi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Aspek proses perilaku yang meliptuti komunikasi pembuatan keputusan,motivasi dan kepemimpinan</span></li></ul><span style="font-family: verdana;"> Dalam operasionalnya organisasi pemerintah dapat dibedakan dalam Departemen dan lembaga Non Departemen(LPND) Bentuk organisasi pemerintah merupakan gabungan dari unsur lini, unsure staf dan fungsional.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">c. Perubahan.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Setiap manusia harus mau menghadapi perubahan, terutama dalam program Budaya Kerja , masalah perubahan dalam program budaya kerja musuh terberat adalah diri kita sendiri, oleh karena itu kita harus memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan perubahan .</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Perubahan merupakan hal yang penting dalam program budaya kerja, karena masalah budaya kerja adalah masalah perilaku kita sendiri. Karena itu dalam membangun budaya kerja kita harus berkomitmen untuk melakukan perubahan pada diri kita berdasar pada empat potensi dasar manusia yang telah dianugerahkan Allah SWT, yaitu : </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1). Kesadaran diri :</span> mampu mengambil jarak terhadap diri sendiri dan menelaah pemikiran kita sendiri, tindakan, kebiasaan, memungkinkan kita mennjadi sadar akan nilai-nilai social psikhis dari program yang ada dalam diri kita untuk mencari peluang antara rangsangan dan tanggapan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">2). Hati Nurani :</span> mampu menghubungkan kita dengan perkembangan jaman,merupakan alat pemberi arah dalam hati kita untuk memehami bila bertindak atau merenungkan sesuatu yang tidak sejalan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">3). Kehendak bebas memberikan kemampuan</span> untuk memberikan kekeuatan mengatasi paradigm-paradigma kita utk melawan arus ,memiliki kekuatan utk bertindak berdasarkan hati nurani dan visi.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">4). Imajinasi kreatif</span> merupakaan kemampuan untuk melihat kemasa yang akan dating untuk menciptakan sesuatu sesuai dengan prinsip organisasi .</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Kempat potensi diatas tersebut tidak akan muncul apabila tidak mendapatkan pembinaan dari lingkungannya, kecuali pada pada potensi diri pribadi, sedangkan pada kelompok akan lebih sulit aktualisasi potensi diri, perlu kondisi tertentu agar potensi bisa menjadi kenyataan perilaku antara lain :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Pembentukan karakter yang memuat kekuatan integritas,sifat pendewasaan dan kepedulian social</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pemberian ketarmpilan yang mencakup komunikaasi,perencanaan pengorganisasian dan perilaku sibnergistik</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Penanaman tingkat kepercayaan yang lebih baik untuk mencapai tujuan dan sasaran kelompok/organisasi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Mawas diri kesadaran mengukur kemampuan diri,belajar dan sadar untuk memberikan yang lebih baik</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Tanggung jawab kelompok dimana masing-masing individu menempatkan diri dalam fungsi, peran dan tanggung jawab kelompok</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Penciptaan struktur dan system yang kondusif agar dapat berjalan dengan mulusdan pembagian tugas dan wewewnag tanggung jawab dengan pedoman pelaksanaan</span></li></ul><span style="font-family: verdana;">Apa yang terkandung dalam Budaya kerja ? adalah strategi untuk mencapai keberhasilan masa depan dalam membangun SDM dan organisasi melalui pelatihan alami,</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Kekuatan nilai yang tersembunyi berupa kemampuan untuk menyempurnakan atau memperbaiki semua aspek administrasi /manajemen menjadi lebih baik dalam menghadapi tantangan</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Kekuatan tersembunyi menjadi kenyataan apabila :</span><br /><span style="font-family: verdana;">1). Tujuan dirinci menjadi perilaku nyata yang dapat menghasilkan,berarti upaya tsb tindakan yang bermutu</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />2). Tindakan bermutu tsb dikembangkan ,dipertahankan dan dibina terus menerus sehingga menjadi budaya</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />3). Tindakan manajemen /administrasi harus dapat mengukur perilaku kerja dan menyelesaikan pekerjan,kepemimpinan berasaskan pada keteladanan pembinaan [elatihan</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Potensi kekuatan Budaya dalam manajemen dapat dilihat dari beberapa aspek :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kekuatan,</span> Individu yang menduduki posisi penting atau kunci dalam organisasi</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Peran</span> , Ketrampilan yang berinteraksi melalui uraian jabatan, prosedur, peraturan dan system (professional)</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Tugas</span> : Mendorong dinamika untuk melakukan penelitain dan pengembangan (semangat dinamik)</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: verdana;">Pribadi : Individual dalam struktur kolektif untuk menentukan gotong royong</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: verdana;">Ketapatan : Bilamana kita mampu mempertemukan Budaya dengan tuntutan eksternal dan hambatan internal(selaras –serasi dan seimbang)</span></li></ul><span style="font-family: verdana;">Budaya kerja merupakan suatu komitmen yang luas dalam upaya untuk membangun SDM,proses kerja dan hasil kerja yang lebih baik,hal ini bersumber dari pribadi masing amsing individu yang terkait dalam organisasi kerja itu sendiri.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Seperti nilai apa yang sepatutnya setiap orang akan mempengaruhi kerja mereka,kemudian falsafah yang dianutnya seperti BUDAYA KERJA merupakan suatu proses tanpa akhir atau terus menerus</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Upaya penanaman nilai-nilai budaya dalam manajemen / administrasi dapat dilakukan melalui :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Struktur organisasi yang benar sesuai dengan tuntutan/tujuan sebagai strategi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Melakukan manajemen secara horizontal,lebih banyak yang bersifat kerja sama/kordinasi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Memberikan pelayanaan atas dasar strategi yang baik</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Interaksi atau pergaulan atas dasar silih asah,asih asuh</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Membuang budaya yang negative dan memeasukan nilai-nilai baru</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Oreintasi kerja pada peningkatan kualitas</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Mengembangkan upaya kemitraan/partnership</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Melakukan gaya kepemimpinan dengan keteladanan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Manajemen/administrasi dengan melakukan penyempurnan terus menerus</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">Dalam hal ini Prof.Edward Deming dalam bukunya <span style="font-style: italic;">“ Out Of Crissis “</span> berpesan :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Tanamkan komitemen pimpinan dalam hal kesetiaan terhadap tujuan perbaikan produk,barang atau jasa</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Serap dan gunakan pendekatan yang relevan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Hentikan memberikan penghargaan terhadap prestasi pegawai/karyawan dalam bentuk uang</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Hentikan pengawasan hanya diakhir proses untuk mewujudkan mutu produk</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Sempurnakan secara periodic dan terus meneru proses perencanaan, produksi dan pelayanana</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Sediakan dan lakukan pelatihan disekitar lokasi kerja</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kembangkan pengetahuan dan latihan kepemimpinana partisipatif</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kembangkan iklim kerja yang posistif,merangsang inovasi jangan mengancam atau menakut-nakuti, kembangkan rasa saling percaya antar pegawai/karyawan,atasan dan bawahan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Jangan menciptakan batas-batas birokratis antara staf dan karyawan/ pegawai</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Singkirkan kebijakan yang mengecam pegawai/bawahan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pelajari dan terapkan metode perbaiakan dan hindari quota Numerik dalam memecau produksi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Janagan meremehkan ketrampilan pegawai tetapi berikan ,tanamkan kebanggan akan ketrampilan kerja yang dimilikinya</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Laksanakan program diklat secara rutin pada setiap pegawai</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Libatkan setiap orang yng berada diorganisasi dalam perubahan dan penyempurnaan.</span></li></ul><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">d. Cara kerja Birokrasi.</span><br /><span style="font-family: verdana;">1). <span style="font-style: italic;">Cara Kerja Tradisonal :</span></span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">a) masih bersifat feodalistik</span></li><li><span style="font-family: verdana;">b) ketat pada peraturan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">c) tertutup</span></li><li><span style="font-family: verdana;">d) mempersulit pelayan terhdp orang lain</span></li><li><span style="font-family: verdana;">e) menghadapi orang lain penuh curiga</span></li><li><span style="font-family: verdana;">f) Suka main hakim sendiri</span></li><li><span style="font-family: verdana;">g) membuat peraturan untuk memperkuat diri</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">2). <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Cara kerja baru :</span></span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">a) Lebih efektif dan efisien</span></li><li><span style="font-family: verdana;">b) Demokratis dan terbuka</span></li><li><span style="font-family: verdana;">c) Lebih rasional dan fleksibel</span></li><li><span style="font-family: verdana;">d) Lebih desentralisasi</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">Hal ini untuk menghadapi dan mengantisipasi pada perubahan manajemen dalam pengaruh globalisasi yang menerpa semua Negara termasuk Indonesia. Bila cara kerja baru ini dilakukan dengan benar maka untuk manajemen harus berorinteantasi pada tujuan organisasi lebih efektif dan efisien dengan cara seperti:</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">a) Merumuskan tujuan dan sasaran organisasi secara jelas dan rinci</span></li><li><span style="font-family: verdana;">b) Tujuan dan sasaran tersebut dijabarkan dalam bentuk kebijaksanaan dan startegi yang operasional</span></li><li><span style="font-family: verdana;">c) Dilaksanakan dengan penuh peran serta semua pihak baik yang berupa kerja sama maupun koordinasi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">d) Pelaksanaan tsb terus dikendalikan,temuannya dianaliss,kemudian ditindak lanjuti berupa perbaikan atau penyempurnaan secaar terus menerus</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">Perubahan akan terlihat hasilnya apabila didahului oleh perubahan sikap dan perilaku SDM yang akan menjadi pendukung utama perubahan manajemen.hal ini diperlukan langkah kegiatan yang terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi budaya baru yang dimiliki .</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Unsur yang terkandung dalam upaya perubahan meliputi :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">a. kekuatan motivasi </span></li><li><span style="font-family: verdana;">b. memiliki ketrampilan </span></li><li><span style="font-family: verdana;">c. memiliki kepribadian</span></li><li><span style="font-family: verdana;">d. mampu berperan</span></li></ul><span style="font-family: verdana;">Memiliki keempat unsure diatas tidak bisa optimal bilamaana tidak memperhatikan factor manusiawi berupa kejenuhan. Yang dimaksud dengan produktivitas budaya kerja adalah sikap mental yang selalau mencari perubahan atau perbaikan yang telah dicapai dengan menerapkan teori dan metode .</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Perilaku manajemen yang mengjasilkan produk bermutu anatara lain :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">a. kepemimpinana</span></li><li><span style="font-family: verdana;">b. perencanaan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">c. pengorganisasian</span></li><li><span style="font-family: verdana;">d. penentuan prioritas</span></li><li><span style="font-family: verdana;">e. pendelegasian</span></li><li><span style="font-family: verdana;">f. pengendalian</span></li><li><span style="font-family: verdana;">g. pemecahan masalah</span></li><li><span style="font-family: verdana;">h. pengambilan keputusan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">i. komunikasi lisan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">j. komunikasi tertulis</span></li><li><span style="font-family: verdana;">k. ketrampilan adminsitrasi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">l. hubungan antar pribadi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">m. pemeiharaan keselamatan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">n. kerumahtanggaan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">o. ketepatan waktu dan kehadiran</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">G. PENERAPAN BUDAYA KERJA</span><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">1. Organisasi Budaya Kerja.</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">a. Penanggung Jawab. Bertanggung jawab akan keberhasilan pelaksanaan program komitmen.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">b. Tim Pengarah. Memberikan pengarahan pada fasilitataor /Kelompok BudayaKerja (KBK) agar berjalan sesuai dengan program.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">c. Fasilitator. Menyebarluaskan Budaya Kerja, membimbing KBK dan melaporkan kegiatan KBK kepada Tim Pengarah.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">d. Ketua Kelompok. Memimpin jalannya rapat KBK, member motivasi anggota dan melaporkan kegiatan KBK kepada Tim Pengarah</span></li><li><span style="font-family: verdana;">e. Anggota KBK. Partisipasi dalam KBK dan Belajar terus agar mampu memecahkan masalah.</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">2<span style="font-style: italic; font-weight: bold;">. Komitmen Pimpinan Puncak.</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Kegagalan atau keberhasilan program Budaya kerja sangat tergantung dari komitmen pimpinan pucak disetiap unit organisasi, karena setiap pemimpin disetiap level mempunyai kuasa mengendalikan suatu proses kerja.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">3. Komunikasi.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Ketrampilan berkomunikasi merupakan factor penting dalam upaya menciptakan lingkungan yang kondusif agar nilai-nilai luhur dapat teraktualisasi dalam sikap dan perilaku organisasi. </span><br /><span style="font-family: verdana;">Keberhasilan program tersebut berdasar pada tingkat kepercayaan dalam interaksi individu terkait,sehingga tempat tingkat kepercayaan itu pada kualitas kerja sama makin tinggi tingkat kepercayaan makin baik kualitas kerjasamanya,kondisi semacam ini harus dapat terwujud agar tingkat sinergi bisa dicapai sehingga hasil (out put ) program menjadi semakin berkualitas .</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">4. Motivasi : </span><br /><span style="font-family: verdana;">Merupakan salah satu komponen penting dalam meraih keberhasilan suatu proses kerja,karena memuat unsure pendorong bagi sesorang untuk melakukan pekerjaan sendiri maupun berkelompok. </span><br /><span style="font-family: verdana;">Suatu dorongan dapat berasal dari dalam dirinya sendiri untuk bekerja lebih baik atau memberikan yang terbaik bagi kelompok dengan berbagai macam alasan yang baik dan luhur, namun tidak semudah itu setiap orang mempunyai dorongan yang positif ,mereka perlu dibantu orang lain yang berperan sebagai pemimpin atau atasan</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">5. Lingkungan Kerja: </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Untuk Melakukan Program Budaya Kerja Diperlukan Persiapan Yang Berupa Penciptaan Lingkungan Kerja Dengan Paradigm Yang Disepakati Untuk Mencapai Tujuan Organisasi Dengan Cara Yang Lebih Efektif Dan Efisien, Oleh Karena Itu Kita Sedikit Melihat Pada Diri Kita Sendiri Sebagai Sdm ,(Prof Dr.Kusanadi Harasumantri) Bahwa Kekuatan Sdm Bukan Pada Jasmani Atau Jiwa Yang Dimilkiki Namun Kekuatan Tersebut Terletak Pada Semangat Dan Kemampuan Kerja, Karena Kerja Sama Akan Mampu Meningkatkan Mutu Dan Mautu Yang Harus Dicapai Terus Menerus ,Dipertahankan Dan Dikembangkan Akan Menjadi Budaya Kerja Yang Dimiliki Oleh Kelompok Yang Bersangkutan</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">6. Kerjasama Melalui Kelompok :</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Kerjasama merupakan suatu nilai-niali yang sangat penting dalam manjemen khususnya manajemen serba sasaran ataupun manajemen partisispasi. Kata lain kerjasama adalah partisipasi atau gotong royong , konsekwensinya dan nilai-nilai tersebut mendasari karakteristik suatu manajemen dimana partisiapsi itu dimungkinkan berperan dalam setiap pengambilan keputusan manajemen.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">7. Disiplin :</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Adalah suatu aspek keuatan sdm itu dapat tercermin pada sikap dan perilaku disiplin,karena disiplin dapat mempunyai dampak kuat terhadap suatu organisasi untuk mencapai keberhasilan dan menegajar tujuan yang direncanakan.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Disiplin dimulai dari diri pribadi anatara alain harus jujur pada dirinya sendiri,tidak boleh menunda-nunda tugas dan kewajibannya dan memberikan yang terbaik bagi organisasinya </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Karena organisasi itu adalah masalah orang,maka harus dpelajari secar sungguh-sungguh agar dalam penempatan orang itu sesuai dengan bakat dan ketrampilan yang dimiliki sehingga dimungkinkan displin organisasi dapat ditegakan dalam upaya mencapai tujuan</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Menurut Keiz Davis & Jhon.W.Newstrom menyatakan bahwa disiplin mempunyai 3 macam sifat yaitu :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">a. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Disiplin preventif </span>adalah tindakan sdm agar terdorong untuk mentaati standard an peraturan. Tujuannya untuk mendorong sdm agar memiliki displin pribadi yang tinggi.</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: verdana;">b. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Displin korektif, </span>adalah tindakan dilakukan setelah terjadi pelanggaran standar atau peraturan, tindakan tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbul pelanggaran lebih lanjut.</span></li></ul><ul><li><span style="font-family: verdana;">c. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Disiplin progresif,</span> adalah tindakan disipliner berulang kali berupa hukuman yang makin berat, dengan maksud agar pihak pelanggar bisa memperbaiki diri sebelum hukuman berat dijatuhkan.</span></li></ul><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">H. NILAI-NILAI DASAR BUDAYA KERJA APARATUR NEGARA </span><br /><span style="font-family: verdana;">Ada 17 butir nilai-nilai dasar budaya kerja Aparatur Negara yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku, yaitu :</span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;">KOMITMEN DAN KONSISTEN (terhadap visi,misi dan tujuan organisasi)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB (yang jelas, tegas dan seimbang)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">KEIKHLASAN DAN KEJUJURAN (yang menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan kewibawaan pemerintah)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">INTEGRITAS DAN PROFESIONALISME (yang konsisten dalam kata dan perbuatan serta ahli dalam bidangnya)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">KREATIVITAS DAN KEPEKAAN (yang dinamis mendorong kearah efisiensi dan efektivitas)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">KEPEMIMPINAN DAN KETELADANAN (yang mampu mendayagunakan kemampuan potensi bawahan secara optimal)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">KEBERSAMAAN DAN DINAMIKA KELOMPOK (yang mendorong agar cara kerjanya tidak bersifast individual dan pusat kekuasaan tidak pada satu tangan)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">KETEPATAN DAN KECEPATAN (adanya kepastian waktu, kuantitas, kualitas dan finasial yang dibutuhkan)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">RASIONALITAS DAN KECERDASAN EMOSI (keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan emosional)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">KETEGUHAN DAN KETEGASAN (yang tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang merugikan diri dan negaranya)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">DISIPLIN DAN KETERATURAN KERJA (yang mengacu kepada standar operasional prosedur)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">KEBERANIAN DAN KEARIFAN (yang dihasilkan dari adanya pendelegasian wewenang)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">DEDIKASI DAN LOYALITAS (terhadap tugas yang bersumber pada visi,misi dan tujuan organisasi)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">SEMANGAT DAN MOTIVASI (yang didorong oleh keinginan memperbaiki keadaan secara perorangan maupun organisasional)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">KETEKUNAN DAN KESABARAN (yang didasarkan kepada tanggung jawab terhadap tugas yang diamanahkan)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">KEADILAN DAN KETERBUKAAN (sesuai dengan keinginan masyarakat)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">PENGUASAAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin maju). </span></li></ol><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">I. PENUTUP. </span><br /><span style="font-family: verdana;">Penanaman budaya kerja pada organisasi Pemerintah menjadi penting sebagai upaya Pemerintah melaksanakan amanat rakyat dalam memberikan perlindungan dan pelayanannya. Perubahan dan kemajuan yang terus bergulir bersama pergantian waktu menuntut aparat organisasi pemerintah meningkatkan budaya kerja yang professional untuk menjawab tantangan yang semakin kompleks dan kompetitif. *****</span><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /></div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-1853654396436608312010-12-28T19:14:00.000-08:002010-12-28T19:28:43.630-08:00<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;"><span style="font-family: verdana;">DASAR-DASAR KEPEMIMPINAN </span><br /><span style="font-family: verdana;">UNTUK PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT</span><br /></div><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-family: verdana; font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM</span></span><br /></div><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">A. PENDAHULUAN</span><br /><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan adalah suatu fungsi yang harus dijalankan dalam suatu manajemen, karena kepemimpinan merupakan pokok pengambilan prakarsa untuk bertindak dalam mencapai tujuan bersama. Mutu kepemimpinan memainkan peran yang sangat penting dalam keberhasilan suatu kelompok yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang cerdas bukanlah suatu jaminan untuk memimpin suatu unit organisasi yang efektif dan efisien,karena seorang pemimpin selain memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk memimpin juga dituntut berperilaku sebagai panutan dan tauladan bagi bawahannya</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Hasil suatu penelitian dalam bidang psikologi menunjukan bahwa orang yang secara intelektual cerdas seringkali bukanlah orang yang paling berhasil dalam memimpin suatu organisasi, memimpin maupun dalam kehidupan pribadi mereka,sebagai seorang pemimpin selain harus cerdas secara intelektual juga cerdas secara emosional.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Disamping itu seorang pemimpin perlu menggali potensi-potensi yang ada pada dirinya dan berlatih untuk menyempurnakannya sehingga mampu berperan sebagai seorang pemimpin yang berprinsip dan efisien. Dengan memahami berbagai teori kepemimpinan dan memilih teori yang paling tepat untuk suatu situasi kondisi kerja,kepemimpinan yang efektif diharapkan tercapai dengan baik </span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">B. KEPEMIMPINAN.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Secara sederhana, apabila berkumpul tiga orang atau lebih kemudian salah seorang di antara mereka “mengajak” teman-temannya untuk melakukan sesuatu [misalnya : bermain, belajar bersama, berdiskusi, dll. Pada pengertian yang sederhana, orang tersebut telah melakukan “kegiatan memimpin”, karena ada unsur mengambil prakarsa untuk mengajak dan mengkoordinasi teman-temannya dalam suatu kegiatan untuk suatu tujuan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Namun, untuk merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan merupakan hal yang mudah, sehingga banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang kepemimpinan yang tentu saja menurut sudut pandangnya masing-masing. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Kata ”kepemimpinan” yang terjemahan dari bahasa Inggris ”Leadership” tersebut memiliki beberapa definisi sebagai berikut : </span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7).</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984, 46).</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281).</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan, adalah proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya. (Koontz & O’donnel)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka. (Wexley & Yuki, 1977 )</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama. (Georger R. Terry,)</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan sebagai cara membangkitkan semangan dan mendorong bawahan untuk menyelesaikan tugas – tugas yang diserahkan (Daniel W. Geeding dalam Management principles and Practice )</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan adalah Seni mengkoordinasi dan memotivasi individu–individu serta kelompok – kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Robert Prestus dalam Public Administration )</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi konstribusi yang efektif terhadap orde sosial, dan yang diharapkan dan dipersepsikan melakukan (HOSKING, 1988)</span></li></ol><br /><span style="font-family: verdana;">Mungkin masih banyak lagi dan Anda bisa menambah daftar panjang tentang definisi kepemimpinan ini. Dari banyaknya definisi kepemimpinan tersebut, menggambarkan asumsi bahwa kepemimpinan dihubungkan dengan proses mempengaruhi orang baik individu maupun kelompok. Dalam kasus ini, dengan sengaja mempengaruhi dari orang ke orang lain dalam susunan aktivitasnya dan hubungan dalam kelompok atau organisasi. John C. Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">C. PEMIMPIN.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan akan berjalan secara efektif dan efisien apabila dilaksanakan oleh seorang pemimpin, karena pemimpin merupakan inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. lalu siapa pemimpin itu ? </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Hamhiel dan Coons menjelaskan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama (Panji Anogara,dalam Psikologi kepemimpinan, hal 23).</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Ada beberapa pengertian pemimpin :</span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;">Pemimpin adalah orang yang paling dekat dan gigih mewujudkan norma-norma dalam kelompoknya</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pemimpin adalah orang yang mampu menarik perhatian orang lain seakan-akan mendapatkan kecenderungan dari orang lain untuk mengontrol mereka</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pemimpin adalah orang yang berhasil membuat orang lain mengikuti dia</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pemimpin adalah orang yang paling efektif atau berhasil menciptakan suatu kelompok yang efektif</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pemimpin adalah orang yang memperkarsai dan mendrong terjadinya interaksi antar anggota,interaksi ini berbentuk kegiatan-kegiatan nyata dan hal ini yang mennadi hidup atau tidaknya kelompok</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pemimpin adalah orang yang diidentifikasi dan diterima sebagai apa adanya oleh pengikutnya.</span></li></ol><span style="font-family: verdana;">Dari beberapa pengertian bahwa pemimpin pada dasarnya adalah seseorang yang mampu memberdayakan sumber daya manusia dan sumber daya lain dalam organisasi/kelompoknya untuk mencapai suatu tujuan tertentu</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">D. TUGAS DAN PERAN PEMIMPIN </span><br /><span style="font-family: verdana;">Menurut James A.F Stonen, tugas utama seorang pemimpin adalah:</span><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">1. Pemimpin bekerja dengan orang lain</span><br /><span style="font-family: verdana;">Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organisasi sebaik orang diluar organisasi. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">2. Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas).</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafnya tanpa kegagalan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">3. Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas</span></span><br /><span style="font-family: verdana;"> Proses kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin harus dapat menyusun tugas dengan mendahulukan prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan tugas-tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu secara efektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">4. Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Seorang pemimpin harus menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh pekerjaan menjadi lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">5. Pemimpin adalah seorang mediator</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator (penengah).</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">6. Pemimpin adalah politisi dan diplomat</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Seorang pemimpin harus mampu mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">7. Pemimpin membuat keputusan yang sulit</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Seorang pemimpin harus dapat memecahkan masalah atau persoalan yang dihadapi.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">E. PRINSIP- PRINSIP DASAR KEPEMIMPINAN</span><br /><span style="font-family: verdana;">Prinsip, sebagai paradigma terdiri dari beberapa ide utama berdasarkan motivasi pribadi dan sikap serta mempunyai pengaruh yang kuat untuk membangun dirinya atau organisasi. Menurut Stephen R. Covey (1997), prinsip adalah bagian dari suatu kondisi, realisasi dan konsekuensi. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Bagaimana ciri-ciri pemimpin yang berprinsip ? Stephen R. Coney (1997) dalam bukunya yang berjudul “Principle Centered Leadership” (Adam Ibrahin, 2001) menguraikan prinsip-prinsip kepemimpinan itu sebagai berikut :</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Selalu Belajar (Belajar Seumur Hidup). </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Belajar tidak diartikan melalui pendidikan formal saja, tetapi juga diluar sekolah. Contohnya, belajar melalui membaca, menulis, observasi, dan mendengar, terbuka terhadap saran-usul dan kritik. Mempunyai pengalaman yang baik maupun yang buruk sebagai sumber belajar. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">2. Berorientasi pada pelayanan </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Seorang pemimpin tidak dilayani tetapi melayani, sebab prinsip pemimpin dengan prinsip melayani berdasarkan karir sebagai tujuan utama. Dalam memberi pelayanan, pemimpin seharusnya lebih berprinsip pada pelayanan yang baik.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">3. Memancarkan energi positif</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Setiap orang mempunyai energi dan semangat. Menggunakan energi yang positif didasarkan pada keikhlasan dan keinginan mendukung kesuksesan orang lain. Untuk itu dibutuhkan energi positif untuk membangun hubungan baik. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus dapat menunjukkan energi yang positif.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">4. Percaya pada orang lain. </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Seorang pemimpin mampu memberikan kepercayan pada orang lain termasuk staf bawahannya, sehingga mereka termotivasi untuk bekerja lebih baik. Kepercayaan harus diikuti dengan kepedulian.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">5. Hidup seimbang. </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Seorang pemimpin harus dapat menyeimbangkan tugasnya dan berorientasi kepada prinsip kemanusiaan dan keseimbangan diri antara pekerjaan dan kemampuan untuk menjaga kesehatan (melaui olah raga, rekreasi, istirahat yang cukp). Keseimbangan kebutuhan phisik dan psikis. Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akherat. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">6. Melihat kehidupan sebagai petualang. </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Dalam hal ini ‘petualang‘ berarti kemampuan untuk menikmati hidup dengan segala konsekuensinya. Karena hidup adalah suatu petualangan yang membutuhkan inisiatif, ketrampilan, kreatifitas, kemauan, keberanian, dinamisasi dan kebebasan dari dalam diri sendiri.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">7. Sinergitas (Kompak)</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Orang yang berprinsip senantiasa hidup dalam sinergistik dan merupakan katalis (media) perubahan. Dia selalu mengatasi kelemahannya dirinya dengan kekuatan orang lain. Sinergi adalah bekerjasama (working together) yang memberi keuntungan kedua belah pihak. Menurut The New Brolier Webster International Dictionary, Sinergi adalah satu kerja kelompok, yang mana memberi hasil lebih efektif dari pada bekerja secara perorangan. Seorang pemimpin harus dapat bersinergis dengan setiap orang atasan, staf, teman sekerja.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">8. Latihan mengembangkan diri sendiri.</span> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Seorang pemimpin harus selalu memperbaharui diri agar mampu mencapai keberhasilan yang tinggi. Oleh karena itu orientasi jangan hanya pada produk, tetapi juga pada proses. Proses ini berhubungan dengan pemahaman dan pendalaman, memperluas melalui belajar dan pengalaman diri sendiri dan orang lain, penerapan prinsip-prinsip dan pemantauan hasil.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Mencapai kepemimpinan yang berprinsip tidaklah mudah, karena beberapa kendala dalam bentuk kebiasaan buruk, misalnya: </span><br /><span style="font-family: verdana;">(1) kemauan dan keinginan sepihak; </span><br /><span style="font-family: verdana;">(2) kebanggaan dan penolakan; dan </span><br /><span style="font-family: verdana;">(3) ambisi pribadi. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Untuk mengatasi hal tersebut, memerlukan latihan dan pengalaman yang terus-menerus. Latihan dan pengalaman sangat penting untuk mendapatkan perspektif baru yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. </span><br /><span style="font-family: verdana;">Mengembangkan kekuatan pribadi akan lebih menguntungkan dari pada bergantung pada kekuatan dari luar. Kekuatan dan kewenangan bertujuan untuk melegitimasi kepemimpinan dan seharusnya tidak untuk menciptakan ketakutan. Peningkatan diri dalam pengetahuan, ketrampilan dan sikap sangat dibutuhkan untuk menciptakan seorang pemimpin yang berpinsip karena seorang pemimpin seharusnya tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga emosional (IQ, EQ dan SQ).</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">F. PENDEKATAN GAYA KEPEMIMPINAN</span><br /><span style="font-family: verdana;">Cara bagaimana orang memimpin sering disebut sebagai gaya kepemimpinan atau “leadership style”. Untuk mengurai gaya kepemimpinan ada teori, yaitu :</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Pendekatan Teori Sifat ( Traits Leadership Theory)</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Pendekatan ini menekankan pada ciri-ciri pribadi yang dimiliki oleh seorang pemimpin, bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat dan karakter/watak, kualitas pribadi yang dimiliki seorang pemimpin.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Stogdill, mengungkapkan sifat-sifat kepemimpinan tersebut, seperti :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">a. Capacity,</span> yang meliputi kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara dan originality (keaslian).</span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">b. Achievment,</span> seperti gelar kesarjanaan, pengetahuan dan keberhasilan dalam olahraga; </span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">c. Responsibility,</span> memiliki daya tanggap, kepedulian terhadap umpan balik yang timbul.</span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">d. Participation,</span> yang meliputi aktif, kemampuan bergaul, kerjasama dan mudah menyesuaikan diri.</span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">e. Status,</span>: seperti kedudukan social, ekonomi dan ketenaran.</span></li></ul><span style="font-family: verdana;">Teori ini mendapat tantangan dari para ahli manajemen, karena keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh sifat seseorang, tetapi juga dipengaruhi oleh variable lain.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">2. Pendekatan Teori Perilaku ( Behavior Leadership Theory )</span><br /><span style="font-family: verdana;">Pendekatan ini menjelaskan adanya perilaku kepemimpinan yang membuat seseorang menjadi pemimpin yang efektif, yaitu bagaimana cara mendelegasikan tugas, berkomunikasi dan memotivasi bawahannya agar dalam melaksanakan tugas berjalan dengan baik. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Pendekatan teori ini, membedakan tiga pola dasar yang dipakai untuk menentukan perilaku kepemimpinan, yaitu :</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /></span><ul><li><span style="font-family: verdana;">a. Perilaku yang berorientasi pada tugas (<span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Task Oriented)</span>, kecenderungan untuk melaksanakan tugas secara maksimal, sehingga kurang memperhatikan hubungan kerjasama antara bawahan dengan atasan dan teman sejawat</span></li><li><span style="font-family: verdana;">b. Perilaku yang berorientasi pada hubungan kerja sama /hubungan kemanusiaan <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">(relationship Oriented),</span> lebih mementingkan hubungan kemanusiaan antara atasan, bawahan dan teman sejawatnya.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">c. Perilaku yang berorientasi kepada hasil (<span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Effectiveness oriented),</span> yang mempunyai dorongan yang sangat kuat untuk mencapai hasil yang maksimal.</span></li></ul><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">3. Pendekatan situasional (Situational Leadership Theory):</span><br /><span style="font-family: verdana;">Pendekatan ini untuk menutup kelemahan dari dua pendekatan teori sebelumnya (sifat dan perilaku). Karena keberhasilan kepemimpinan tidak hanya dipengaruhi factor-faktor dalam (sifat dan perilaku) dirinya, juga oleh factor-faktor diluar dirinya seperti visi, misi, bentuk organisasinya, jenis pekerjaan,dll. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Model pendekatan teori situasional menurut Paul Hersey dan Kenneth Blanchard</span><br /><span style="font-family: verdana;"> memiliki 4 tipe perilaku dasar kepemimpinannya, yaitu :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">a. Tipe Direktif (Telling),</span> lebih menitikberatkan pada komunikasi satu arah, pemimpin membatasi peranan bawahan dalam pengambilan keputusan, bawahan lebih pada posisi menerima perintah dan arahan tugas.</span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">b. Tipe Konsultatif (Selling),</span> terjadi komunikasi dua arah antara pimpinan dan bawahan. Bahawan diberi ruang untuk menyampaikan pendapatnya, walau keputusan tetap pada pimpinan.</span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">c. Tipe Partisipatif (Participative),</span> komunikasi dua arah makin meningkat, peranan bahawan dan pimpinan dalam pengambilan keputusan seimbang, karena pimpinan tahu bahwa bawahan yang tahu banyak teknis operasionalnya nanti.</span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">d. Tipe Delegatif,</span> Pimpimnan mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi dengan bawahan, selanjutnya mendelegasikan keputusan kepada bawahannya. Bawahan dipercaya untuk mengambil langkah-langkah bagaimana keputusn itu dilaksanakan.</span></li></ul><span style="font-family: verdana;">Pendekatan ini memberikan banyak arti yang cukup dalam bagi pemimpin dalam prakteknya yaitu dengan memasukan pertimbangan situasi tertentu secara keseluruhan dalam rancangan kegiatan. Karena itu dari keempat tipe itu, yang terbaik adalah yang sesuai dengan situasi dan kondisi organisasi. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">G. JENIS-JENIS KEPEMIMPINAN</span><br /><span style="font-family: verdana;">Ada 3 jenis kepemimpinan yaitu :</span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kepemimpinan Karismatik (charismatic)</span> yaitu kepemimpinan yang berdasarkan kepada prestasi dan ia selalu berada didepan.</span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kepala (headship)</span>, yaitu kepemimpinan yang berdasarkan pada otoritas formal karena diangkat secara formal sebagai pemimpin.</span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kepemimpinan situasional</span> adalah kepemimpinan yang muncul dari situasi yang tidak menentu, jika ada orang yang mampu membuat situasi itu menjadi jelas maka ia dapat dianggap sebagai pemimpin.</span></li></ol><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">H. KEPEMIMPINAN VISONER.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan visioner adalah seseorang pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan. Burt Nanus, dalam Visioner Leadership mengungkapkan Kepemimpinan Visioner harus mampu melakukan peran sebagai :</span><br /><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;"><br />a. Direction Setter (menseting arahan),</span> kemampan dan memilih dan menyampaikan arahan target organisasi dalam menghadapi lingkungan eksternal masa depan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />b. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Change Agent (agen perubahan),</span> bertanggungjawab sebagai katalisator perubahan lingkungan internal (sdm, sarana dan prasarana) untuk mencapai visi organisasi.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />c. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Spokes Person (pembicara),</span> sebagai penasehat/pendukung sekaligus negosiator organisasi serta visinya dalam menghadapi pihak luar</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />d. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Coach (ketua tim),</span> sebagai team builder (penyemangat) dan sebagai panutan di dalam organisasinya dalam mewujudkan visi organisasi.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-weight: bold;">I. CIRI-CIRI KEPEMIMPINANAN :</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Orang yang bagaimana seharus menjadi seorang pemimpin ?, untuk menjawab itu, perlu dikenali beberapa cirri pemimpin yang baik, yaitu :</span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;">Memiliki empati yang tinggi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Merupakan anggota kelompok</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Penuh pertimbangan, kebijaksanan yang arif</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Lincah dan bergembira baik dalam suka maupun suka</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Memiliki emosi yang stabil</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Mempunyai keinginan dan ambisi untuk memimpin</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Memiliki kopetensi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Memiliki intelegensi yang cukup</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Konsisten dengan sikapnya dapat diramalkan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Memiliki kepercayaan pada diri sendiri yang cukup tinggi</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Memiliki kemampuan untuk berbagi keepntingan dengan anggota lain.</span></li></ol><span style="font-family: verdana;">Sedang ciri-ciri yang berkaitan dengan sifat, seperti : kedewasaan, kekuatan hubungan social, motivasi diri, dorongan untuk berprestasi dan sikap kemanusiaan (Davis, 1983). Ada pula yang menambahkan seperti : inteltual, keadan emosional, keadaan fisik, imajinasi, kekuatan jasmani, kesabaran, kemauan berkorban, kemauan untuk bekerja keras. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Sedang Mar’at (1983) menyimpulkan cirri-ciri pemimpin yang baik itu adalah : bermoral, memiliki semangat korps, memiliki disiplin yang tinggi serta memiliki kecakapan (IQ, SQ, EQ).</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-weight: bold;">J. KEPEMIMPINAN DALAM PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Kepemimpinan semakin menjadi kepedulian banyak pihak dan semakin menjadi issue penting, terutama ketika semakin disadari bahwa dinamika dan tantangan organisasi tidak dapat lagi diselesaikan dengan mengandalkan kehebatan managemen gaya lama perubahan yang serba cepat dan sering tidak menetu yang melanda berbagi dimensi disekitar lingkungan maupun dalam organisasi, menuntut adanya kelincahan gerak dan kemampuan adaptasi yang semakin tinggi dan cepat.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />PSM, selaku pemimpin pembangunan dibidang kesejahteraan social yang bergerak ditengah-tengah masyarakat, yang dinamika dan kompleksitas permasalahan social dirasakan semakin tinggi. Maka harus membangun komitmen kepemimpinan yang visioner untuk menghadapi tantangan yang sekaligus peluang pada sekarang dan dimasa datang. Ada sepuluh komitmen perillaku kepemimpinan visioner yang ditawrkan oleh James M. Kouzes and Barry z. Posner, secara ringkas dapat diuaraikan sebagai berikut :</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Mencari Peluang – Peluang Yang Menantang</span> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Mencari peluang-peluang yang menantang sebagai salah satu komitmen utama kepemimpinan mempunyai arti bahwa seorang pemimpin diharapkan senantiasa berusaha agar kondisi “ status quo “ atau kemapanan yang statis tidak perlu dipertahankan, bahwa sebaliknya harus selalu dilakukan inovasi-inovasi guna penyesuaian dengan gelombang perubahan yang terjadi. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />2. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Berani Mencoba Dan Bersedia Tanggung Resiko</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Berani mencoba dan bersedia “ tanggung resiko “ mempunyai makna yang sama dengan memiliki tekad yang kuat dan kerelaan yang dalam untuk berusaha belajar dari keberhasilan dan kegagalan, meskipun terpaksa harus membayar harga pengalaman dengan mahal dan konsekuensi yang besar. Tidak mungkin para pemimpin dapat memiliki pengalaman belajar yang bermakna bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi bila mereka tidak pernah berani mencoba dan “ tanggung resiko “ </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />3. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Memimpin Masa Depan. </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Memimpin masa depan memiliki makna bahwa setiap pemimpin harus menampilkan pribadi yang memancarkan suatu visi atau pandangan tentang gambaran wujud masa depan dengan kuat. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">4. Membina Kesamaan Visi. </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Membina kesamaan visi atau menarik dan membawa orang lain ke dalam orientasi dunia yang menjadi visinya adalah merupakan kewajiban seorang pemimpin. Mengkomunikasikan visinya kepada semua pihak yang terkait dengan upaya mewujudkan visinya adalah usaha wajib yang harus dilakukan setiap pemimpin. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">5. Memperkuat Mitra Kerja </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Memperkuat mitra kerja mempunyai arti bahwa pemimpin berkewajiban untuk membagi atau memberikan kekuasan dan informasi yang dimilikinya agar semua pihak yang terlibat dalam proses pembaharuan mempunyai kekuatan atau sumber daya gerak pembaharuan yang sama. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">6. Menunjukkan Ketauladanan</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Menunjukkan Ketauladanan berarti bahwa seorang pemimpin mempunyai kewajiban untuk membuat orang lain dapat berbuat dengan memberikan contoh atau jalan awal bagi pertumbuhan selanjutnya </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">7. Merencanakan Keberhasilan Bertahap </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Meskipun pemimpin mempunyai rencana besar dalam mewujudkan visinya namun hampir dapat dikatakan mustahil apabila rencana besar tersebut harus dilakukan dalam sekali langkah. Untuk itu kewajiban pemimpin untuk membuat rencana secara bertahap sesuai dengan peluang dan kemampuan yang mungkin dilakukan dalam setiap laju perkembangan. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">8. Menghargai Setiap Peran Individu.</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Pemimpin harus mampu menghargai setiap peran yang telah dimainkan oleh semua pihak yang ikut andil dalam menciptakan keberhasilan. Meskipun diketahui bahwa derajat peran dapat berbeda, namun hak untuk memproleh penghargaan adalah sama. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">9. Menggalang Kerjasama </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Menggalang Kerja sama atau mengupayakan agar orang – orang bersedia untuk bekerja dalam satu hati dan semangat kebersamaan adalah tugas dari seorang pemimpin. Pemimpin tidak mungkin dapat mewujudkan mimpi atau wujud nyata dari visinya tanpa memperoleh dukungan dari mitra kerja yang dipimpinnya, yang bersatu dalam satu ikatan kesamaan visi, nilai – nilai dan harapan masa depan </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">10. Mensyukuri Setiap Keberhasilan.</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Mensyukuri setiap keberhasilan adalah kewajiban para pemimpin, dan keberhasilan sebagai nilai keberhasilan bersama, bahkan upayakan agar keberhasilan juga dapat dijadikan kesempatan emas untuk mendidik dan mengajarkan suatu nilai – nilai baru kepada banyak pihak. *********</span><br /><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">DAFTAR PUSTAKA.</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Adam Ibrahim, Drs. MPA, dkk. Kepemimpinan Dalam Organisasi, Penerbit LAN-RI, Jakarta, 2001.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Carolina Nitimiharjo, Jusman Iskandar, Dinamika Kelompok, Penerbit Kopma STKS, Bandung, 1993.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Gering Supriyadi, Drs. MM, dkk. Kepemimpinan Dalam keragaman Budaya, Penerbit LAN-RI, Jakarta, 2001.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">-----------,(Modul), Peningkatan Ketrampilan Manajemen, Diperbanyak Proyek Diklat Depnaker, Jakarta, 1991/1992.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi, PT. Indeks, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2003.</span></li></ul><br /><div style="text-align: center;">***********<br /></div><br /><br /></div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-35242601977591044332010-12-28T18:06:00.000-08:002010-12-28T18:21:46.662-08:00<div style="text-align: justify; font-family: verdana;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;">TEHNIK KOMUNIKASI DAN MOTIVASI<br />DALAM PENDAMPINGAN ANAK PANTI<br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM<br />Widyaiswara Madya </span><br /></span></div><br /><br /><span style="font-weight: bold;">A. PENDAHULUAN </span><br />Memasuki era informasi yang ditandai dengan kemajuan yang pesat dibidang teknologi informasi dan komunikasi, telah menghantarkan pada kondisi yang ditandai dengan gejala berupa sikap hidup yang kompetitif / persaingan yang tinggi, perilaku yang kompleks, tuntutan profesionalisme dan spesialisasi, ethos kerja yang produktif, berfikir ekonomis dan efisien. <br />Peksos dalam menjalankan fungsinya sangat erat kaitannya dengan kegiatan menumbuhkan motivasi. Keberhasilan seorang Peksos sangat ditentukan selain oleh kapabilitasnya dan kridibilitasnya, juga oleh kemampuannya dalam menumbuhkan motivasi kelayan untuk berbuat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.<br /><br />Dalam menggerakkan kelayan, Peksos akan selalu menghadapi dua hal yang mempengaruhi orang dalam melaksanakan pekerjaannya, yaitu : Pertama, Kemampuan yang telah ditentukan oleh kualifikasi yang dimiliki, seperti pendidikan, pelatihan, pengalaman, dan sifat-sifat pribadi Peksos itu sendiri. Kedua : adanya dorongan yang dipengaruhi oleh sesuatu yang ada dalam dirinya dan lain-lain dari luar dirinya. <br /><br />Dorongan dalam diri seseorang baik karena pengaruh dari sesuatu yang ada dalam dirinya, maupun karena pengaruh yang datang dari luar dirinya disebut motivasi.<br /><br />Ada orang yang mempunyai kemauan untuk melaksanakan suatu pekerjaan tetapi kemampuannya terbatas, dan sebaliknya ada orang yang yang kemampuannya tinggi tetapi kemauannya rendah, maka didalam menghadapi orang seperti ini peranan motivasi sangat penting sedangkan terhadap orang-orang yang mau tetapi tidak mampu maka peranan peningkatan ketrampilan perlu menjadi pertimbangan.<br /><br />Ketrampilan disini dimaksudkan dimana para Peksos dalam memberikan motivasi haruslah melihat siapa yang akan ditumbuhkan motivasinya. Karena didalam motivasi kita mengenal kondisi yang dapat merangsang seorang untuk berbuat sesuatu disebut <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">motive/motivasi</span> dan sebaliknya kondisi yang menyebabkan orang yang tidak mau berbuat sesuatu disebut <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">demotive/demotivasi</span><br /><br />Mengapa suatu ketrampilan perlu bagi seorang Peksos, jelas ketrampilan sangat diperlukan oleh seorang Peksos dalam menumbuhkan motivasi kelayan binaannya, karena dalam memberi motivasi yang berlebihan dapat berubah menjadi <span style="font-style: italic;">demotivasi,</span> karena itu Peksos harus dapat menjaga keseimbangan antara motivasi dan demotivasi.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">B. KOMUNIKASI</span><br />Secara etimologi (asal kata), kata komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari bahasa Latin communicatio atau communicatus yang bersumber dari kata communis atau common yang berarti ‘berbagi’ atau menjadi milik bersama atau ‘sama’. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Berdasarkan pengertian etimologi tersebut, komunikasi dalam berlangsung jika sepanjang ada kesaamaan makna apa yang dipercakapkan.<br /><br />Secara harfiah, komunikasi diartikan sebagai pemberitahuan, pemberitaan, pembicaraan, percakapan, pertukaran pikiran atau hubungan. Menurut webster new collogiate dictionary dijelaskan bahwa komunikasi adalah “suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku”. <br /><br />Pengertian komunikasi sudah banyak didefinisikan oleh banyak orang, jumlahnya sebanyak orang yang mendifinisikannya. Dari banyak pengertian tersebut jika dianalisis pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa komunikasi sebagai suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan, pikiran, gagasan atau emosi-emosi (perasaan) dari seseorang/kelompok orang ke orang lain/kelompok orang lain dengan menggunakan serangkaian lambang-lambang yang berarti. <br /><br />Lambang-lambang komunikasi dapat verbal (bahasa lisan dan bahasa tulis), maupun non verbal (gesture/body language berupa isyarat, gerak anggota badan)<br />Komunikasi dikatakan komunikatif apabila keduabelah pihak selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan. Kegiatan komunikasi tidak hanya bersifat informative (agar pihak lain mengerti dan tahu), tetapi juga bersifat persuasif (agar pihak lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan), sehingga melakukan suatu perbuatan atau kegiatan yang diinginkan.<br /><br />Tujuan komunikasi, adalah untuk melakukan pertukaran informasi, idea, pikiran dan pengalaman, saling pengertian, saling memahami, saling berhubungan antar orang, memelihara dan mengatur hubungan antar pribadi, saling mempengaruhi dan saling merespon dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya.<br />Berkomunikasi tidak sekedar untuk mencapai kesamaan pemahaman makna terhadap suatu pesan yang dikomunikasikan, melainkan mencakup pula aspek-aspek relasi dan interaksi antar manusia.<br /><br />Melalui komunikasi orang mencoba mempengaruhi orang lain pada aspek kognisi (pengetahuan), afeksi (sikap), maupun psikomotoriknya agar terjadi perubahan dalam dirinya sesuai dengan apa yang diinginkan.<br /><br />Fungsi komunikasi sebagai alat untuk menjembatani kebutuhan antara atara satu orang dengan orang lain dalam melakukan relasi dan interaksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu :<br /><ol><li>Menyampaikan informasi atau pesan yang bermanfaat bagi orang lain</li><li>Memperkuat pembentukan persepsi dan cara pandang seseorang</li><li>Menciptakan penerimaan dan tanggapan positif terhadap masalah dan pengalaman baru</li><li>Merangsang emosional</li><li>Membentuk,merubah dan mempertahankan kesan</li><li>Mempererat hubungan interpersonal untuk saling bekerjasama</li><li>Mendorong partisipasi dan motivasi individu.</li></ol><br />Agar jalannya komunikasi tidak mengalami kemacetan, artinya komunikasi dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan dari berkomunikasi dapat dicapai, maka sedikitnya ada 4 prinsip yang harus diperhatikan oleh komunikator (Peksos) terhadap komunikan (kelayan) yaitu :<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Individualisasi,</span> bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang unik atau berbeda-beda. Oleh karena itu dalam berkomunikasi jangan menggunakan cara dan pola komunikasi yang sama, melainkan disesuaikan dengan keunikan individu dan latar belakang kelayan yang akan diajak berkomunikasi.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">2. Akseptasi,</span> bahwa dalam berkomunikasi untuk menyampaikan informasi harus bersifat terbuka dan mau menerima siapa saja, tidak melakukan diskriminasi atas ras, agama golongan, status social yang ada pada kelayan<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">3. Situasional,</span> hendaknya dapat menggunakan berbagai macam metoda dan sarana komunikasi yang ada yang sesuai dengan sistuasi dan kondisi lingkungan dan kelayan saat berkomunikasi. <br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">4. Tidak menjustifikasi/menilai,</span> dalam berkomunikasi jangan menghakimi atau menilai salah atau benar atas diri kelayan berdasarkan nilai dan kepercayaan yang ada pada diri komunikator<br /><br /><span style="font-weight: bold;">C. MOTIVASI</span><br />Motivasi berasal dari kata “motive” yang diartikan sebagai suatu kondisi yang menggerakkan suatu makhluk yang mengarahkan sesuatu kepada suatu tujuan tertentu ( Fillmore H. Sanfort ). <br /><span style="font-weight: bold;">Motif,</span> adalah suatu dorongan, alasan yang mendorong atau sebab-sebab yang mendorong untuk bertindak atau berbuat sesuatu. Dengan demikinan, motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang untuk berbuat sesuatu atau berperilaku tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.<br /><br />Menurut pendapat Gary A.Stainer menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu kondisi mental yang mendorong suatu aktivitas yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidak seimbangan.<br /><br />Menurut pendapat J.Ravianto : Motivasi merupakan suatu daya pendorong yang menyebabkan orang berbuat sesuatu yang atau yang ia perbuat karena takut sesuatu.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Motivasi Menurut Teori Kebutuhan</span><br />Maslow (Abraham H. Maslow) mengungkapkan motivasi ini melalui teori kebutuhan, bahwa tindakan manusia pada hakekatnya adalah adanya motivasi atau dorongan untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupannya yang meliputi :<br /><br /><span style="font-weight: bold;">a. Kebutuhan badaniah (<span style="font-style: italic;">Physiological Needs</span>):</span><br />Kebutuhan untuk mempertahankan hidup yang meliputi kebutuhan psikologis, kebutuhan yang dipandang sebagai kebutuhan yang mendasar, setiap orang membutuhkannya terus menerus sejak lahir hingga mati, seperti sandang pangan, papan dsb. Juga kebutuhan biologis ( kebutuhan mengembangkan keturunan )<br /><br /><span style="font-weight: bold;">b. Kebutuhan keamanan (<span style="font-style: italic;">Safety Need</span>)</span><br />Kebutuhan akan rasa aman harus dilihat dalam pengertian yang luas, tidak hanya dalam arti keamanan fisik semata, akan tetapi juga keamanan yang bersifat fisiologis seseoarng (seperti aman terhadap harta bendanya, jasmaninya ) maupun keamanan batinnya (seperti perlakuan adil, jaminan hari tua, rasa aman dalam melakukan kegiatan keagamaan )<br /><br /><span style="font-weight: bold;">c. Kebutuhan Social <span style="font-style: italic;">(Social need)</span></span><br />Kebutuhan kehidupan sosialnya berupa kebutuhan akan perasaan diterima oleh lingkungan masyarakatnya,dimanapun manusia berada baik dimasyarakat atau dilembaga suatu organisasi,mereka butuh pengakuan akan keberadaannya dan penghargaaan atas harkat dan martabatnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">d. Kebutuhan akan penghargaan <span style="font-style: italic;">(Esteem Need)</span></span><br />Kebutuhan akan suatu penghargaan/prestise,berupa kebutuhan akanharga diri dan pandangan baik orang lain terhadap dirinya,keberadaan dan status sesorang biasanya tercermin pada berbagai lambang penggunaannya,sering dipandang sebagai hak seseorang didalam dan diluar organisasinya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">e. Kebutuhan akan pengakuan / Aktualisasi Diri <span style="font-style: italic;">(Self Actualization)</span></span><br />Kebutuhan mempertinggi kapasitas dirinya,kebutuhan menegani nilai dan kepuasan yang didapatdari pekerjaan,kebutuhan ini didalam manifestasinya nampak pada keinginan mengembangkan kapasitas mental dan kapasitas kerja, misalnya melalui pendidikan, pelatihan, seminar dan loka karya.<br /><br />Dalam jenjang kebutuhan Maslow menjelaskan tingkah laku atau tindakan setiap individu pada suatu saat tertentu akan berbeda-beda, dan ditentukan oleh kebutuhannya yang paling mendesak oleh individu yang bersangkutan oleh karena itu bila ingin menumbuhkan memotivasi kelayan hendaknya memahami jenjang kebutuhannya. Kebutuhan yang berbeda-beda pada setiap individu atau kelompok individu tersebut disebabkan oleh latar belakang pendidikan, statusnya, pengalamannya, cita-cita dan harapan masa depannya serta pandangan hidupnya.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Motivasi Menurut Teori Pengharapan (Expectance Theory ),</span><br />Dalam Teori Pengharapan, yang merupakan teori baru tentang motivasi yang dikembangkan oleh Victor Vroom mengemukakan bahwa, keinginan seseorang untuk menghasilkan (berproduksi) sangatlah tergantung atas tujuan yang ingin dicapainya. <br /><br />Vroom mengemukakan bahwa produktivitas (hasilan yang tinggi) merupakan alat pemuas bagi seseorang / kelompok orang. Karena itu bila kita ingin menumbuhkan motivasi seseorang / kelompok orang perlu diberi pengertian tentang tujuan yang ingin kita capai, tindakan yang harus dilakukan serta hasil dari tindakan/usaha yang kita lakukan (yang merupakan pencapaian tujuan ).<br />Apabila seseorang/kelompok orang berusaha dengan baik, dan bekerja dengan baik ( produktif ), maka yang dihasilkan akan meningkat (produktif ). Ini artinya disamping tujuan tercapai, prestise juga meningkat serta apa yang diharapkan dari usaha itu dapat dirasakan oleh semua anggota kelompok tersebut.<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Tujuan motivasi.</span><br />Motivasi sebagai daya penggerak / daya dorong tingkah laku manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk mencapai tujuan. Penumbuhan motivasi kelayan bertujuan untuk membangkitkan daya gerak / daya dorong tingkah laku kelayan dalam mencapai tujuannya.<br /><br />Penumbuhan motivasi sangatlah erat dengan kondisi psikis yang ada pada seseorang / kelompok orang yang akan kita tumbuhkan motivasinya, dan merupakan proses psikologis yang terjadi dalam setiap diri seseorang yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, keinginan, persepsi, pandangan hidup, dll. <br /><br />Pada umumnya seseorang berbuat, berperilaku, atau mau melakukan sesuatu pekerjaan, karena adanya dorongan keinginan tertentu dalam dirinya, diantaranya adalah :<br />a) Keinginan untuk bertahan hidup ;<br />b) Keinginan untuk memiliki sesuatu ;<br />c) Keinginan untuk memperoleh kepuasan ;<br />d) Keinginan untuk memperoleh kekuasaan ;<br />e) Keinginan untuk memperoleh pengakuan ;<br />f) Keinginan untuk memperoleh penghormatan ; dll.<br /><br />Jadi seseorang berperilaku / berbuat sesuatu atau melakukan sesuatu pekerjaan / tindakan karena mempunyai motif-motif atau dorongan-dorongan tertentu, bisa karena untuk bertahan hidup, atau ingin memiliki sesuatu, ingin suatu kekuasaan, dll.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Fungsi motivasi.</span><br />Yang menjadi permasalahan adalah bahwa motivasi dalam diri seseorang tidak selalu timbul dengan sendirinya, tidak jarang motivasi harus ditumbuhkan, dikembangkan dan diperkuat.<br /><br />Anak-anak dalam panti yang menjadi kelayan Peksos, menuntut para Peksos harus mampu menumbuhkan motivasi kelayan anak panti tersebut terhadap usaha kesejahteraan sosial demi peningkatan taraf hidupnya, martabat kemanusiaannya, sehingga mau melakukannya dengan sukarela dengan apa yang telah diprogram untuk pengembangan kepribadiannya dirinya.<br /><br />Dengan terus menumbuh-kembangkan motivasi dalam diri kelayan, akan memperlancar pelaksanaan program kegiatan usaha kesejahteraan sosial yang telah direncanakan oleh Peksos terhadap kelayan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">D. TEKNIK KOMUNIKASI DAN MOTIVASI DALAM PENDAMPINGAN ANAK PANTI</span><br />Berkomunikasi dan memberikan motivasi terhadap kelayan anak dalam panti dengan maksud untuk membantu dalam membuka wawasan / cakrawala pandang dan cakrawala berfikir yang luas agar memiliki kepercayaan diri.<br /><br />Seseorang yang pada awalnya tidak ada kemauan untuk berubah bahkan menunjukan sikap yang tidak bersahabat, tidak mau berbuat, acuh tak acuh kepada kehidupan sosial di lingkungannya, setelah mampu melakukan komunikasi dengan pembimbingnya (Peksos), ia secara perlahan mulai membuka diri dan mulai menerima masukan dari luar dirinya untu melakukan perubahan.<br /><br />Hal ini karena pada sebagian orang melakukan komunikasi merupakan sumber pertama untuk interaksi social, Komunikasi yang terjadi merupakan mekanisme fundamental dimana seseorang dapat menunjukan kegembiraaan, kebanggaan, kepuasan atau kekecewaan dan kejengkelannya. Oleh karena itu komunkiasi memfasilitasi pelepasan ungkapan emosi perasaan dan pemenuhan kebutuhan social.<br /><br />Komunikasi juga dapat mepermudah pengambilan keputusan pada diri seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, karena dengan komunikasi mendapat informasi yang yang diperlukan untuk mengambil keputusan dengan mengenali dan mengevaluasi pilihan alternative yang ada. <br /><br />Melakukan motivasi tentunya tidak lepas dari komunikasi, karena komunikasi memperkuat motivasi dengan menjelaskan kepada seseorang apa yang harus dilakukan, seberapa baik atau buruk tindakan seseorang dan apa yang dapat diperbuat untuk memperbaiki kehidupannya.<br /><br />Dalam melakukan komunikasi dan motivasi dengan kelayan dalam pendampingan anak di panti, hendaknya dilakukan dengan perencanaan yang baik, dengan memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut :<br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Kegiatan Persiapan :</span><br /><ul><li>Ketahuilah terlebih dahulu karakter, sikap, keinginan/kebutuhan, kebiasaan atau kemampuan kelayan tersebut ;</li><li>Identifikasi permasalahan kelayan yang akan diajak berkomunikasi dan dimotivasi ;</li><li>Menyusun rencana kegiatan, apa yang akan dikomunikasikan untuk memotivasi; kapan, berapa lama, dan medianya, dll.</li></ul><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">2. Pelaksanaan :</span><br />Dalam pelaksanaan komunikasi dan memotivasi kelayan dapat dilakukan dengan berbagai cara :<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">a. Komunikasi tatap muka perorangan ; </span><br />Karena setiap individu memiliki problema social yang dipengaruhi oleh karakteristik dan psikologis secara individual, maka diperlukan berkomunikasi secara individual/perorangan agar memiliki ruang dan waktu yang lebih terbuka tentang hal-hal yang pribadi sefatnya yang ada pada kelayan.<br /><br />Komunikasi langsung/tatap muka memiliki kelebihan yaitu hubungan psikologis lebih dekat dan umpan balik langsung dan seketika sehingga pertukaran informasinya bisa saling merespon secara langsung dan seketika.<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">b. Komunikaasi tatap muka kelompok.</span><br />Komunikasi tatap muka secara kelompok, dimaksudkan untuk memberikan wawasan dan informasi secara umum, dan berlaku umum, sehingga setiap individu merasa tidak diperlakukan diskriminasi, misalnya mengenai aturan-aturan yang harus ditaati oleh semua kelayan, dll.<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">c. Menumbuhkan Motivasi Kelayan.</span><br />Untuk menumbuhkan motivasi, karena seseorang mau melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena adanya dorongan atau motivasi tertentu, karena itu perlu menumbuh-kembangkan motivasi kelayan agar mau melakukan tindakan yang diinginkan oleh Peksos. Strateginya adalah sebagai berikut :<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">1) Kompetisi atau persaingan, </span><br />Untuk membangkitkan motif (menumbuhkan motivasi) dengan cara kompetisi, dapat juga dilakukan dalam dua cara :<br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;"><br />Pertama, </span> kompetisi dengan prestasi sendiri, dalam pengertian kepada individu tersebut ditunjukkan prestasi yang telah dicapai olehnya, dan didorong untuk terus meningkatkan prestasi tersebut lebih baik.<br />(misalnya : kemarin kamu bisa, sekarang kamu harus bisa ; kamu adalah anak pintar, tentu kamu bisa, dsb. )<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Kedua, </span>kompetisi dengan prestasi orang lain, dengan memperlihatkan prestasi orang lain dibidang yang sama dengan maksud untuk merangsang atau mendorong agar ia mau berbuat yang sama.<br />( Misalnya : dia yang badanya lebih kecil dari kamu bisa, tentu kamu lebih bisa, dll )<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">2) Mendekatkan Tujuan,</span><br />Tujuan dari suatu kegiatan seringkali sangat jauh (ideal), sehingga kalau melihat tujuan yang sangat jauh (sulit diwujudkan secepatnya ) membuat individu menurun semangatnya / tidak bersemangat untuk melakukan sesuatu. Untuk menumbuhkan motivasi yang kuat, tujuan yang ditetapkan hendaknya dirumuskan yang konkrit yang secara rasio dapat diwujudkan dalam waktu dekat (dalam sasaran jangka pendeknya)<br /><br />Contoh : tujuan hidup sejahtera masih abstrak, maka konkritkan tujuan tersebut, seperti dengan mengikuti ketrampilan ...agar dapat bekerja, akhirnya berpengasilan, sehingga bisa hidup layak dan --- sejahtera.<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">3) Tujuan Yang Jelas dan Diakui. </span><br />Kalau tujuan yang ingin dicapai itu jelas dan sangat berarti (diakui manfaatnya) bagi kelayan yang ditumbuhkan motivasinya, maka ia akan bersemangat untuk mewujudkannya. Semakin jelas dan berarti tujuan yang ditetapkan, semakin bersemangat untuk mencapainya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Misalnya,</span> Seorang anak yang punya kecenderungan terhadap music, jangan diajari dengan intensitas tinggi tentang masalah diluar music, karena ia merasa ini tidak menyangkut tentang dirinya, sehingga tidak timbul minat yang medorong timbulnya motivasi<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">4) Minat.</span><br />Suatu kegiatan akan berjalan baik dan lancar apabila ada minat. Sedang motivasi akan bangkit bila ada minat yang besar. Untuk menumbuhkan motivasi kelayan dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan minat dengan jalan sbb. :<br /><br />a) <span style="font-style: italic;">Membangkitkan suatu kebutuhan;</span> misalnya kebutuhan untuk menghargai keindahan ( motif untuk hidup bersih ); kebutuhan akan penghargaan ( motiv untuk meningkatkan status ), dsb.<br /><br /><span style="font-style: italic;">b) Mengungkap pengalaman keberhasilan,</span> misalnya, memperlihat kan bahwa pengalaman menunjukkan dengan kerja keras akan kita peroleh hasil yang lebih baik ( atau pengalaman-pengalaman lain yang mampu menumbuhkan motiv terhadap kelayan ). Misalnya, pengalaman menunjukkan bahwa dengan kita bersatu, hal yang berat terasa ringan (membangkitkan motivasi utnuk bersatu )<br /><br /><span style="font-style: italic;">c) Menunjukkan kesuksesan seseorang,</span> memberitahukan keberhasilan / kesuksesan yang diperoleh individu, sebab kesuksesan akan menimbulkan kepuasan ( hasil pekerjaan yang memuaskan akan menumbuhkan motivasi seseorang / kelompok individu pada pekerjaan yang sama untuk berikutnya )******<br /><br /><span style="font-weight: bold;">DAFTAR PUSTAKA.</span><br /><ul><li>Astrid, S. Susanto, Dr. phil. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek – 1, Penerbit Binacipta, Bandung, 1974.</li><li>Effendy, Onong Uchyana, Drs, MA, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Penerbit Remaja Karya CV, Bandung, 1985.</li><li>Effendy, Onong Uchyana, Drs, MA, Dimensi-Dimensi Komunikasi. Penerbit Alumni Bandung, 1986.</li><li>Muhammad, Arni, Dr. Komunikasi Organisasi. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2005.</li><li>Pusdiklat Kesos Depsos RI, Modul Pelayanan Sosial Bagi Panti Sosial Asuhan Anak Swasta. Jakarta. 2007.</li><li>Pelatihan Pembinaan Motivasi untuk meningkatkan Prestasi,WSPK Lembaga Penelitian IKIP Jogyakarta,</li><li>Robbins, Stephen P, Perilaku Organisasi,PT. Indeks kelompok Gramedia.</li><li>Pelatihan Pembinaan Motivasi untuk meningkatkan Prestasi,WSPK Lembaga Penelitian IKIP Jogyakarta,</li><li>................., Modul Pelatihan Pembinaan Motivasi Untuk Meningkatkan Prestasi, Penerbit Wahana Study Pengembangan Kreatifitas Lembaga Penelitian IKIP Jogjakarta.</li><li>.................., Modul Pola kerja Terpadu, Penerbit Lembaga Administrasi Negara (LAN), Tahun 1991.</li><li>Buchari Zainun, Prof., Dr., Manajemen dan Motivasi, Balai Pustaka</li><li>Carolina. N., Dra., MSW., Psikologi Sosial, Penerbit STKS Bandung.</li><li>Mirran. S. Arif, Drs. MSc., Organisasi dan Manajemen, Penebit Karunika Jakarta, Universitas Terbuka Jakarta, 1985.</li></ul><br /><br /><div style="text-align: center;">***********<br /></div><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-87818389933804180302010-12-27T19:21:00.000-08:002010-12-27T19:38:04.916-08:00<div style="text-align: justify; font-family: verdana;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;">SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH<br /></div><div style="text-align: center; font-weight: bold;">( SPIP)<br />Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM<br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">I. LATAR BELAKANG.</span><br />Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara telah membawa implikasi perlunya system pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan transparan. Semua dapat dicapai jika seluruh penyelenggara Negara dari tingkat pimpinan sampai ditingkat pelaksana mampu melaksanakannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban, dilaksanakan secara tertib, terkendali, efisien dan efektif.<br /><br />Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, memerintahkan pengaturan lebih lanjut ketentuan mengenai sistem pengendalian intern pemerintah secara menyeluruh dengan Peraturan Pemerintah, yakni “Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh”.<br /><br />Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini dilandasi pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang dapat memberi keyakinan memadai bahwa penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif, melaporkan pengelolaan keuangan negara secara andal, mengamankan aset negara, dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. <br /><br />Dengan latar belakang pemikiran tersebut, dikembangkan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang berfungsi sebagai pedoman dalam penyelenggaraan dan tolok ukur efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern, maka pada tanggal 28 Agustus 2008 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60/2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) untuk menjawab tantangan birokrasi pemerintahan di Indonesia dalam mengelola keuangan Negara.<br /><br />Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) tersebut Unsur-unsurnya mengacu pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yang meliputi : <br />a. Lingkungan pengendalian Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang sehat.<br /><br />b. Penilaian risiko Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.<br /><br />c. Kegiatan pengendalian Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa<br />arahan pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.<br /><br />d. Informasi dan komunikasi Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.<br /><br />e. Pemantauan Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti.<br /><br />Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern dilakukan pengawasan intern dan pembinaan penyelenggaraan SPIP. Pengawasan intern merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian intern yang berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.<br /><br />Untuk pelaksanaan tindak lanjut dari PP No. 60 tahun 2008 tentang SPIP tersebut, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 120/2536/SJ tanggal 25 Juni 2010, yang paling tidak berisi lima ietm pokok, yaitu meliputi :<br /><ol><li>Meningkatkan efektivitas SPIP di lingkungan pemerintah daerah, </li><li>Mempercepat penyusunan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota yang mengatur penyelenggaraan SPIP, </li><li>Membentuk Satgas SPIP dalam rangka menjaga keberlangsungan penyelenggaraan SPIP, </li><li>Pimpinan dan seluruh pegawai, agar mengikuti sosialisasi dan diklat SPIP, dan </li><li>Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan agar bekerja sama dan bersinergi dengan BPKP.</li></ol><br /><span style="font-weight: bold;">II. ESENSI DAN SPIRIT SPIP</span><br />Esensi dan Spirit yang mendasari PP yang diadopsi dari pengertian pengendalian intern menurut Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) yang merincikan pengendalian intern ke dalam 5 unsur yakni : lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi serta pemantauan/monitoring, yang kemudian dituangkan dalam Bab II PP No. 60 Tahun 2008 tersebut.<br /><br />Satu hal yang menarik dalam konsep pengendalian intern menurut COSO ini adalah munculnya Aspek soft control yaitu aspek si pelaku sistem yang tercermin dalam komponen lingkungan pengendalian, antara lain integritas dan nilai etika, filosofis manajemen dan gaya operasi. Ini terlihat pada Pasal 5 PP-SPIP, ditegaskan bahwa “ Penegakan integritas dan nilai etika sekurang-kurangnya dilakukan dengan : menyusun dan menerapkan aturan perilaku; memberikan keteladanan pelaksanaan aturan perilaku pada setiap tingkat pimpinan Instansi Pemerintah; menegakkan tindakan disiplin yang tepat atas penyimpangan ; dst. Penerapan integritas dan nilai etika perlu diterapkan suatu aturan perilaku yang berisi praktik yang dapat diterima dan praktik yang tidak dapat diterima termasuk benturan kepentingan.<br /><br />Sebagai contoh, batasan “ucapan terimakasih” yang boleh diterima dari pihak yang menerima jasa pelayan birokrasi pemerintah memang cukup sulit untuk ditentukan dan dibuktikan dalam praktiknya. Hal ini mendorong unsur soft control ini juga perlu dibarengi dengan mekanisme pengawasan dan penerapan sanksi apabila terjadi pelanggaran etika.<br /><br />Selain itu, diuraikan juga dalam pasal 7, mengenai aspek kepemimpinan yang kondusif antara lain komitmen pimpinan instansi pemerintah dalam mempertimbangkan risiko dalam pengambilan keputusan, menerapkan manajemen berbasis kinerja serta respon positif terhadap pelaporan terkait keuangan, penganggaran, program dan kegiatan.<br /><br />Untuk aspek hard controlnya, adalah berbagai kebijakan dan pedoman sebagai alat pengendali dalam manajemen pemerintahan. Salah satunya adalah kegiatan pengendalian yang terdiri dari beberapa item antara lain review atas kinerja instansi pemerintah, pengendalian atas pengelolaan sistem informasi, pengendalian fisik atas aset, penetapan dan review atas indikator dan ukuran kinerja serta pemisahan fungsi.<br /><br />PP nomor 60 tahun 2008 ini juga merupakan langkah konkrit untuk membentuk internal control system artinya pengawasan by system. Siapapun pemegang amanah birokrasi pemerintahan, maka dengan sendirinya sistem yang akan melakukan pengawasan guna mencapai visi, misi dan tujuan organisasi dalam arti sempit dan mencapai visi, misi dan tujuan bernegara dalam arti seluas-luasnya sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya.<br /><br />Ketika internal control system yang dijabarkan dalam SPIP bekerja secara otomatis melakukan fungsi pengawasan, maka setiap insan birokrasi pemerintah suka tidak suka akan bekerja “under control” /dibawah pengawasan system yang berlaku. Selanjutnya, apabila kondisi ini dipertahankan maka terciptalah internal control culture, artinya sistem pengendalian intern menjadi bagian dari budaya organisasi pemerintahan di Indonesia.<br /><br />SPIP penting untuk dipahami tidak saja oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) namun juga ke seluruh komponen pelaku manajemen pemerintahan, seluruh jajaran PNS tanpa terkecuali untuk melindungi agar tidak terjerumus ke dalam salah urus manajemen atau mal adiminsitrasi bahkan “terpeleset” ke ranah Tindak Pidana Korupsi.<br /><br />Melalui komitmen dan upaya nyata menerapkan SPIP secara konsisten dan berkesinambungan, kiranya SPIP menjadi suatu kebutuhan dan bahkan suatu budaya. Efektivitas SPIP sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya SPIP menjelma menjadi internal control culture organisasi pemerintahan di Indonesia guna menciptakan good governance dan clean government.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">III. PERKEMBANGAN SPIP</span><br />1. Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan ;<br />2. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat ;<br />3. Keputusan Menteri PAN No. 30 Tahun 1994 tentang petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri PAN No. KEP/46/M.PAN/2004: Unsur-unsur Waskat adalah : Pengorganisasian ; Personil ; Kebijakan ; Perencanaan ; Prosedur ; Pencatatan ; Pelaporan ; dan Reviu intern.<br />4. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">IV. DASAR HUKUM SPIP</span><br />Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara :<br />• Pasal 55 ayat (4) : Menteri/Pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBN telah diselenggarakan berdasarkan Sistem Pengendalian Intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).<br />• Pasal 58 ayat (1) dan (2) : Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintah mengatur dan menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern di lingkungan pemerintah secara menyeluruh. SPI ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">V. PENGERTIAN SPI DAN SPIP</span><br />1. <span style="font-weight: bold;">Sistem Pengendalian Intern (SPI)</span> adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan (PP 60/2008, Bab I Ps. 1 butir 1)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, (SPIP)</span>, adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. (PP 60/2008, Bab I Ps. 1 butir 2)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Pengawasan Intern</span> adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (Bab I Ps.1 angka 3).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">VI. UNSUR – UNSUR SPIP</span><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">A. Unsur Lingkungan Pengendalian.</span><br />Adalah kondisi dalam instansi pemerintah yang mempengaruhi efektifitas pengendalian intern. <br /><br />Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya, melalui :<br />1. penegakan integritas dan nilai etika;<br />2. komitmen terhadap kompetensi;<br />3. kepemimpinan yang kondusif;<br />4. pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;<br />5. pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;<br />6. penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia;<br />7. perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan<br />8. hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">B. Unsur Penilaian Resiko.</span><br />Adalah kegiatan penilaian atas kemungkinan kejadian yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran instansi pemerintah. Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penilaian risiko,<br />• Penilaian risiko terdiri atas:<br />1. Identifikasi Risiko; dan<br />2. Analisis Risiko.<br />• Dalam rangka penilaian risiko pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan:<br />1. Tujuan Instansi Pemerintah; dan<br />2. Tujuan pada tingkatan kegiatan.<br /><br />Tujuan Instansi Pemerintah; memuat pernyataan dan arahan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu, dan wajib dikomunikasikan kepada seluruh pegawai.<br /><br />Untuk mencapai tujuan Instansi Pemerintah pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan:<br />1. strategi operasional yang konsisten; dan<br />2. strategi manajemen terintegrasi dan rencana penilaian risiko.<br />Tujuan pada tingkatan kegiatan, sekurang-kurangnya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:<br />1. berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah;<br />2. saling melengkapi, saling menunjang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya;<br />3. relevan dengan seluruh kegiatan utama Instansi Pemerintah;<br />4. mengandung unsur kriteria pengukuran;<br />5. didukung sumber daya Instansi Pemerintah yang cukup; dan<br />6. melibatkan seluruh tingkat pejabat dalam proses penetapannya.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">C. Unsur Kegiatan Pengendalian.</span><br />Adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi resiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi resiko telah dilaksanakan secara efektif.<br /><br />Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan.<br /><br />• Karakteristik kegiatan Pengandalian<br />1. kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah;<br />2. kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko;<br />3. kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah;<br />4. kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis;<br />5. prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai yang ditetapkan secara tertulis; dan<br />6. kegiatan pengendalian dievaluasi secara teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan.<br /><br />• Kegiatan Pengendalian terdiri dari :<br />1. reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;<br />2. pembinaan sumber daya manusia;<br />3. pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;<br />4. pengendalian fisik atas aset;<br />5. penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;<br />6. pemisahan fungsi;<br />7. otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;<br />8. pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;<br />9. pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;<br />10. akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan<br />11. dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">D. Unsur Informasi Dan Komunikasi.</span><br /><span style="font-weight: bold;">Informasi</span> adalah data yang telah diolah yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Komunikasi</span> adalah proses penyampaian pesan atau informasi dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan umpan balik<br />Pimpinan Instansi Pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat, secara efektif.<br /><br />Untuk menyelenggarakan komunikasi yang efektif tersebut, pimpinan Instansi Pemerintah harus sekurang-kurangnya :<br />1. Menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan<br />2. Mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus ( Memanage Sistem Informasi ).<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">E. Unsur Pemantauan Pengendalian Intern.</span><br />Adalah proses penilaian atas mutu kinerja Sistem Pengendalian Intern dan proses yang memberikan keyakinan bahwa temuan audit dan evaluasi lainnya segera ditindaklanjuti.<br /><br />Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pemantauan Sistem Pengendalian Intern, melalui :<br />1. Pemantauan Berkelanjutan,<br />2. Evaluasi Terpisah, dan<br />3. Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">VII. PENGUATAN EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN SPIP</span><br />Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern di lingkungan masing-masing.<br /><br />Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas Sistem Pengendalian Intern dilakukan:<br />1. Pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara; dan<br />2. Pembinaan penyelenggaraan SPIP.<br /><br />Pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah, melalui :<br />1. Audit;<br />2. Reviu;<br />3. Evaluasi;<br />4. Pemantauan; dan<br />5. Kegiatan pengawasan lainnya.<br /><br />Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) tersebut, terdiri atas:<br />1. BPKP;<br />2. Inspektorat Jenderal;<br />3. Inspektorat Provinsi;<br />4. Inspektorat Kabupaten/Kota ;<br /><br />Pembinaan Penyelenggaraan SPIP. dilakukan oleh BPKP, meliputi:<br />1. Penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP;<br />2. Sosialisasi SPIP;<br />3. Pendidikan dan pelatihan SPIP;<br />4. Pembimbingan dan konsultansi SPIP; dan<br /><br /><span style="font-weight: bold;">DAFTAR KEPUSTAKAAN</span><br />1. UU No 1 tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara<br />2. PP No 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pemerintahan Intern Pemerintah<br />3. SE Kementerian Dalam Negeri No. 120/2536/SJ/ tanggal 25 juni 2010<br /><br />****** ( Malang, 15 Desember 2010 ) ******<br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-24033528129114114782010-12-26T21:12:00.002-08:002010-12-26T21:36:22.628-08:00<div style="font-weight: bold; text-align: center;"><span style="font-family: verdana;">KONSEPSI PELAYANAN PRIMA </span><br /><span style="font-family: verdana;">DALAM PELAYANAN PUBLIK</span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-family: verdana; font-style: italic;">Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM</span></span><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">I. PENDAHULUAN.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Tuntutan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, mendorong pemerintah untuk kembali memahami arti pentingnya suatu kualitas pelayanan serta pentingnya dilakukan perbaikan mutu pelayanan terhadap rakyatnya. Perbaikan pelayanan pemerintah ini, tidak saja ditujukan untuk memberi iklim kondusif bagi dunia usaha nasional dan meningkatkan daya tarik arus investasi ke Indonesia karena kredibilitas dan akuntabilitas pemerintahan yang meningkat, namun sudah merupakan kuwajiban pemerintah dalam penyediaan pelayanan yang berkualitas, yang merupakan bagian dari good governance, demokratisasi dan transparansi. Penyedian pelayanan publik yang berkuwalitas merupakan salah satu alat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang menurun akibat krisis global yang menerpa kita.</span><br /><span style="font-family: verdana;"></span><br /><span style="font-family: verdana;">Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia, antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak setiap warga Negara atas barang public dan jasa publik. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Pelayanan publik merupakan pilar dasar penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis kerakyatan. Upaya membangun pemahaman untuk mewujudkan pelayanan publik (public service) yang sesuai dengan koridor tata kelola pemerintahan yang baik (good govemane) dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dengan paradigma baru (the new paradigm) berubahnya birokrasi sebagai pangreh (penguasa) menjadi abdi (pelayan) masyarakat perlu dilakukan internalisasi terhadap setiap insan birokrat. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Melakukan optimalisasi pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan mengingat melakukan pembaharuan dan reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan public tersebut menyangkut pelbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang feodalistik dan Weberian, yang lebih mengedepankan kekuasaan berbasis struktur, ketimbang pendekatan fungsi dan sasaran kinerja, sehingga prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi masih sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. <br /><br />Namun harus diakui setelah sepuluh tahun lebih reformasi, sudah banyak perubahan dan peningkatan dalam pelayanan public, upaya kearah itu harus terus ditingkatkan dengan meningkatkan pemahaman konsep-konsep pelayanan prima bagi sumber daya manusia dalam birokrasi pemerimntahan.</span><br /> <br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">II. PENGEMBANGAN SDM APARATUR PELAYANAN.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Usaha peningkatan kinerja pelayanan oleh pemerintah/badan-badan public tanpa mengikut sertakan sumber daya aparatur birokrasinya akan sia-sia saja, karena justru unsur sumber daya manusia inilah yang banyak menentukan berhasil tidaknya program peningkatan pelayanan yang dilakukan, disamping faktor lainnya, seperti kinerja peraturan dan program kerjanya. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Sumber Daya Manusia, secara makro dapat diartikan semua manusia sebagai penduduk atau warga negara suatu Negara tertentu dalam batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan kerja. Sedang pengertia secara mikrio adalah manusia atau orang yang bekerja atau mejandi anggota organisasi yang biasa disebut dengan personil, pegawai, karyawan, pekerja yang merupakan asset dan motor penggerak organisasi. Dalam kontek usaha peningkatan pelayanan umum SDM secara makro maupun secara mikro harus tetap menjadi perhatian. SDM secara makro yaitu seluruh masyarakat (angkatan kerja) disiapkan menjadi masyarakat yang disiplin, taat asas, patuh terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku, sebagaimana yang dituntut kepada SDM Aparatur (secara mikro).</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Dalam kegiatan pelayanan umum, selama ini aparatur birokrasi sering dituduh sebagai penyebab timbulnya berbagai ketidakpuasan masyarakat terhadap bentuk pelayanan umum dari pemerintah. Kultur birokrasi pemerintahan yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan masyarakat ternyata belum dilakukan secara efektif. (jargon kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah, kadang masih sering ditemui di counter-counter pelayanan) . Sentralisme dalam birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi (Dwiyanto, 2000). Patologi birokrasi ini muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi struktur kekuasaan, bukannya kepada publik. Implikasinya aparat yang seharusnya melayani masyarakat malah justru aparatlah yang minta dilayani.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Untuk menciptakan pelayanan yang baik dan berkualitas, menuntut aparatur pelayanan umum memiliki visi inovatif, professional, serta responsibility yang tinggi untuk menciptakan system pelayanan yang lebih adil, transparan, demokratis dan lebih dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat. Untuk hal ini, Kumorotomo (1996) menyatakan, yang terpenting dalam peningkatan kinerja pelayanan umum adalah menegakkan dan menguatkan dasar fondasi aparat birokrasi pada prinsip-prinsip moral dan etika. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Posisi penting yang dimiliki oleh sumberdaya aparatur pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan umum oleh badan-badan public/pemerintah, karena aparat birokrasi merupakan kepanjangan tangan dari seluruh kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Dengan melakukan penegakkan dan penguatan melalui pendekatan prinsip-prinsip moral dan etika yang mengikat pada setiap aparatur penyelenggara pelayanan umum, bahwa setiap orang yang menerima suatu pekerjaan harus bersedia melakukan dengan niatan yang baik dan menerima tanggung jawab yang menyertainya serta mau menanggung sebagai konsekuensi atas setiap kegagalan yang mungkin terjadi. Tak seorangpun dapat menghindar dari pernyataan bahwa para aparatur birokrasi harus melakukan apa yang menjadi harapan rakyat, menaati kaidah hukum, menaruh perhatian terhadap keprihatinan dan masalah-masalah warga negara, dan mengikuti pola perilaku etis tanpa cacat.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Menyandarkan pada rasionalitas saja terkadang tidak mampu untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan hakiki orang banyak dan tidak jarang keputusan-keputusan yang baik harus menyertakan pengalaman, intuisi, dan hati nurani. Kumorotomo, mengungkapkan bahwa, bagaimanapun juga falsafah, kearifan, dan niat baik akan menjadi penopang yang paling kokoh bagi para administrator untuk menjaga kewibawaan dan kredibilitas mereka. Lebih dari itu, dalam persoalan apapun sepanjang menyangkut hubungan antar dua atau lebih individu, pertanyaan-pertanyaan yang mengandung nilai-nilai filosofis dan moral akan senantiasa relevan (Kumorotomo, 1996:136).<br /><br />Adalah merupakan sebuah keharusan bagi aparat pemerintah untuk lebih meningkatkan kesadaran akan moralitasnya, mengingat interaksi antar individu yang berlangsung pada proses pelayanan, memiliki kerawanan yang berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, illegal cost, dan interes-inters individu. Walau dalam kondisi empiris, memasukkan nilai-nilai moral dan etika ke dalam manajemen pelayanan umum/publik merupakan hal yang tidak mudah, karena berkaitan dengan kultur, pola pikir (mindset), system yang sudah berlangsung lama dan sudah menjadi norma dan perilaku aparatur pemerintah, meski semua ini sangat tergantung dari aparat itu sendiri. Disinilah pentingnya pelibatan SDM-aparatur pelayanan dalam setiap upaya dalam program peningkatan kinerja pelayanan public. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Menurut Stephen R. Covey, moral dan etika kepribadian manusia lebih memfokuskan pada pengintegrasian prinsip integritas, kerendahan hati, kesetiaan, kerajinan, pembatasan diri, keberanian, keadilan, kesabaran, kesederhanaan, kesopanan, dan hukum utama, yakni berbuatlah kepada orang lain seperti yang anda kehendaki dan harapkan orang lain berbuat dan berperilaku kepada anda.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Penerapan etika kepribadian ini sering kurang berhasil karena proses yang terjadi adalah semacam pemaksaan dari luar ke dalam diri manusia. Stephen Covey menawarkan proses yang sebaliknya, seharusnya proses terjadi bukan dari luar ke adalam ( pemaksaan ) melainkan dari dalam menuju keluar ( kesadaran ), yang disebut sebagai etika karakter. Keduanya merupakan paradigma sosial.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Pendekatan dari dalam ke luar adalah satu proses untuk kematangan publik (public victory) yang harus dicapai melalui kematangan pribadi ( private victory ) terlebih dahulu. Akan sia-sia memperbaiki hubungan dengan orang lain, sebelum mampu memperbaiki hubungan dengan diri sendiri. Ini merupakan proses yang berbentuk spiral pertumbuhan ke atas yang menyebabkan bentuk yang semakin tinggi dari ketergantungan (dependence), menjadi mandiri (Independence) dan berakhir menjadi saling ketergantungan (interdependence)</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">III. PELAYANAN.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Kedekatan dan kepercayaan hubungan produsen dengan pelanggan (yang melayani dan yang dilayani) hanya dapat dibina melalui kegiatan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhanya Oleh karena itu dunia usaha harus terus berpacu mengembangkan pelayanan yang semakin hari semakin baik, karena bagi dunia usaha kepercayaan pelanggan merupakan faktor produksi yang utama. Demikian juga lembaga-lembaga public , reformasi telah mendorong kuatnya tuntutan public terhadap peningkatan dan transparansi pelayanan public yang diberikan oleh badan-badan public (organisasi pemerintah).</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Pengertian pelayanan, menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan / mengurus apa yang diperlukan orang lain. Ketika berlangsung kegiatan pelayanan, ada sesuatu yang disampaikan, disajikan, atau dilakukan oleh pihak yang melayani kepada pihak yang dilayani, sesuatu itu disebut layanan. Layanan dapat berupa barang, atau berupa jasa, atau berupa barang yang tak tampak (intangible). Misalnya informasi yang disampaikan secara lisan kepada pelanggan yang membutuhkannya. Dalam pelayanan yang disebut konsumen (customer) adalah masyarakat yang mendapat manfaat dari aktivitas yang dilakukan oleh organisasi atau petugas dari organisasi pemberi layanan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Agar dapat memberikan pelayanan yang sungguh-sungguh memuaskan adalah harus dikenali dulu karakteristik pelanggannya. Kecerdikan dan ketepatan dalam mengenal karakteristik pelanggan merupakan prasyarat agar dapat menyusun sistem pelayanan bermutu tinggi.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Menurut status keterlibatnnya dengan lembaga yang melayani dibedakan dua golongan pelanggan, yaitu :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Pelanggan eksternal, yaitu semua pelanggan yang berasal dari luar organisasi.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pelanggan internal, yaitu semua pelanggan yang berasal dari dalam organisasi yang memperoleh pelayanan dari unit kita.</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">Sedang menurut bentuk dan akibat dari kegiatan pelayanan yang kita berikan kepada pelanggan, dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu </span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Pelanggan langsung, yaitu semua pelanggan yang secara langsung menerima layanan dari organisasi kita.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pelanggan tak langsung, yaitu pihak-pihak yang secara tidak langsung menerima layanan dari organisasi kita, tetapi ikut menerima dampak pelayanan dan pengaruh yang menentukan terhadap kelangsungan hidup pelayanan organisasi kita.</span></li></ul><span style="font-family: verdana;">Sondang P. Siagian mengatakan, teori klasik ilmu administrasi negara mengajarkan bahwa pemerintahan negara pada hakikatnya menyelenggarakan dua jenis fungsi utama, yaitu fungsi pengaturan dan fungsi pelayanan. Fungsi pengaturan biasanya dikaitkan dengan hakikat negara modern sebagai suatu negara hukum (legal state) sedangkan fungsi pelayanan dikaitkan dengan hakikat negara sebagai suatu negara kesejahteraan (welfare state). Baik fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan menyangkut semua segi kehidupan dan penghidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan pelaksanaanya dipercayakan kepada aparatur pemerintah tertentu yang secara fungsional bertanggung jawab atas bidang-bidang tertentu kedua fungsi tersebut (Siagian, 1992: 128-129). </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara no. 81 tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum, disebutkan pengertian pelayanan umum sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat maupun di daerah dan di lingkungan BUMN/BUMD, dalam bentuk barang/jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Moenir, 1992:34).</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-weight: bold;">IV. PELAYANAN PRIMA.</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Layanan dan dukungan kepada pelanggan dapat bermakna sebagai suatu bentuk layanan yang memberikan kepuasan bagi pelanggannya, selalu dekat dengan pelanggan sehingga kesan yang menyenangkan senantiasa diingat oleh pelanggannya. Selain itu membangun kesan yang dapat memberi citra positif di mata pelanggan karena jasa pelayanan yang diberikan dengan biaya yang terjangkau oleh pelanggan, membuat pelanggan termotivasi untuk ikut bekerjasama dalam proses pelyanan yang prima.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Pelayanan Prima merupakan terjemahan dari istilah “Service Excellent” yang secara harafiah berarti pelayanan yang sangat baik atau pelayanan yang terbaik, karena sesuai dengan standard pelayanan yang berlaku atau dimiliki oleh instansi yang memberikan pelayanan. Apabila instansi belum memiliki standard perlayanan maka pelayanan disebut sangat baik atau terbaik atau akan menjadi prima, manakala dapat atau mampu memuaskan pihak yang dilayani (pelanggan). Jadi pelayanan prima dalam hal ini sesuai dengan harapan pelanggan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Penerapan konsep pelayanan prima di lingkungan aparatur pemerintahan seperti dijelaskan dalam keputusan Menpan nomor 81 / 1995, yang juga dipertegas dalam instruksi Presiden nomor I / 1995 tentang peningkatan kualitas aparatur pemerintahan kepada masyarakat. Ditegaskan pelayanan yang berkualitas terhadap masyarakat adalah yang sesuai dengan sendi-sendi sebagai berikut:</span><br /><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic;"><br />1. Kesederhanaan,</span> dalam arti bahwa prosedur / tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit serta mudah dipahami dan dilaksanakan.</span><span style="font-family: verdana;"></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic;"><br /><br />2. Kejelasan dan kepastian</span>, menyangkut :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Prosedur / tata cara pelayanan umum</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Rincian biaya / tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti penerimaan permohonan / kelengkapannya sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Pejabat yang menerima keluhan pelanggan (masyarakat).</span></li></ul><span style="font-family: verdana;">3. <span style="font-style: italic;">Keamanan,</span> dalam arti proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />4. <span style="font-style: italic;">Keterbukaan,</span> dalam arti bahwa prosedur / tata cara, persyaratan, satuan kerja / pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya / tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />5. <span style="font-style: italic;">Efisien,</span> meliputi persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan. Juga dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan , dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja / instansi pemerintah lain yang terkait.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />6. <span style="font-style: italic;">Ekonomis</span>, memperhatikan :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">nilai barang atau jasa pelayanan umum dengan tidak menuntut biaya yang tinggi diluar kewajaran</span></li><li><span style="font-family: verdana;">kondisi dan kemampuan pelanggan (masyarakat) untuk membayar secara umum</span></li><li><span style="font-family: verdana;">ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku </span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">7. <span style="font-style: italic;">Keadilan yang merata</span> dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />8. <span style="font-style: italic;">Ketepatan waktu,</span> dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam periode waktu yang telah ditentukan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pelayanan prima sebagai pelayanan yang terbaik yang dapat diberikan kepada masyarakat. Tujuan dari pelayanan prima adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk mencapai hal itu diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan atau keinginan pelanggan. Karena itu yang disebut mutu pelayanan adalah kesesuaian antara harapan atau keinginan dengan kenyataan yang diberikan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Strategi pelayanan prima, yang mengacu pada kepuasan / keinginan pelanggan antara lain dapat ditempuh melalui :</span><br /><span style="font-family: verdana;">1. Implementasi visi, misi pelayanan pada semua level yang terkait dengan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat /pelanggan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />2. Hakekat pelayanan prima disepakati untuk dilaksanakan oleh semua apartur yang memberikan pelayanan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />3. Bahwa dalam pelaksanaan pelayanan prima, didukung oleh sistem dan lingkungan yang dapat memotivasi anggota organisasi untuk melaksanakan pelayanan prima.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />4. Pelaksanaan prima aparatur pemerintah didukung oleh sumber daya manusia, dana, dan teknologi canggih yang tepat guna.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />5. Pelayanan prima dapat berhasil guna, apabila organisasi memberikan standar pelayanan prima yang dapat dijadikan pedoman dalam melayani, dan panduan bagi pelanggan yang memerlukan jasa pelayanan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pemakaian istilah pelayanan dalam standar pelayanan prima pada organisasi pemerintah pada umumnya, perlu dipahami secara serius karena pada dasarnya itu merupakan fitrah aparatur pemerintah ( public servan ) untuk melayani masyarakat. Apabila dalam dunia bisnis yang sifatnya profit oriented bersemboyan “ pelayanan adalah awal pembelian “ maka bagi organisasi non profit seperti halnya pemerintahan perlu berkeyakinan bahwa “ pelayanan adalah awal dari pemberdayaan “ </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Dengan demikian signifikansi pendekatan visi, misi dan standar pelayanan prima bagi organisasi terletak pada hal-hal sebagai berikut :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Cita-cita masa depan suatu organisasi harus dicanangkan dalam visi dan misi yang mampu menggerakkan ( to energize ) tumbuhya : kebanggan diri, dan yang selalu ‘haus’ akan pembaharuan dan perbaikan.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Organisasi berkepentingan pada pelayanan prima karena merupakan persoalan kelangsungan organisasi.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Organisasi berkepentingan pada pelayanan prima, karena customer yang kita layani merupakan unsur yang berkualifikasi pembeli (dalam dunia bisnis) dan publik yang harus diberdayakan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan disegala bidang.</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">Sendi-sendi keprimaan dalam menetapkan standar pelayanan prima dapat dilakukan melalui :</span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;">Keprimaan berawal dari adanya rumusan organisasi / instansi / negara.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Visi dijabarkan secara tuntas ke dalam misi-misi organisasi yang terukur.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Misi dijabarkan dalam standar pelayanan prima. Rincian kegiatannya yang secara tuntas menghasilkan output dengan mengacu pada parameter keprimaan teknis operasional seperti :</span></li></ol><span style="font-family: verdana;">a. Kesederhanaan </span><br /><span style="font-family: verdana;">b. Kejelasan dan kepastian</span><br /><span style="font-family: verdana;">c. Akuntabel ( tanggung jawab )</span><br /><span style="font-family: verdana;">d. Kemanan ( security )</span><br /><span style="font-family: verdana;">e. Keterbukaan ( transparancy )</span><br /><span style="font-family: verdana;">f. Efisiensi ( economis )</span><br /><span style="font-family: verdana;">g. Efektifitas</span><br /><span style="font-family: verdana;">h. Adil dan merata</span><br /><span style="font-family: verdana;">i. Ketepatan ( accuracy )</span><br /><span style="font-family: verdana;">j. Kemudahan ( accessibility ) k. Kesopanan ( courtesy )</span><br /><span style="font-family: verdana;">l. Kenyamanan ( confort )</span><br /><span style="font-family: verdana;">m. Kemampuan ( competence )</span><br /><span style="font-family: verdana;">n. Dapat dipercaya ( credibilty / reliability )</span><br /><span style="font-family: verdana;">o. Keandalan ( dependability )</span><br /><span style="font-family: verdana;">p. Fleksibelity</span><br /><span style="font-family: verdana;">q. Kejujuran ( honesty )</span><br /><span style="font-family: verdana;">r. Kesegaran / kesigapan ( promptness )</span><br /><span style="font-family: verdana;">s. Responsibility</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pelayanan yang smart merupakan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan (public) dengan penuh perhatian karena pelanggan adalah orang yang harus kita penuhi keinginannya. Pelanggan bukanlah pengganggu pekerjaan kita, melainkan merekalah yang menjadi tujuan kita bekerja. Karena itu, kepuasan pelanggan adalah tujuan kita dalam memberikan pelayanan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Inti dari sasaran pelayanan <span style="font-weight: bold;">SMART</span>, adalah sasaran pelayanan yang : <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Spesivic</span> ( spesifik/memiliki kekhususan ) ; <span style="font-style: italic; font-weight: bold;"> Measurable</span> ( dapat diukur ) , <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Achievable </span>( dapat dicapai ) , <span style="font-style: italic; font-weight: bold;"> Relevant </span> ( sesuai dengan kepentingan / kewenangan dan kepentingan pelanggan ), dan <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Time</span> (jelas penentuan batas jangka waktunya)</span><br /><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">V. PELAYANAN PUBLIK</span><br /><span style="font-family: verdana;">Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Menurut UU Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan Publik, mendefinisikan Pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedang organisasi penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Organisasi Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:</span><br /><span style="font-family: verdana;">1. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan milik swasta.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />2. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi menjadi : </span><br /><span style="font-family: verdana;">a) Yang bersifat primer dan,adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. </span><br /><span style="font-family: verdana;">b) Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan UU Nomor 25 tahun 2009, harus harus dilakukan dengan asas :</span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Asas kepentingan umum,</span> artinya pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan. </span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Asas kesamaan hak, </span>berarti jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan. </span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Asas keseimbangan hak dan kewajiban</span> adalah pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. </span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Asas keprofesionalan</span> adalah pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas. </span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Asas partisipatif </span>adalah peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. </span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Asas persamaan perlakuan/tidak diskriminatif</span> adalah setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil. </span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Asas keterbukaan</span> adalah setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan. </span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Asas akuntabilitas </span>adalah proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. </span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Asas fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan</span> maksudnya adalah pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.</span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Asas ketepatan waktu</span> maksudnya adalah penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan, dan </span></li><li><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Asas kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan</span> adalah setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.</span></li></ol><span style="font-family: verdana;"><br />Masayarakat sebagai customer yang harus dilayani dalam penyelenggaraan pelayanan public mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut :</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Hak-Hak Masyarakat dalam peyalanan public</span>, adalah :</span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;">mengetahui kebenaran isi standar pelayanan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">memberitahukan kepada Pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">mengadukan Pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada Penyelenggara dan ombudsman;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">mengadukan Penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina Penyelenggara dan ombudsman; dan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.</span></li></ol><br /><span style="font-family: verdana;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Sedang kewajiban masyarakat</span>, meliputi :</span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;">mematuhi dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan dalam standar pelayanan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">ikut menjaga terpeliharanya sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik; dan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.</span></li></ol><br /><span style="font-family: verdana;">Untuk mengoptimalkan pelayanan public dapat dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan public oleh penyelenggara pelayanan public sebagai barometer pengukuran kinerja peleyanan public dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungannya. Dalam penyusunannya harus melibatkan masyarakat sebagai obyek dari kegiatan pelayanan public tersebut. <br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Komponen Standar Pelayanan</span> tersebut sekuarng-kurangnya meliputi :</span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;">dasar hukum;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">persyaratan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">sistem, mekanisme, dan prosedur;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">jangka waktu penyelesaian;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">biaya/tarif;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">produk pelayanan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">sarana, prasarana, dan/atau fasilitas;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">kompetensi Pelaksana;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">pengawasan internal;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">penanganan pengaduan, saran, dan masukan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">jumlah Pelaksana;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">evaluasi kinerja Pelaksana.</span></li></ol><br /><span style="font-family: verdana;">Keberhasilan dalam meningkatkan optimalisasi pelayanan public juga dipengaruhi oleh sikap dan perilaku pelaksana pelayanan public. Undang-undang memberikan penegasan mengenai perilaku <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">pelaksana pelayanan public harus bersikap </span>:</span><br /><ol><li><span style="font-family: verdana;">adil dan tidak diskriminatif;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">cermat;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">santun dan ramah;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">profesional;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">tidak mempersulit;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">sesuai dengan kepantasan; dan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">tidak menyimpang dari prosedur.</span></li></ol><br /><span style="font-family: verdana;">Untuk mengawasi apakah badan-badan public telah menyelenggarakan pelayanan publiknya secara baik maka dilakukan mekanisme pengawasan baik secara internal maupun eksternal. Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.</span></li></ul><br /><span style="font-family: verdana;">Sedang pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;</span></li><li><span style="font-family: verdana;">pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.</span></li></ul><span style="font-family: verdana;"><br />Dalam pengukuran kinerja pelayanan public dapat digunakan indikator-indikator pengukuran kinerja pelayanan organisasi publik yang meliputi : Responsivitas, Responsibilitas, Akuntabilitas, Produktifitas dan Kepuasan pelanggan. </span><br /><span style="font-family: verdana; font-style: italic; font-weight: bold;">1. Responsivitas, </span><br /><span style="font-family: verdana;">Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">2. Responsibilitas.</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit (Lenvine, 1990). Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">3. Akuntabilitas,</span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Konsep akuntabilitas publik digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">4. Produktifitas, </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. Dan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">5. Kepuasan Pelanggan, </span></span><br /><span style="font-family: verdana;">Kehadiran organisasi publik adalah suatu alat untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik. Jadi kinerja pelayanan publik dapat dikatakan berhasil apabila ia mampu mewujudkan apa yang menjadi tugas dan fungsi utama dari organisasi yang bersangkutan. </span><br /><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">VI. PENUTUP.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Pelayanan publik merupakan pilar dasar penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis kerakyatan. Salah tuntutan reformasi secara substansial adalah untuk mewujudkan pelayanan publik (public service) yang sesuai dengan koridor tata kelola pemerintahan yang balk (good govemanc), Pelayan-peiayan publik (public seivicer) yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dengan paradigma baru (the new paradigm) berubahnya birokrasi sebagai dari pangreh menjadi abdi alias pelayan masyarakat. Untuk itulah harus diupayakan terus untuk meneguhkan konstruksi birokrasi sebagai pelayan publik civil servants yang berposisi sebagai pengabdi rakyat. </span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparatur pernerintah dewasa ini masih ditemukan banyak kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat dalam pemberian pelayanan terhadap masyarakat masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui media massa sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat salah satu fungsi pemerintah adalah melayani masyarakat maka pernerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan.</span><br /><span style="font-family: verdana;"><br />Pemahaman terhadap konsep pelayanan prima pada setiap penyelenggara pelayanan public sangat m,utlak diperlukan untuk meneguhkan sikap paerilaku dan etika dalam memberikan pelayanan public yang menjadi cerminan dari integritas dan akuntabilitas badan-badan public yang bersangkutan dalam mewujudkan cita-cita reformasi. ***** (Malang, 20 Desember 2010)</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-weight: bold;">Referensi :</span><br /><ul><li><span style="font-family: verdana;">Kepmenpan No. 81 Tahun 1993 tentang pedoman Tata Lakasana Pelayanan Umum.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">INPRES No. 1 Tahun 1995 tentang Kualitas Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada masyarakat</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56 / MK. Waspan / 6/ 1998, </span></li><li><span style="font-family: verdana;">Surat Menkowasbangpan No. 145 / MK / Waspan/ 3 / 1999, ttg Peningkatan kualitas pelayanan</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Keputusan Menpan No. 63 / Kep / M. Pan / 2003</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kepmenpan No. 24 / M. PAN / 2004 tentang pedoman umum penyusunan Indeks kepuasan masyarakat unit pelayanan Instansi Pemerintah.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Kepmenpan No. 26 / M. Pan / 2004, tentang Juknis transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan public.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Permendagri No. 24 tahun 2006 tentang pedoman penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Dr. Tina Malinda, Dra.MM,. Konsentrasi Manajemen Sumberdaya, Badan Penerbit STIE Mahardika Surabaya, 2007.</span></li><li><span style="font-family: verdana;">Samprana Lukman, Drs. MA, dan Sugiyanto, SH, MPA, Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima, LAN-RI, Jakarta 2001.</span></li></ul><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;">**********</span><br /></div><br /><br /><br /><br /><span style="font-family: verdana;"></span><br /></div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-68826538318849893632010-12-23T00:16:00.001-08:002010-12-23T01:01:51.008-08:00<div style="text-align: justify;font-family:verdana;"><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">KESETIAKAWANAN SOSIAL </span><br /><span style="font-weight: bold;">DITENGAH UJIAN JAMAN.</span><br /></div><br /><div style="text-align: center; font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" >Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM</span><br /></div><br />Setiap tanggal 20 Desember kita bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN), demikian juga 20 Desember 2010 ini. Semua itu dimaksudkan untuk mengingatkan dan menyegarkan kembali semangat dan jiwa bangsa Indonesia akan kesetiakawanan dan kepedulian social terhadap sesama anggota keluarga besar bangsa Indonesia, bahkan sesama umat manusia yang ada dimuka bumi ini.<br /><br />Momentum tanggal 20 Desember 1948, sebagai goresan tinta emas dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, menginspirasi untuk terus ditumbuh suburkan semangat dan jiwa kesetiakawanan social ini, karena perjalanan waktu telah membuktikan, dengan semangat kesetiakawanan social saat itu, yang diwujudkan dalam kebersamaan dan kemanunggalan tentara dan rakyat sehari setelah agresi tentara kolonial Belanda tanggal 19 Desember 1948 menyerbu dan menduduki ibukota negara yang pada saat itu Yogyakarta. Rakyat memberikan apa saja yang mereka punya untuk mendukung militer. Rakyat dari semua golongan turut bertempur, menolong, dan merawat para prajurit yang terbunuh maupun terluka. Sementara itu, kaum militer dengan amat sadar membangun dan mengawal kesetiaan nurani untuk selalu dekat dan mengayomi rakyat.<br /><br />Kolaborasi dua kekuatan besar milik bangsa Indonesia yakni tentara (TNI) dan rakyat, kekuatan militer dan kekuatan sipil, yang heroic dengan semangat patriotic, bahu membahu bersatu padu dengan satu tekad, mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, membuktikan kembali keampuhannya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang monumental bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republic Indonesia, dengan kembalinya Yogjakarta kepangkuan ibu pertiwi.<br /><br />Kesetiakawanan yang tumbuh dari nurani yang bersih dan tulus, dilandasi rasa cinta tanah air yang telah merdeka, telah menumbuhkan solidaritas bangsa yang sangat dahsyat, dan menjadi kekuatan untuk membebaskan tanah air dari cengkraman aggressor kolonial. Kebersamaan dari seluruh komponen bangsa, kekuatan rakyat sipil dari seluruh lapisan yang mampu menembus batas geografis, etnis, golongan, agama dan ras bersatu dengan kekuatan militer, kembali sejarah membuktikan telah mampu mempertahankan dan terus mengisi alam kemerdekaan bangsa Indonesia ini.<br /><br />Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial merupakan potensi spritual, suasana psikis yang membangun komitmen untuk hidup berdampingan secara sinergi, saling bahu membahu, tolong menolong, saling berempati, saling menghormati, yang merupakan jati diri bangsa. Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan nurani bangsa Indonesia yang tumbuh jauh sebelum Indonesia merdeka, yang tervisualisasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan, tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.<br /><br />Diabad ini, ketika kita memperingati HKSN yang ke-62 tahun 2010 ada kegalauan mengenai semangat kesetiakawanan social bangsa Indonesia. Memang, dihati nurani rakyat Indonesia yang paling dalam, rasa kesetiakawanan social ini masih tetap bersemayam, ini dapat dilihat bila ketika bangsa Indonesia sedang dilanda musibah seperti adanya bencana alam, maka dengan spontan rakyat Indonesia, sipil dan militer langsung bergerak untuk membantu apa saja yang bisa dibantu. Tetapi kita sangat tidak berharap, Allah SWT memperingatkan kita untuk saling tolong-menolong harus dengan mengirimkan bencana alam, gempa bumi, banjir, gunung meletus, tanah longsor dan ambles, kebakaran, yang susul-menyusul menambah duka dan kepedihan yang mendalam bagi rakyat bangsa ini dan menumbuhkan bukan saja korban materi dan nyawa, juga ketakutan social.<br /><br />Firman Allah SWT : <span style="font-style: italic;">“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”</span> (QS. Al-Israa’ /17:16)<br /><br />Akibat pengaruh arus globalisasi dan liberalisasi bisa saja jiwa kesetiakawanan social ini tak punya ruang untuk muncul kepermukaan seperti dulu lagi. Sikap hidup individualistis yang terbawa oleh globalisasi dan arus deras komunikasi dan informasi yang tersuguh setiap hari dengan adanya kebebasan informasi, telah mampu menggerus nilai-nilai dan akar kultural/budaya bangsa seperti kegotong-royongan, kekeluargaan, saling asih-asah dan asuh yang sudah dianggap kuno ini.<br /><br />Kegalauan ini sangat beralasan kalau kita melihat wajah buram bangsa pada akhir-akhir ini yang sering dilansir oleh media televisi. Fakta social memperlihatkan betapa eskalasi konflik social semakin memupuskan rasa kesetiakawanan social. Konflik social telah merambah kepada semua lapisan dan komunitas. Kondisi paradokisme antara keadaan diawal tumbuhnya kesetaiakawanan social 62 tahun yang lalu, yaitu bersatunya kekuatan social bangsa (masyarakat militer dan sipil, tidak terbatasi oleh factor geografis, etnis, suku, agama, ras, golongan, status ekonomi, politik dan budaya) dengan kondisi kekinian yang justru kekuatan social bangsa tersebut saling berhadapan dalam suasana panasnya konflik horizontal, merupakan kengerian social yang menjadi momok terbunuhnya semangat dan jiwa kesetiakawanan social bangsa ini.<br /><br />Sisi lain, pemicu memudarnya semangat dan jiwa kesetiakawanan social bisa tumbuh dan datang dari masalah-masalah social yang dihadapi bangsa ini, seperti masalah kemiskinan. Kemiskinan bisa menjadi penyebab bagi erosinya nilai kesetiakawanan sosial nasional. Kemiskinan yang tak kunjung usai penyelesaiannya menjadikan penyebab bagi memudarnya kepercayaan sosial (<span style="font-style: italic;">social trust</span>), baik kepercayaan antar warga bangsa maupun kepercayaan antara masyarakat dengan pemimpinnya, sehingga menjadi pemicu mudahnya terjadi konflik social. Disparitas atau kesenjangan antara miskin dan kaya, pendidikan-tidak berpendidikan yang sangat tinggi juga akan menjadi pendorong melemahnya semangat dan jiwa kesetiakawanan social bangsa ini.<br /><br />Mengingat Kesetiakawanan Sosial merupakan modal sosial (<span style="font-style: italic;">Social Capital</span>) dan nilai dasar dalam kita mewujutkan Kesejahteraan Sosial, sebagaimana diamanatkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, kiranya berkewajiban bagi kita semua Bangsa Indonesia untuk terus menyegarkan-menumbuh-kembangkan dan merevitalisasi semangat dan jiwa kesetiakawanan social ini dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat yang adil dan sejahtera dan sejahtera yang berkeadilan.<br /><br />Merevitalisasi kesetiakawanan social yang merupakan modal social dan nilai dasar kesejahteraan sosial, disesuaikan dengan kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita. Keadaan saat ini, kita sudah tidak lagi berhadapan dengan aggressor colonial Belanda, juga tidak melakukan perjuangan secara fisik untuk mengusir dan melawan penjajah. Yang kita hadapai sekarang, yang juga tidak kalah penting, dan membutuhkan kebersamaan serta kesetiakawanan dari seluruh kekuatan social bangsa, adalah mengatasi permasalahan-permasalahan social seperti kemiskinan, kebodohan (karena mahalnya biaya pendidikan), keterlantaran, konflik SARA, dan masalah-masalah social yang semakin kompleks ini.<br /><br />Revitalaisasi nilai dan akar kultur bangsa yang terkandung dalam kesetiakawanan social yang sudah terbangun sejak bangsa ini ada, dan telah mampu menjadi daya rekat/kohesitas dan integrasi social, kiranya perlu terus dilakukan. Masalahnya, memang tidak mudah mengaktualisasi nilai-nilai kesetiakawanan social ditengah era reformasi yang mendorong adanya transparansi, keterbukaan informasi, dan demokratisasi, serta dalam arus perubahan sekarang ini.<br /><br />Seperti yang diungkap sebelumnya, bahwa dalam nurani yang paling dalam setiap insan bangsa Indonesia, memiliki jiwa dan roh kesetiakawanan social. Tinggal bagaimana kita semua ini mampu memberi ruang dan waktu bagi aktualisasi dari rasa kesetiakawanan social tersebut. Nilai-nilai dasar Kesetiakawanan Sosial yang sudah ada dalam kehidupan masyarakat, seperti tergambarkan dalam kehidupan bermasyarakat yang diliputi penuh dengan suasana : religius, kerukunan, gotong royong, tolong menolong tanpa pamrih, kekeluargaan, dan solidaritas antar sesama, perlu direvitalisasi dan ditumbuh suburkan oleh kita, oleh semua dan oleh para pemimpin yang mendapat amanah untuk mengatur bangsa dan Negara ini. Meskipun kita tidak bisa menafikan bahwa ada juga sebagian masyarakat yang bersifat individualistis (<span style="font-style: italic;">self interest)</span>, sebagai kenyataan social dan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari yang normal dari masyarakat. Kita sangat mendambakan terwujudnya tiada hari tanpa kesetiakawanan social (<span style="font-style: italic; font-weight: bold;">there is no day whithout solidarity</span>) bagi bangsa Indonesia dimasa mendatang. Itu artinya untuk ber-kesetiakawanan social tidak perlu menunggu ada bencana alam yang menimpa kita, sekecil apapun kita akan tetap peduli dengan sesama. Karena <span style="font-style: italic;">“kawan sejati memang bikin hidup berarti, teman setia memang bikin hidup menjadi ceria, sahabat sehati memang bikin hidup menjadi berseri, tetangga dan kolega membuat hidup ini lebih berwarna, peduli dengan sesama membuat kehadirannya memberi makna"</span>. Semoga !!! *** ( Malang, 20 Desember 2010 )<br /><br /></div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-15035274413609039472010-12-21T22:33:00.010-08:002010-12-21T22:59:50.637-08:00<div style="text-align: justify;font-family:verdana;"><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">KOMUNIKASI EFEKTIF PEKSOS</span><br /><span style="font-weight: bold;">DALAM PENYULUHAN DAN BIMBINGAN SOSIAL</span><br /><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" ><span style="font-style: italic;"><br />Oleh : Drs. Lamsari Sitomnpul, MM</span></span><br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">I. PENDAHULUAN.</span><br />Kita pernah merasa bahwa lawan bicara kita kurang perhatian, tidak ada respon atau ogah-ogahan mendengarkan pembicaraan kita, baik dalam interaksi antar personal, bimbingan, penyuluhan maupun komunikasi dalam kelompok. Kita juga sering merasa stress dan frustasi karena orang yang berhubungan dengan kita, atau kelayan yang kita layani tidak juga mengerti dan memahami yang kita maksudkan, padahal kita sudah merasa berulang-ulang menginformasikan atau menjelaskan baik dalam penyluhan maupun bimbingan, agar kelayan melakukan tindakan seperti yang kita harapkan. Ada apa dengan ini semua ? Kalau itu semua pernah kita alami, berarti kita sedang berurusan dengan masalah komunikasi.<br /><br />Komunikasi, mungkin sudah tidak asing bagi kita, bahkan untuk mendefinisikannya tidaklah sulit, bahkan secara lancar dapat kita uraian. Dan justru disinilah permasalahannya, kata komunikasi sudah terbiasa kita ucapkan, sudah biasa menjadi perbincangan keseharian, namun mungkin ada permasalahan dalam memaknainya, seperti halnya urusan makan yang setiap hari (bahkan tiga kali sehari) kita lakukan, tetapi kita jarang mempersoalkan tentang asupan gizinya, sering lebih pada enak dan kenyang, tetapi setelah ada masalah diperut kita, atau ada perasaan tidak enak pada badan kita baru sadar bahwa ada yang salah pada makan kita. Begitu juga terkait hal komunikasi ini, begitu ada kemacetan dalam berinteraksi, baru sadar mungkin ada yang salah dalam soal komunikasi ini.<br /><br />Komunikasi merupakan bagian yang sangat vital dalam berinteraksi dengan orang lain. Begitu banyak persoalan yang muncul di tengah kehidupan manusia gara-gara masalah komunikasi. Kesalahpahaman telah menimbulkan masalah-masalah sekunder seperti sakit hati, kecewa, marah, tawuran dan bahkan pertumpahan darah sering disebabkan karena kesalahan berkomunikasi (miss-communication). Begitu juga saat melakukan penyuluhan dan bimbingan sosial, sering terjadi miss komunikasi atau paling tidak komunikasi yang kurang efektif, apa yang kita harapkan tidak terwujud, orang tidak mengerti, bahkan hasilnya kadang kontra produksi seperti terjadi ketersinggungan, dan sebagainya.<br /><br />Kesadaran untuk melakukan kajian tentang komunikasi yang kita lakukan apakah sudah efektif untuk mencapai sasaran yang diinginkan, adalah merupakan kesadaran untuk memperhatikan kinerja elemen dasar komunikasi, yaitu “Feedback” atau umpan balik (elemen lainnya yaitu komunikator, komunikan/audience; komunike/pesan dan saluran/media ). Feedback yang dimaksud adalah feedback internal, umpan balik yang datang dari diri komunikator/penyampai pesan/penyuluh/pembimbing, seperti suara dan artikulasinya apa sudah terdengar dengan jelas, cara menyampaikannya apa sudah baik, timing atau waktu penyampaiannya apa sudah tepat, apa kita sudah menjadi pendengar yang baik, dll. Yang semua itu jarang kita lakukan, justru yang sering kita lakukan adalah mengoreksi umpan balik eksternalnya yaitu lawan bicara kita.<br /><br />Penyuluhan dan Bimbingan sosial merupakan suatu proses pemberian informasi secara terencana, terorganisasi, berkesinambungan dan terpadu yang berisi muatan pembangunan. Penyuluhan dan Bimbingan Ssosial bertujuan untuk mengkoordinasikan masyarakat agar mengetahui, memahami, mau dan mampu, serta berpartisipasi dalam pelaksanaan penanganan permasalahan social. Tujuan ini dapat diwujudkan kalau kita mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat dengan melakukan komunikasi yang efektif.<br /><br />Dengan dukungan teknologi informasi memang merupakan salah satu faktor yang telah turut memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk penyebarluasan penyuluhan dan bimbingan sosial kepada masyarakat dalam waktu singkat dengan jangkauan yang lebih luas. Tetapi kemajuan teknologi informasi tersebut belum menjadi jaminan tercapainya tujuan program dengan sasaran masyarakat yang majemuk (pluralism) secara optimal. Pilihan yang tepay adalah melakukan komunikasi dengan multimedia, yaitu berkomunikasi langsung maupun komunikasi bermedia.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">II. PENGERTIAN KOMUNIKASI.</span><br />Saat kita memperhatikan dua orang atau lebih sedang bercengkerama, ngobrol atau bercakap-cakap, kita akan berkomentar bahwa mereka sedang berkomunikasi. Pengertian yang sederhana ini ada benarnya, dan berkomunikasi merupakan naluri manusia yang diciptakan Allah SWT sebagai manusia yang “ zoon politicon “ manusia sebagai makhluk social, selain berhubungan dengan Al-Khaliq (hablum-minallah) juga berhubungan dengan manusia lainnya (“hablum-minannas). Agar dalam berkomunikasi kita dapat mencapai tujuan yang baik, diperlukan pengetahuan yang menyelimuti proses komunikasi, itulah yang mengharuskan kita harus mempelajari ilmu komunikasi.<br /><br />Pengertian komunikasi sudah banyak didefinisikan oleh para pakar sesuai dengan peruntukannya. Dari banyak pengertian tersebut jika dianalisis pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa komunikasi sebagai suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan, pikiran, gagasan atau emosi-emosi (perasaan) dari seseorang/kelompok orang ke orang lain/kelompok orang lain dengan menggunakan serangkaian lambang-lambang yang berarti.<br /><br />Komunikasi dikatakan komunikatif apabila kedua belah pihak selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan. Kegiatan komunikasi tidak hanya bersifat informatif (agar pihak lain mengerti dan tahu) tetapi juga bersifat persuasif (agar pihak lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, sehingga melakukan suatu perbuatan atau kegiatan yang diinginkan).<br /><br />Berkomunikasi itu lebih dari sekadar berpidato, berceramah, berbicara, dan sebagainya. Berkomunikasi yang berarti kedua pihak ikut terlibat di dalam usaha membentuk kesamaan. Kesamaan yang ingin diperoleh dari berkomunikasi itu dapat berupa kesamaan pandangan, pemahaman, pemikiran sehingga tumbuh rasa sepenanggungan, seperasaan, sepikir, sehati, dll. Kesamaan tersebut akan membesar jika keduanya berusaha memahami latar belakang social budaya masing-masing. Semakin besar kesamaan di antara dua orang atau dua pihak yang berkomunikasi, semakin memungkinkan keduanya untuk efektif dalam berkomunikasi.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Wilbur Schramm,</span> ahli komunikasi dalam karyanya communication research in the USA menemukan tips komunikasi yang efektif apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator sesuai dengan kerangka acuan [f<span style="font-style: italic;">rame of reference</span>] dan kerangka pengalaman dan pengertian [<span style="font-style: italic;">collection of experiences and meanings]</span> yang pernah diperoleh komunikan /audience/ kelayan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">III. PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI.</span><br />Agar jalannya komunikasi tidak mengalami kemacetan, artinya komunikasi dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan dari berkomunikasi dapat dicapai, maka sedikitnya ada 4 prinsip yang harus diperhatikan oleh Peksos dalam melakukan Penyuluhan dan Bimbingan social (PBS) kepada kelayan, yaitu :<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Individualisasi,</span> bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang unik atau berbeda-beda, oleh karena itu Peksos dalam memberikan Bimbingan dan Penyuluhan Sosial, jangan menggunakan cara dan pola komunikasi yang sama, melainkan disesuaikan dengan keunikan dan latar belakang kelayan yang akan diajak berkomunikasi atau diberi bimbingan dan penyuluhan sosial.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;"><br />2. Akseptasi, </span> bahwa Peksos dalam memberikan Bimbingan dan Penyuluhan Sosial harus bersifat terbuka dan tidak melakukan diskriminasi atas ras, agama golongan, status social yang ada pada kelayan.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">3. Situasional,</span> hendaknya Peksos menngunakan berbagai macam metoda dan sarana komunikasi yang ada yang sesuai dengan sistuasi dan kondisi lingkungan kelayan saat dilakukan Bimbingan dan Penyuluhan Sosial.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">4. Tidak menjustifikasi, </span>Peksos hendaknya jangan menghakimi atau menilai salah atau benar atas kelayannya berdasarkan nilai dan kepercayaan yang ada pada diri Peksos dalam melakukan Bimbingan dan Penyuluhan Sosial.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">IV. ORIENTASI PADA KELAYAN (<span style="font-style: italic;">CLIENT ORIENTED</span>)</span><br />Kekeliruan kita di dalam berkomunikasi ialah seringkali kita mengabaikan partisipasi pihak lain. Kita sering merasa tidak perlu untuk memahami orang lain; yang penting bahwa apa yang ada dibenak kita harus didengar. Memang tujuan pelayanan social yang kita lakukan itu untuk kebaikan kelayan, tetapi bagaimana mereka akan mendengar dan mengikuti apa yang kita inginkan, jika mengkomunikasiannya dengan mengabaikan kondisi audiencenya, dengan tidak memperhitungkan pihak kelayan yang akan kita layani.<br /><br />Kita sering terjebak ke dalam <span style="font-style: italic;">"message oriented" </span> yaitu berorientasi pada pesan yang tersampaikan. Kita mengutamakan informasi itu sudah diberikan kepada mereka yang memang harus menerimanya, apapun kondisinya yang penting pesan sudah sampai pada mereka, bagaimana respon mereka kurang menjadi perhatian. Atau bisa juga diperhatikan responnya, tetapi kurang memperhatikan bagaimana menyampaikannya secara baik. Bagaimana komunikasi yang dilakukan, akan berdampak pada respon yang akan diberikan oleh kelayan. Maka dari <span style="font-style: italic;">“message oriented “ </span>harus kita ubah menjadi <span style="font-style: italic;">“client oriented “</span> yaitu berorientasi pada kelayan.<br /><br />Komunikasi dikatakan sukses bila pihak komunikan/kelayan, mengerti, faham dan meyakini dan kemudian dilakukan dalam perbuatan, apa yang dimaksud oleh pembawa pesan (Peksos). Namun untuk sampai kepada taraf itu, kita harus mulai memahami keadaan dan kebutuhan kelayan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">V. KOMUNIKASI EFEKTIF.</span><br />Seorang Peksos dalam melakukan Bimbingan dan Penyuluhan Sosial kepada masyarakat, diawali dengan menjelaskan sesuatu yang harus diketahui oleh kelayan/masyarakat, itu artinya langkah awal pelayanan Bimbingan dan Penyuluhan social adalah melakukan komunikasi dengan kelayan/masyarakat. Oleh karena itu seorang Peksos dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi yang efektif agar apa yang disampaikan kepada kelayan/masyarakat dapat diterima dengan jelas, dimengerti, difahami dan dihayati sehingga mau melaksanakan sesuai dengan yang Peksos diinginkan.<br /><br />Komunikasi efektif menunjuk pada kondisi bahwa penerimaan pesan oleh kelayan/masyarakat sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Peksos dalam Bimbingan dan Penyuluhan Sosial, kemudian kelayan/masyarakat memberikan respon yang positif sesuai dengan yang diharapkan oleh Peksos.<br /><br />Ada lima ketentuan atau hukum komunikasi yang efektif <span style="font-style: italic;">(The five Inevitable Laws of Efffective Communication) </span>yang di kembangkan dan dirangkum dalam satu kata yang mencerminkan esensi dari komunikasi itu sendiri yaitu REACH <span style="font-weight: bold;">(R-E-A-C-H),</span> yang berarti merengkuh atau meraih. Karena sesungguhnya berkomunikasi itu pada dasarnya adalah upaya bagaimana kita meraih perhatian, cinta kasih, minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain. Kelima ketentuan atau hukum komunikasi yang efektif tsb adalah :<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Pertama :</span> <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Respect,</span> yaitu dalam mengembangkan komunikasi yang efektif harus memiliki sikap rasa hormat dan saling menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka kita dapat membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim. (Mahaguru komunikasi Dale Carnegie dalam bukunya <span style="font-style: italic;">How to Win Friends and Influence People,</span> rahasia terbesar yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam berurusan dengan manusia adalah dengan memberikan penghargaan yang jujur dan tulus. Sedang seorang ahli psikologi yang sangat terkenal William James juga mengatakan bahwa "Prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai." )<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kedua : Empathy, </span>Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dahulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan orang lain. Empati bisa juga berarti kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan ataupun umpan balik apapun dengan sikap yang positif.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Ketiga : Audible,</span> makna dari audible antara lain: dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan. Dalam komunikasi personal hal ini berarti bahwa pesan disampaikan dengan cara atau sikap yang dapat diterima oleh penerima pesan.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Keempat : Clarity,</span> Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan . Karena tanpa keterbukaan akan timbul sikap saling curiga dan pada gilirannya akan menurunkan semangat dan antusiasme kelompok atau tim kita.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kelima : Humble,</span> rendah hati merupakan hukum kelima dalam membangun komunikasi yang efektif. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki. Sikap rendah hati dalam berkomunikasi pada intinya antara lain: sikap yang penuh melayani (<span style="font-style: italic;">Customer First Attitude), </span>sikap menghargai, mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang lebih besar.<br /><br />Efektifitas komunikasi juga ditentukan oleh bagaimana pesan yang akan disampaikan dipersiapkan, karena setiap pesan akan menimbulkan efek yang berbeda. Wilbur Scramm, menggambarkannya sebagai <span style="font-style: italic;">“the condition of success in communicatin “</span> yaitu kondisi yang harus dipenuhi jika kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita hendaki. Kondisi itu dirumuskan sebagai berikut :<br /><ol><li>Pesan harus dirancang dan disampaikan dengan yang menarik perhatian kelayan;</li><li>Pesan menggunakan bahasa dan symbol-simbol yang dikenali oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi ;</li><li>Pasan harus membangkitkan kebutuhan pribadi kelayan dan memberikan solusi cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut ;</li></ol><br /><span style="font-weight: bold;">VI. PENYULUHAN DAN BIMBINGAN SOSIAL.</span><br />Pelayanan Kesejahteraan Sosial adalah serangkaian kegiatan pelayanan yang diberikan terhadap individu, keluarga maupun masyarakat yang membutuhkan atau mengalami permasalahan sosial baik yang bersifat pencegahan, pengembangan maupun rehabiltasi guna mengatasi permasalahan yang dihadapi atau memenuhi kebutuhan secara memadai sehingga mereka mempu menjalankan fungsi sosialnya.<br /><br />Setiap jenis pelayanan kesejahteraan social, tentu memiliki karakter dan situasi yang berbeda, tetapi substansi dasarnya adalah relative sama, yaitu bahwa setiap kita akan memulai memberikan pelayanan, maka dilakukan dulu pendekatan dengan kelayan. Itu artinya, kita akan melakukan komunikasi dan interaksi dengan kelayan, dan sejak saat itu kita sudah mulai membangun komunikasi.<br /><br />Tentu saja komunikasi yang dilakukan dalam pelayanan kesejahteraan social harus disesuaikan dengan bentuk kegiatan usaha kesejahteraan social tersebut, yang meliputi : a. Penyuluhan dan bimbingan social; b. Penyembuhan dan pemulihan social; c. Penyantunan dan penyediaan bantuan social ; d. Pengembangan nilai-nilai, potensi dan sumber kesejahteraan social; dan e. Pengorganisasian, pengadministrasian dan pengelolaan lembaga.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">1. Penyuluhan Sosial.</span><br />Penyuluhan merupakan suatu bentuk komunikasi yang berawal dari adanya gagasan/idea/pesan yang yang akan disampaikan oleh satu pihak (penyuluh) kepada pihak lain (kelayan/masyarakat) dengan maksud agar dapat dipahami tentang gagasan/idea atau isi pesan yang disuluhkan tersebut.<br /><br />Penyuluhan social adalah suatu proses pemberian informasi, motivasi dan edikasi secara terencana, terorganisasi, berkesinambungan dan terpadu yang berisi muatan pembangunan kesejahteraan social dan aspek-aspek social dan sector lain, untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kesadaran masyarakat tentang pembangunan kesejahteraan social dan aspek-aspek social dari kegiatan sector lain (Depsos, 1998))<br /><br />Proses penyuluhan dalam kaitannya dengan proses belajar-mengajar dapaty dipandang sebagai suatu rangkaian hubungan yang terdiri dari tingkah laku seseorang (penyuluh) yang mengakibatkan timbulnya tingkah laku atau reaksi tertentu pada diri orang lain, yaitu kelayan (Munro,12). Kemampuan penyuluh yang efektif berarti kemampuan menggunakan ketrampilan ketrampilan yang benar-benar tepat sesuai dengan tuntutan suasana. Suasana yang berbeda menuntut penerapan ketrampilan yang berbeda pula.<br /><br />Apapun yang akan dilakukan oleh penyuluh, untuk mendapatkan hasil yang baik, penyuluh hendaknya mempunyai kecakapan melakukan apa yang telah direncanakan. Tentu saja segala sesuatu yang dilakukan itu tidak terlepas dari pengalaman, latihan, keihkalasan dalam melakukan, kejujuran serta penguasaan pengetahuan tentang penyuluhan dan komunikasi. Disamping itu hendaklah disadari bahwa peranan penyuluh tidak semata-mata didasarkan atas ketrampilan dan kemampuannya saja, lebih dari itu bahwa seorang penyluh bertugas melayani semua yang baik yang diharapkan oleh kelayan. Penyuluh hendaknya tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas tentang orang lain, tetapi juga tentang dirinya sendiri.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Bimbingan Sosial.</span><br />Bimbingan sosial atau praktek pekerjaan sosial salah satu metoda pekerjaan sosial untuk memperbaiki dan meningkatkan fungsionalitas sosial yang berkaitan dengan inter-relasi antara orang dengan orang-orang lain atau antara orang dengan lingkungannya.<br /><br />Bimbingan sosial bertujuan untuk membantu orang baik sebagai individu, kelompok, organisasi atau masyarakat dalam memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfungsi/fungsionalitas sosial mereka. Fungsionalitas sosial tersebut menyangkut kemampuan menampilkan beberapa peranan sosial (social roles) maupun peranan tugas (task roles): dan kemampuan memecahkan masalah-masalah yang menghambat atau merintangi dalam mewujudkan peran-peran tersebut.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Bimbingan Sosial Perorangan</span> <span style="font-weight: bold;">(</span><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">social case work</span><span style="font-weight: bold;">)</span>, menurut Helen Jaspan dalam bukunya ”Case Work Soscial di Indoensia (1961)” mendenifikan sebagai suatu proses yang menaruh meinat dalam upaya menolong individu untuk mencapai tingkat perkembangan kepribadian tertinggi sehingga kelayan (penyandang masalah) itu dapat menolong dirinya sendiri di dalam suatu ikatan tanpa bantuan orang lain.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Bimbingan Sosial Kelompok ( Social Group Work),</span> Friedlander (1965) mengemukakan bahwa pekerja sosial kelompok bekerja dengan berbagai cara agar pergaulan di dalam kelompok dan kegiatan kerja kelompok dapat membantu perkembangan para individu anggota kelompok dan membantu mencapai tujuan sosial yang dikehendaki. Sedang HB. Trecker (1948) mendefinisikan sebagai metode bimbingan yang dilakukan oleh pekerja sosial untuk membantu individu yang terikat dalam kelompok agar dapat mengikuti kegiatan kelompok. Dengan demikian individu dapat bergaul dengan sesama anggota kelompok secara baik dan dapat mengambil manfaat dari pengalaman pergaulan atau perkembangan pribadi, kelompok dan masyarakat.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Bimbingan Sosial Masyarakat (Social Community Organization)</span>, menurut Kasni Hariwoeryanto (1987) adalah suatu metode untuk membantu masyarakat agar dapat menggali dan mengerahkan sumber yang ada untuk memenuhi kebutuhannya.<br /><br />Penguasaan pengetahuan dan ketrampilan berkomunikasi yang efektif dalam melakukan penyuluhan dan bimbingan sosial, baik perorangan, kelompok maupun masyarakat sangat diperlukan, karena memberikan penyuluhan dan bimbingan sosial pada umumnya ingin meningkatkan pengetahuan, menumbuhkan motivasi, merangsang semangat untuk melakukan perubahan dalam upaya meningkatkan fungsionalitas sosialnya.<br /><br />Dengan melakukan komunikasi yang efektif berarti kita melakukan transformasi pengetahuan, semangat dan motivasi terhadap penyandang masalah sosial yang dilakukan secara terencana, baik itu dilakukan secara individu maupun secara kelompok . Saat berkomunikasi yang dilakukan secara langsung, maka feedback/respon kelayan dapat diketahui seketika itu juga apakah ia memberikan respon yang posisitif atau respon negatif. Dengan kemampuan berkomunikasi yang efektif, maka informasi yang disampaikan tentu akan mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu memberi edukasi terhadap kelayan untuk meningkatkan dan mengembangkan fungsionalitas sosialnya.<br /><br />Maka peksos dalam melakukan kegiatan penyuluhan dan bimbingan sosial tentunya harus memiliki ketrampilan dalam berkomunikasi sehingga misi dalam penyampaian informasi akan dapat merubah atau memotivasi sesorang untuk berbuat yang lebih baik dari sebelumnya, Tujuan dari penyuluhan dan bimbingan sosial untuk merubah seseorang dari ketergantungan dalam bersikap, dan setelah mendapatkan penyuluhan dan bimbingan menjadi kelayan yang mandiri.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">VII. KIAT PENYULUH DAN PEMBIMBING SOSIAL YANG BAIK.</span><br />Sebagai penyuluh dan pembimbing social, dalam melakukan komunikasi ia berperan sebagai komuniktor dalam tugas pelayanan kesejahteraan social, karena itu dialah yang diharapkan banyak mengambil prakarsa dalam pelayanan kesejahteraan social melalui penyuluhan dan bimbingan social tersebut. Sebagai komunikator harus siap pada posisi “penyampai pesan“ sekaligus sebagai “penerima pesan“ yang baik.<br /><br />Posisi penyampai pesan (komunikator/penyuluh/pembimbing) saat dia memberikan bimbingan dan penyuluhan dalam pelayanan, dan pada waktu yang bersamaan, ia juga dalam posisi “penerima pesan“ kelayan, yaitu saat kelayan memberikan respon dengan menyampaikan “curhat” nya. Kedua posisi tersebut harus dimanage dengan baik dan meletakkannya pada posisi sama pentingnya. Artinya selain dapat menjadi “pembicara” yang baik, ia juga harus dapat menjadi “ pendengar” yang baik.<br /><br />Berikut ini ada beberapa kiat untuk Komunikator (Penyuluh dan Pembimbing), dalam melakukan Penyuluhan dan Bimbingan Sosial, baik pada posisi sebagai “penyampai pesan” maupun “penerima pesan” (feedback dari kelayan) agar komunikasi berjalan lancar dan tercapai sesuai yang diinginkan, baik dari segi efektifitasnya maupun tujuan kita berkomunikasi.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Source Credibility (kepercayaan terhadap sumber)</span><br />Seorang komunikator (Peksos) sebagai sumber informasi hendaklah menunjukan sikap kridible (dapat dipercaya), karena dengan sikap ini akan memberikan kepercayaan pada komunikan (kelayan) untuk menaruh harapan terhadapnya.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">2. Source Competent. (Kompetensi sumber)</span><br />Seorang komunikator (Peksos) sebagai sumber informasi, hendaknya menunjukan kompetensinya (penguasaan isi pesan/bidang tugasnya) dihadapan kelayan, kalau nampak ragu-ragu dan terlihat tidak menguasai isi pesan atau bidang tugasnya, bagaimana mungkin kelayan akan mengkomunikasikan persoalannya kepada komunikator (Peksos) tersebut.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">3. Source Attractiveness (Daya tarik sumber).</span><br />Seorang komunikator (Peksos) sebagai sumber informasi, dapat melakukan perubahan sikap kelayannya melalui mekanisme daya tarik. Sosok Peksos yang menarik dan dikagumi oleh kelayannya akan mempengaruhi tingkat kepatuhan dan kepercayaan kelayan terhadap pesan-pesan yang disampaikan oleh Peksos tersebut.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">4. Sikap Optimisme.</span><br />Seorang komunikator (Peksos) hendaklah menunjukkan sikap optimisme, sikap ini penting karena tugas Peksos adalah membangun optimisme pada kelayan. Bagaimana bisa membangun optimisme kelayan kalau dia sendiri tidak optimis dengan apa yang ia sampaikan.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">5. Sikap Siap, Tulus dan Jujur.</span><br />Kadang ada komunikator, mengawali pembicaraannya dengan mengatakan, sebenarnya saya sakit, atau saya dihubungi mendadak, atau saya terpaksa melaksanakan karena petugasnya tidak ada, atau lainnya yang menunjukan ketidak siapan, tidak tulus, dan tidak jujur. Sikap ini akan menjadi kontra produktif dalam menjalankan komunikasi. Sebaliknya Peksos harus menunjukan sikap siap, artinya apa yang akan disampaikan memang ia kuasai, sikap tulus-ikhlas akan terpancar dari raut wajah komunikator, karena jiwa keterpaksaan akan tampak pada raut wajahnya, serta jujur atas informasi yang disampaikan dalam melayani kelayan (meskipun mungkin ada persoalan yang dihadapi oleh Peksos itu sendiri ).<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">6. Pendengar yang baik.</span><br />Komunikator yang sukses adalah komunikator yang menyampaikan pesan-pesannya dengan baik dan jelas, sekaligus menjadi pendengar dari apa yang disampaikan oleh lawan bicara kita dengan baik.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">7. Peduli pada kelayan (Friendship)</span><br />Salah satu unsur efektifitas komunikasi adalah sikap emphati, yaitu peduli dengan situasi dan kondisi audience (kelayan), itu artinya Peksos hendaknya mengenali kelayannya, misalnya mengenal namanya, asal dari mana, dan persoalannya apa. Sikap ini akan menempatkan komunikator bukan lagi sebagai orang asing bagi audience (kelayan).<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">8. Berbagi kesempatan.</span><br />Karena menjadi pendengar yang baik itu adalah termasuk kiat komunikasi yang baik, maka dalam berkomunikasi, harus berbagi kesempatan berbicara pada audience/kelayan, jangan mendominasi waktu hanya untuk komunikator.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">9. Bahasa non verbal.</span><br />Dalam ilmu komunikasi, disebutkan bahwa antara 5%-10% dari kegiatan komunikasi langsung yang kita lakukan melibatkan bahasa non verbal (gesture) seperti gerakan tangan, mata, ekspresi wajah, dll serta intonasi suara yang menguatkan isi pesan yang disampaikan. Tapi ingat, kalau bahasa non verbal ini berlebihan, justru dapat menghilangkan konsentrasi audience terhadap isi pesan itu sendiri.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">10. Gunakan kata yang tak bersayap</span><br />Dalam komunikasi kita kenal dengan adanya gangguan semantic (semantic noise), yaitu gangguan yang ditimbulkan adanya penggunaan kata-kata yang memiliki multi makna (kata-kata bersayap), sehingga berakibat salah pengertian antara apa yang dimaksud oleh ‘penyampai pesan ‘ dengan apa yang dimengerti oleh ‘penerima pesan’.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">VIII. MENCIPTAKAN HUBUNGAN PERORANGAN.</span><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Menggunakan persepsi orang lain :</span><br />Persepsi merupakan pengalaman tentang obyek yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi yang diterima sangat tergantung bagaimana memberikan makna pada kepentingan untuk motivasi seseorang dalam memperoleh sesuatu.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">2. Berikan perhatian yang cukup :</span><br />Perhatian lebih mengarah kepada proses mental ketika pesan atau informasi yang diterima mulai melemah, maka perlu penekanan pesan pada satu aspek dari yang lain, yaitu dengan cara intonasi bicara, cara bertanya gerakan tubuh atau melalui permainan yang menarik, untuk menarik minat.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">3. Berikan tanggapan yang bermakna</span><br />Setiap respon yang diberikan sipenerima pesan perlu ditanggapi secara memadai, dalam komunikasi dibutuhkan ketrampilan mendengar yang aktif dengan menjabarkan kembali pemahaman dan menyimpulkan informasi yang bermakna bagi orang yang diajak berbicara, dalam memberikan tanggapan diperlukan tanggapan yang sesuai dengan penerima pesan dengan cara mengembangkan, memperluas, menjelaskan atau menjernihkan pesan.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">4. Kemampuan diri merupakan indicator jalinan</span><br />Penerimaan orang lain terhadap pesan yang disampaikan sangat tergantung, kemampuan individu sebagai komunikator, tergantung penampilan dan focus pembicaraan dan kebiasaan dirinya, dan yang utama tergantung pada kepribadian penyampai pesan.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">5. Perhitungkan kesan pertama</span><br />Kesan pertama sangat menentukan penerimaan dan tanggapan orang lain,kesan pertama sangat membekas yang tidak akan pudar,kesan pertama menjadi awal yang baik atau bahkan manejdi sumber segala masalah dimasa yang akan datang.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">6. Mulai dari pengalaman.</span><br />Pengalaman merupakan lansadan seseorang untuk berfikir, menetukan pilihan dan penerimaan terhadap pesan, Pengalaman individu dalam masyarakat sangat mempengaruhi kecermatan dan analsisis terhadap informasi yang diterima. Pengalaman adalah guru yang terbaik.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">7. Konsep diri dan membuka diri</span><br />Pengetahuan dan pengalaman tentang diri akan meningkatkan kulitas bekomunikasi dan hubungan, berkomunikasi dengan orang akan meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman orang lain akan terjadi keterbukaan pada kedua pihak untuk saling memberi dan menerima pengalaman atau gagasan baru.<br /><br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">8. Saling percaya.</span><br />Jalinan kerja sama yang dijalin atas dasar saling memahami dan menerima kelebihan dan kelemahan merupakan kunci keberhasilan komunikasi , kepercayaan menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi orang lain untuk berfikir kreatif dan bekerja lebih baik, kerja sama akan terbangun dengan kepercayaan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">IX. DISTORSI PESAN.</span><br />Untuk memeproleh pengertian apa itu distorsi pesan, kita ketahui dahulu tentang ketepatan pesan, yaitu tingkat persesuaian arti dan maksud pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan (komunikator) dengan arti dan maksud pesan yang diinterpretasikan oleh penerima pesan (komunikan). Misalnya komunikator menyebut ‘Gajah’ maka komunikan meminterpretasikan bahwa gajah itu adalah binatang yang besar, bertelinga lebar, punya belalai yang panjang diatas mulutnya.<br />Kekurang-tepatan atau perbedaan arti diantara pesan yang dikirim dengan interpretasi penerimanya dinamakan <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">‘distorsi’.</span> Efektifitas komunikasi tidak saja pada aspek cara berkomunikasinya, tetapi juga aspek isi pesan yang disampaikan. Karena itu memperhatikan factor-faktor yang mempenagruhi ‘distorsi’ pesan tersebut menjadi penting untuk dipahami.<br /><br />Faktor-faktor yang mempengaruhi distrosi tersebut tergantung pola komunikasinya, kalau pola komunikasi personal, maka faktornya juga personal, tetapi kalau komunikasi dalam kelompok/organisasi, disamping factor personal juga dipengaruhi factor kelompok/organisasi. Namun dalam pembahasan ini, hanya yang berkaitan dengan factor personal yang mempengaruhidistorsi.<br /><br />Distrosi yang dipengaruhi oleh factor personal, yang memegang peranan peting adalah masalah persepsi. Lewis (1987) mengatakan bahwa persepsi adalah proses pengamatan, pemilihan, pengorganisasian stimulus yang sedang diamati dan membuat interpretasi (penafsiran) mengenai pengamatannya itu.<br />Hal-hal yang berkenaan dengan persepsi personal yang mempengaruhi distorsi dalam proses komunikasi, tersebut adalah :<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">1. Orang mengamati sesuatu itu selektif.</span><br />Keterbatasan kemampuan pancaindera kita dalam merespon lingkungan yang sangat terbatas sehingga akan melakukan persepsi pilihan. Pilihan tersebut maksudnya akan memusatkan perhatian pada stimulus/rangsangan keinderaan kita, dengan mengabaikan stimulus lainnya.<br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Misalnya,</span> ada dorongan stimulus dari diri kita untuk melihat tv, sedang bersamaan dengan itu ada stimulus/rangsangan untuk indera kita dari luar diri kita, yaitu orang berbicara dengan kita, tentu saja keduanya sulit menjadi perhatian pada derajat yang sama oleh indera kita, sehingga akan terjadi pengabaian dari salah satunya, sehingga pesan yang sampai menjadi distorsi dalam komunikasi tersebut.<br /><br />2. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Orang melihat sesuatu konsisten dengan apa yang mereka percayai.</span><br />Persepsi kita mengenai sesuatu, dipengaruhi oleh keyakinan yang selama ini kita percayai tentang orang, benda atau kejadian itu.<br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Misalnya</span><span style="font-weight: bold;">,</span> menurut saya orang itu dapat dipercaya, tetapi ternyata teman kerja dia mengatakan orang tersebut tidak dapat dipercaya. Atau misalnya hiasan itu bagus untuk pajangan dirumah, tetapi teman saja mengatakan tidak bagus. Kondisi ini akan mempengaruhi interpretasi pesan.<br /><br />3. <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Bahasa itu sendiri yang kurang tepat.</span><br />Dalam komunikasi, bahasa digunakan untuk menyatakan persepsi. Menggunakan bahas yang tidak berlaku umum, akan menimbulkan distorsi.<br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Misalnya</span><span style="font-weight: bold;">,</span> kita bilang ‘atos’ untuk orang jawa itu berarti keras, namun bagi orang Sunda itu bersrti sudah. Sesungguhnya bahas yang tepat dapat menunjukkan orang, benda atau kejadian sebagaimana keadaan yang sesungguhnya. Mengingat banyaknya bahasa, maka digunakan pada ruang dan waktu yang tepat.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">4. Arti suatu pesan terjadi pada level isi dan relasi.</span><br />Suatu pesan diinterpretasikan pada level isi dan relasi (hubungan). Pada lever/tataran isi menunjuk pad ide-gagasan, hal-hal, orang, benda atau kejadian yang dibicarakan (verbal) atau disampaikan (non verbal). Sedang pada level/tataran relasi, menunjuk pada bagaimana isi pesan dalam proses komunikasi.<br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Misalnya,</span> seseorang menyampaikan sesuatu prestasi seseorang (level isi) dengan cara senyuman yang sinis (level relasi) akan bermakna berbeda kalau disampaikan dengan penuh senyuman kebanggan. Demikian juga (level relasi) pihak penerima pesan.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">5. Tidak adanya kosistensi bahasa verbal dan non verbal.</span><br />Pace (1989), mengungkapkann bahwa percakapan diantara dua orang diperkirakan bahwa arti dari pesan dari bahasa verbal diserap 35 % dan dari bahsaa non verbal diserap 65 %. Dengan demikian bahwa sumber arti dan perasaan dari pesan yang disampaikan adalah berasal dari pesan non verbal.<br />Ini artinya konsistensi yang diucapkan dengan yang diperbuat, harus dijaga agar tidak terjadi distriorsi. Sering kita dapati yang diungkapkan dengan lisan berarti ia atau setuju, tetapi bahas tubuhnya (non verbal) menunjukkan ketidak setujuannya.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">6. Pesan yang meragukan</span><br />Keraguan pesan dalam kontek berkomunikasi mengarah pada ketiga keraguan, yaitu keraguan isi pesan, maksud pesan, dan keraguan efek pesan.<br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Keraguan isi pesan, </span>berkenaan dengan ketidakpastian apa arti pesan yang sesungguhnya (pesannya kabur). Makin besar keraguan arti pesan, makin sulit untuk memahami pesan itu.<br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Keraguan maksud pesan,</span> menunjuk pada ketidakjelasan maksud dari pengirim pesan. Misalnya sesorang dipanggil untuk menghadap, tetapi tidak dijelskan apa yang mau dibicarakan.<br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Keraguan efek pesan,</span> berkenaan dengan ketidakpastian memprediksi atau memperkirakan konsekuensi yang mungkin dari suatu pesan. Kita mungkin menginterpretasikan dengan tepat isi pesan, tetapi tidak mampu memprediksi efek isi pesan tersebut. Misalnya, seorang yang dipanggil tersebut diatas karena ada keraguan maksud, maka ini menimbulkan distorsi, yaitu waktu diajak bicara dia tidak menyiapkan apa-apa yang patut dikemukakan.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">7. Memori yang mengarah penajaman atau penyamarataan.</span><br />Memori / atau daya ingat seseorang dipengaruhi oleh sikap penajaman atau penyamarataan. Sesorang yang memiliki memori dengan pola penyamarataan, cenderung mengeneralisasi masalah dan kehilangan struktur pesan yang utuh. Berbeda dengan seseong yang memiliki memori dengan pola penajaman, ia akan memiliki struktur permasalahan yang detail dan lengkap. Sehingga pesan yang diterima tidak distrosi.<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">8. Motivasi bisa membangkitkan distorsi pesan.</span><br />Sikap terhadap isi, seseorang yang mempunyai sikap negative terhadap isi pesan, cenderung untuk mengabstraksikan secara negative, begitu sebaliknya.<br />Keinginan dan motivasi dari pembicara, yang menyederhanakan pesan, menghaluskan agar pantas, untuk menyenangkan, sehingga mengaburkan isi substansi pesan akan menimbulkan distorsi.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">X. PENUTUP</span><br />Sebagai Pekerja Sosial atau apapun sebutannya yang selalu bergerak dibidang penyuluhan dan bimbingan sosial diperlukan kemampuan yang baik dalam berkomunikasi, terlebih kemampuan berkomunikasi yang efektif. Dengan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dan efektif, maka dengan sendirinya akan mampu melaksanakan tugas-tugas penyuluhan dan bimbingan sosial, baik bimbingan sosial individu, kelompok maupun masyartakat. Kegiatan penyluhan dan bimbingan adalah kegiatan interaksi sosial yang divasilitasi dengan proses komunikasi. Pemahaman terhadap kondisi fisik dan psikis yang melingkupti berlangsungnya proses komunikasi sangat diperlukan agar tujuan dapat dicapai secara optimal. **** (Malang, 10/12/2010)<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">DAFTAR PUSTAKA.</span><br /><ol><li>Astrid, S. Susanto, Dr. phil. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek – 1, Penerbit Binacipta, Bandung, 1974.</li><li>Achlis,Drs, Bimbingan Sosial Kelompok, Senat Mahasiswa STKS Bandung 1984</li><li>Arni Mujammad ,Dr, Komunikasi Organisasi, Bumi Aksara,2005</li><li>Departemen Sosial RI, Strategi Komunikasi Untuk Penyuluhan Sosial, Dirjenbinkesos-Jakarta, 1998.</li><li>Effendy, Onong Uchyana, Drs, MA, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Penerbit Remaja Karya CV, Bandung, 1985.</li><li>Effendy, Onong Uchyana, Drs, MA, Dimensi-Dimensi Komunikasi. Penerbit Alumni Bandung, 1986.</li><li>Istiana herawati, Dra, Metode dan teknik Dalam Praktik Pekerjaan Sosial, Penerbit Adi Cita Karya Nusa, Yogjakarta, 2001.</li><li>Kasni Hariwoeryanto,Drs, Metodologi dan Praktek Pekerjaan Sosial, Pengantar dan Metoda Bimbingan Sosial Perorangan, PT. Bale Bandung,1987</li><li>Kasni Hariwoeryanto,Drs, Metodologi dan Praktek Pekerjaan Sosial, Metoda Bimbingan Sosial Masyarakat, PT. Bale Bandung,1987</li><li>Munro, EA; R.J. Manthei; J.J. Small, (Alih Bahasa, Drs. Erman Amti) Penyuluhan (Counselling), Suatu Pendekatan Berdasarkan Keterampilan. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.</li></ol>************<br /><br /><br /><br /><br /></div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7954640480146331404.post-86242587555396976002010-12-21T13:44:00.000-08:002010-12-21T23:07:41.756-08:00<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;"><span style="font-family:verdana;">PERAN IBU DALAM PENCEGAHAN </span> <span style="font-family:verdana;"><br />ANAK BERMASALAH SECARA DINI.</span> </div><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><br /><span style="font-family:verdana;">Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM<br /><br /></span></span> </div> <span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >I. PENDAHULUAN.</span> <span style="font-family:verdana;"><br />Pada setiap tanggal 22 Desember, Bangsa Indonesia, terutama kaum ibu selalu merayakan peringatan Hari Ibu. Tradisi ini untuk membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang besar yang tahu akan menghormati jasa para pahlawannya, khususnya para pahlawan pejuang wanita, atau dari kaum ibu. Dalam setiap peringatan, relevansinya terhadap kondisi kekinian adalah bukan meriahnya acara seremonial peringatan, namun bagaimana memaknai dan menarik benang merah dari kepahlawan para pejuang kaum ibu dulu kepada kondisi kekinian yang tidak kalah pula besarnya tantangan yang dihadapi.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Posisi seorang ibu atau pada umumnya kaum wanita, dari aspek sumberdaya manusia Indonesia, memiliki potensi yang cukup besar, karena lebih dari separuh jumlah penduduk Indonesia adalah kaum wanita, yang pada saat nanti akan mengambil peran sebagai seorang ibu. Dari aspek <span style="font-style: italic;">socio-cultural,</span> seperti pada pemahaman agama Islam, seorang ibu ditempatkan posisinya lebih dibanding kaum pria, seperti yang dalam riwayat seorang sahabat yang bertanaya kepada Rasulullah SAW, siapa yang patut kita hormati ya Rasullah? Jawab Rasulullah SAW, Ibumu, kemudian siapa lagi, Ibumu, siapa lagi, Ibumu, baru pada pertanyaan yang keempat Rasulullah SAW menjawab, Bapakmu. Maknanya, ibu memiliki posisi yang kuat dalam pembentukan watak anak yang menjadi generasi bangsa. <span style="font-weight: bold;"><br /><br /></span></span><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >II. ANAK, ADALAH GENERESI PENERUS BANGSA.</span> <span style="font-family:verdana;"><br />Kata yang sering diucapkan, tetapi lebih banyak masih dalam retorika, implementasi dari komitmen ini yang paling penting. Ungkapan ini sudah cukup tua, setua sejak lahirnya genersi yang namanya anak. Yang harus dilakukan, bagaimana menyiapkan anak sebagai penerus generasi ini menjadi anak yang siap memikul tanggung jawab sebagai generasi penerus, bukan anak yang lemah, anak yang banyak menyandang masalah, bahkan menjadi anak yang tidak jelas masa depannya, sehingga bukan tidak mungkin kelak bangsa ini mengalami <span style="font-style: italic;">“lost generation” </span>(generasi yang hilang),<br /><br />Terancamnya “<span style="font-style: italic;">lost generations” </span>ini karena dipicu oleh kondisi generasi anak bangsa ini pada situasi dan kondisi yang terbelenggu oleh kemiskinan, kebodohan, kurang gizi, kering akan kasih sayang, baik oleh lingkungan keluarganya maupun oleh lingkungan sosialnya. Allah SWT telah memperingatkan seperti dalam firmannya : “<span style="font-style: italic;">Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”</span> (QS. An Nisaa’ : 9). </span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Peringatan Allah SWT tersebut jelas, bahwa jangan meninggalkan anak-anak yang lemah, dan untuk kesejahteraan mereka (anak-anak)nya, hendaklah bertaqwa dan berkata yang benar. Kuncinya bertaqwa dan berkata yang benar. Artinya bekerja dan terus berdo’a. serta tidak kalah pentingnya harus terus selalu berkata jujur (tidak berkata bohong).</span> <span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" ><br /><br />III. ANAK-ANAK BERMASALAH.</span> <span style="font-family:verdana;"><br />Terabaikannya peran “Ibu” (dalam pengertian ibu yang melahirkan anak-anaknya, dan yang melahirkan generasi penerus) sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, telah banyak melahirkan sisi-sisi kelam dunia anak-anak. Memang bukan kesalahan ibu semata, dan bukan penyebab tunggal dari timbulnya anak-anak bermasalah, karena factor lingkungan social, dan faktor internal keluarga (ada peran ayah, dan saudara) juga mempengaruhinya.<br /><br />Namun banyak kondisi impiris yang menyuguhkan fakta bahwa, anak-anak yang “gagal” , terlahir karena kurangnya perhatian ibunya (terlalu sibuk berkerja diluar rumah, bisa karena menjadi orang tua karir, atau karena kemiskinan yang menghimpitnya), sehingga anak kehilangan figure sentral yang menjadi <span style="font-style: italic;">“social modelling”</span> bagi dirinya. </span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Bisa dibayangkan, ketika anak dalam kesendiriannya secara social maupun secara psikologis, yang hanya ditemani oleh ibu asuh upahan, atau ditemani tayangan televisi, maka proses internasilasi yang ada pada anak tersebut adalah apa yang ia terima dalam kesehariannya.<br /><br />Terintalisasi hubungan pengasuh dengan dia yang tanpa rasa kasih dan nilai-nilai relasi antara orang tua dengan anak (pengasuh sering banyak ngalah terhadap anak asuhnya, sehingga tidak bisa menginternalisasi nilai-nilai baik, seperti penghormatan kepada orang yang lebih tua, dll), Juga mendapat internasilsasi acara-acara televise yang tidak selalu tepat untuk pertumbuhan psikologi anak. Dan dampaknya sudah cukup banyak seperti yang kita lihat dari pemberitaan media, banyak anak yang liar, terlibat tawuran, narkoba, peminum, dll. </span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Hal ini karena anak yang pertumbuhan akal pikiran belum sempurna, sejatinya membutuhkan bimbingan dari Ibunya (dan ayahnya) untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, justru ia mendapat referensi untuk pertumbuhannya dari sumber yang salah, seperti dari teman, publik figure, buku, tayangan tv, pemberitaan yang dia sendiri belum memiliki kemampuan untuk melakukan filter terhadap itu semua.<br /><br /></span><span style="font-family:verdana;">Akibatnya jadilah ia menjadi anak bermasalah, yaitu anak yang prilakunya atau tindakannya tidak diharapkan orangtua atau masyarakat/lingkungan sosialnya dan tindakannya cenderung merugikan dirinya dan orang lain. Kondisi demikian juga bisa mengarah pada anak penyandang masalah kesejahteraan social (pmks) yaitu seseorang, keluarga, atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani dan sosial) secara memadai dan wajar.<br /><br /></span><span style="font-family:verdana;">Potret buram anak-anak generasi bangsa, semakin memprihatinkan, seperti yang dirilis oleh Kepala BKKBN, Sugiri Syarief, bahwa data yang dimiliki oleh BKKBN menunjukan makin banyak remaja yang telah aktif secara seksual sebelum nikah akibat merebaknya pergaulan bebas dikalangan para remaja. Ditahun 2010, data yang dimiliki BKKBN menunjukan 54 % remaja perempuan di Suarabaya sudah tidak perawan, di medan 52 % dan Bandung mencapai 47 %. Data tersebut juga menunjukan bahwa 51 % perempuan usia belasan tahun diwilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) kehilangan kegadisannya. Artinya, dari 100 remaja 51 orang diantaranya sudah tidak perawan. Masih dari data BKKBN tersebut, di Jogjakarta menunjukan 37 % mahasiswa menikah akibat hamil diluar nikah ( <span style="font-style: italic;">married by accident</span> ), dan estimasi jumlah aborsi di Indonesia pertahun mencapai 2,4 juta, dan sebanyak 800.000 terjadi dikalangan remaja). Belum lagi yang terkait dengan AIDS, berdasarkan relis Kemetrian kesehatan pada pertengahan tahun 2010 ini, seperti dikutib oleh Koran Surya tersebut menyebutkan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 21.770 kasus AIDS positif dan kasus 47.157 HIV positif. Dari jumlah itu prosentasi pengidap pada usia 20-29 tahun (relative masih muda) sebesar 48,1 %. Sedang pengguna narkoba di Indonesia pada pertengahan tahun 2010 mencapai 3,2 juta jiwa, 75 % nya atau 2,5 juta adalah para remaja.(Koran Surya, 29/11/2010).</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Potret buram generasi bangsa tersebut akan semakin panjang bila ditelusuri dari bentuk-benrtuk anak bermasalah dan anak penyandang masalah kesejahteraan social lainnya seperti anak jalanan, anak terlantar, dll</span> <span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" ><br /><br />IV. JADIKAN KELUAGA SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN ANAK.</span> <span style="font-family:verdana;"><br />Allah SWT berfiman : <span style="font-style: italic;">”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu". </span>(QS. at-Tahriim: 6). Ini menginsyaratkan bahwa ”nahkoda” keluarga (bapak-ibu) memiliki tanggung jawab menyelamatkan biduk keluarga agar dapat mencapai tujuan hidup ini baik yang jangka pendek <span style="font-style: italic;">”fiddun ya khasanah”</span> lebih-lebih tujuan jangka panjang <span style="font-style: italic;">”akhirati khasanah” </span>. </span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Keluarga, merupakan unit terkecil dan sebagai inti dari suatu sistem sosial dalam masyarakat – bangsa. Sebagai sub sistem dari sistem sosial dalam masyarakat, keluarga menjadi variabel penting dalam mewujudkan kesalehan sosial dalam masayarakat. Terbentuknya keluarga yang <span style="font-style: italic;">”sakinah – mawadah dan warrahmah”</span>, keluarga yang mampu mengayomi dan memberi ketrentraman bagi anggota keluarga didalamnya, akan memberi kontribusi terwujudnya masyarakat yang aman dan tenteram yang pada gilirannya masyarakat yang sejahtera.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Begitu penting peran keluarga ‘khususnya ibu’ dalam membentuk karakter anak sejak dini bahkan sejak ia di dalam kandungan. Keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya. Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, maupun di institusi keagamaan. Mengentaskan anak-anak bermasalah harus dimulai dengan mengembalikan fungsi keluarga sesuai nilai-nilai ajaran moral dan agama.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Mengembalikan fungsi keluarga secara utuh menjadi kebutuhan yang tidak dapat terelakkan dalam memposisikan ”keluarga” sebagai <span style="font-style: italic;">”madrasatun ’ula”</span> atau ’kampus’ yang pertama bagi anak-anaknya. Fungsi- fungsi tersebut tersebut meliputi :</span> <span style="font-style: italic; font-weight: bold;font-family:verdana;" ><br />1. Fungsi Edukasi dan Advokasi.</span><br /><span style="font-family:verdana;">Keluarga merupakan wahana pendidikan yang pertama dan utama, sebagai wahana pembinaan nilai-nilai dan norma agama dan budaya bagi generasi manusia. Memberikan dukungan afektif, berupa hubungan kehangatan, mengasihi dan dikasihi, mempedulikan dan dipedulikan, memberikan motivasi, saling menghargai, dan lain-lain. Pengembangan pribadi, berupa kemampuan mengendalikan diri baik fikiran maupun emosi; mengenal diri sendiri maupun orang lain; pembentukan kepribadian; melaksanakan peran, fungsi dan tanggung jawab sebagai anggota keluaraga; dan lain-lain. </span> <span style="font-family:verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;"><br />2. Fungsi Sosial.</span></span> <span style="font-family:verdana;"><br />Dengan berkeluarga individu-individu didalamnya mendapat status atau pretige tersendiri, yakni menjadi suami atau isteri, dan dari sini keduanya akan mendapat harga diri dan status sosial tersendiri. Keluarga juga untuk menanamkan kesadaran atas kewajiban, hak dan tanggung jawab individu terhadap dirinya dan lingkungan sesuai ketentuan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;"><br />3. Fungsi Religius,<br /></span></span> <span style="font-family:verdana;">Berkeluarga merupakan sebuah pengalaman hidup beragama, mengingat menikah adalah sebuah sunnah rosul dan didalamnya terdapat aturan-aturan hidup sesuai ketentuan ajaran agama. Keluarga sebagai wahana untuk beribadah dan pengamalan syariat agama.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;"><br />4. Fungsi Afeksi,<br /></span></span> <span style="font-family:verdana;">Keluarga untuk membina dan bertumbuh kembangnya kasih sayang yang terwujud dalam hubungan biologis antara suami-isteri. Mengembangkan kasih sayang diatara anggota keluarga yang berdampak rasa untuk saling mengasihi dengan sesamanya.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;"><br />5. Fungsi Protektif.</span></span><br /><span style="font-family:verdana;">Keluarga merupakan tempat berlindung individu-individu didalamnya, baik dari secara fisik maupun psikhisanggota keluarga saling melindunginya.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;"><br />6. Fungsi Rekreatif,</span></span> <span style="font-family:verdana;"><br />Suasana keluarga yang harmonis merupakan tempat hiburan yang sehat bagi anggota keluarga, kenyamanan rumah tangga akan memberikan kehangatan, kedamaian, dan kesenangan anggota keluarga ( baiti jannati).</span> <span style="font-style: italic;font-family:verdana;" ><br /><span style="font-weight: bold;"><br />7. Fungsi Ekonomis,<br /></span></span> <span style="font-family:verdana;">Keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat bangsa yang mandiri yang merupakan tumpuan kegiatan perekonomian. Kebutuhan primer dan kebutuhan skunder dari suatu keluarga menjadi tujuan produksi suatu usaha.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;"><br />8. Fungsi Reproduksi</span>.</span> <span style="font-family:verdana;"><br />Dengan berkeluarga yang diikat oleh suatu perkawinan yang sah baik menurut ketentuan agama maupun ketentuan negara, manusia dapat mengembangkan keturunan sebagai generasi penerus kehidupan dan peradaban manusia. </span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Pencapaian fungsi-fuingsi keluarga tersebut akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi pengembangan potensi setiap anggota keluarga, sehingga terwujudlah ketahanan keluarga yang mejadi landasan untuk ketahanan mental dan fisik generasi penerus terhadap tantangan jaman, yang pada gilirannya akan mewujudkan ketahanan social, ketahanan masyarakat dan bangsa.<br /><br /></span><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >V. PERAN IBU DALAM PENCEGAHAN ANAK BERMASALAH.</span><br /><span style="font-family:verdana;">Kehadiran seorang Ibu untuk mendampingi pertumbuhan baik secara phisik maupun psikis anak menjadi sangat penting ketika kita berharap generasi mendatang menjadi generasi yang pintar, cakap, tangguh dan santun. Ini disebabkan karena seorang ibu, memahami betul anak tentang anaknya.<br /><br />Bukankah Ibu dan Anaknya tersebut pernah mengalami ”hidup bersama dan tak terpisahkan” selama sembilan bulan saat ia mengandungnya? Sebagaimana difirmankan Allah SWT <span style="font-style: italic;">“…Wakham luhu wafisa luhu syalasyuna syahron….” </span>(…mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,…) (QS. Al – Ahqaaf : 15).<br /><br />Disamping itu seorang Ibu pula yang memberi kehangatandan kasih sayang yang pertama kalinya untuk kehidupannya, dengan memberi asupan makan dengan ” ASI ” nya, Fimna Allah SWT : “<span style="font-style: italic;">Walwalidatu yurdzikna auladahunna khaulaini kaamilaini…“</span> (Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan - QS. Al-Baqarah : 233 ). Jadi dari sinilah mestinya antara Ibu dan anaknya sudah ada ikatan psikologis yang kuat, sehingga kondisi ini memberikan modal yang besar bagi proses internalisasi kehidupan spiritual, sosial dan budaya seorang anak.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Ketika lahir, seorang anak merupakan makhluk yang tidak berdaya dan amat tergantung pada orang yang terdekat dengan dirinya. Dan, orang terdekat itu adalah ibunya, karena kebutuhan pangannya harus dipenuhi dari air susu ibunya. Menurut Neuman (1990) usia 20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut Neuman primal relationship yaitu hubungan yang terbentuk diawal kehidupannya.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Dalam pandangan ahli social learning maka apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya merupakan proses yang pengadobsian perilaku dan sikap oleh si anak melalui proses <span style="font-style: italic;">social-modelling,</span> model-model kehidupan social yang diperankan oleh ibunya. Bagaimana suasana ibu mengasuhnya, apakah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah dengan kasar dan amarah serta penolakan akan membentuk perilaku manusia muda tersebut dikemudian hari. Itulah sebabnya posisi Ibu adalah sebagai pendidik pertama dan utama bagi generasi manusia.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Tumbuhnya kesadaran akan pentingnya tugas-tugas ibu dalam memberikan pendidikan dan pembimbingan terhadap anak-anaknya yang tak tergantikan oleh siapapun ini, sudah menjadi gerakan baru di negara maju, seperti Amerika, yang merupakan pencetus pertama kali gerakan feminisme, ) yaitu gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria) yang dipelopori oleh aktivis sosialis utopis Charles Fourier pada tahun 1837 (kalau di Indonesia kita kenal RA. Kartini, Dewi Sartika dan lain-lain).</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Kini mereka menggiatkan gerakan kembali kerumah atau <span style="font-style: italic;">“ back to family “,</span> hal ini dipicu oleh meluasnya syndrome <span style="font-style: italic;">“Cinderella Complex” </span>yaitu perasaan yang gamang sebagai <span style="font-style: italic;">“public women”</span>. Untuk mewujudkan keinginannya itu, mereka mendirikan kelompok yang ia beri nama <span style="font-style: italic;">“Moms Offering Mom Support Club“</span> Tahun 1983, kemudian karena responnya bagus maka tahun 1984, didirikannya Yayasan <span style="font-style: italic;">“Mothers at Home”,</span> kemudian ada lagi Yayasan <span style="font-style: italic;">“Mothers & More” </span> yang didirikan tahun 1987, dan resposnnya terus meningkat. Dari semua ini, yang penting kita ambil pelajarannya adalah, bahwa pandangan dunia kepada kaum ibu telah mengalami perubahan paradigma, bahwa perannya sebagai ibu dari anak-anaknya tetap menjadi penting tak bisa tergantikan, walau ia menjadi wanita karir dibidangnya masing-masing. Di Indonesia, saat memperingati Hari Ibu 22 Desember 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengkampanyekan <span style="font-style: italic;">“Gerakan Kembali Ke Rumah” </span> (<span style="font-style: italic;">al ruju' ila al usroh</span>). namun gaungnya kurang mendapat respon dari kaum ibu sendiri (Republika, 16/12/2004).</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Kembali ke rumah, melakukan fungsi domestiknya, tidak selalu diartikan melepas perannya diwilayah public. Tetapi yang penting adanya penyadaran dini bahwa, naluri keibuannya dibutuhkan oleh anak-anaknya dirumah. Pada aspek psikologi perkembangan anak, untuk memahi keseluruhan karaketeristik dan pola tingkah laku anak, perlu dilakukan penelusuran kemampuan sumber pembawaan dan kemampuan sumber perolehan. Kemampuan bawaan atau kapasitas seseorang anak dipengaruhi oleh genetikanya, dan kemampuan yang diperoleh karena proses belajar atau abilitas (seperti internasilsasi, sosialisi, interaksi, edukasi dan advokasi, dll). Faktor Kapasitas dan abilitas anak sangat dipengaruhi oleh factor keturunan, factor lingkungan, factor sosiso ekonomis atau hygioenis baik pada masa prenatal (masih dikandungan) maupun postnatal, setelah dilahirkan. </span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Membentuk prilaku anak yang sehat dan produktif, yang dilakukan melalui proses abilitas atau belajar akan menampakkan pengaruhnya pada tingkah laku yang bersifat koknitif, konatif, afektif, dan motorik yang dimanisfetasikan dalam bentuk pengetahuan, pengertian, kebiasaan, ketrampilan, apresiasi, emosional, hubungan social, jasmani, etis/budi pekerti dan sikap/attitude. Dan semua itu tidak cukup diperoleh dari pendidikan formal baik mulai jenjang PAUD (pendidikan anak usia dini) atau apapun namanya sampai jenjang tertinggi. </span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Lebih-lebih dalam kondisi sekarang ini, berkembang persepsi umum, bahwa kecerdasan intelektual yang mengandalkan kemampuan berlogika menjadi target pendidikan yang diburu para orang tua untuk anaknya. Orang tua merasa bangga dan berhasil mendidik anak, bila melihat anak-anaknya mempunyai nilai rapor yang bagus, menjadi juara kelas. Tentu saja hal ini tidak salah, dan menjadi harapan setiap orang tua, tetapi tidak juga benar seratus persen. Karena beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual berkontribusi lebih besar bagi “kesuksesan hidup” seorang anak. Penelitian Daniel Goleman (1995 dan 1998) memperlihatkan bahwa kecerdasan intelektual hanya memberi kontribusi 20 persen terhadap kesuksesan hidup seseorang. Yang 80 persen bergantung pada kecerdasan emosi, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritualnya. Bahkan dalam hal keberhasilan kerja, kecerdasan intelektual hanya berkontribusi empat persen. Kecerdasan emosional, kecerdasan social dan kecerdasan spiritual ini, banyak membutuhkan peran orang tua, lebih-lebih peran ibunya.</span> <span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" ><br /><br />VI. PENUTUP</span> <span style="font-family:verdana;"><br />Dalam memperingati hari Ibu 22 Desember 2010 ini, mari dimaknai dengan merenung kembali tentang gagasan “Gerakan kemabali Ke Rumah” dari MUI, atau mengapa negara-negara maju telah melakukan gerakan yang tidak populis dengan <span style="font-style: italic;">“back to family”</span>. Tentu semua ini berkaca dari perkembangan kondisi jaman yang yang telah berbalik arah, bahwa ketidak berdayaan anak yang tanpa pendampingan orang tua, memliki kecenderungan terjadinya kemerosotan kemampuan emosional maupun social dasar. Anak cenderung menjadi pemarah, pemurung, gampang resah, emosinya labil dan kurang patuh.<br /><br />Harus kita akui, bahwa generasi bangsa kini banyak menampilkan anak-anak cerdas, bahkan mampu menunjukan kecerdasannya di tingkat dunia dalam berbagai bidang keilmuan dan ketrampilan. Namun tidak bisa dipungkiri, seperti data yang dilansir BKKBN maupun Kementrian Kesehatan seperti diatas, banyak juga anak generasi bangsa ini yang terjerumus maka tindak criminal, penyalahgunaan narkoba, sek bebas, anarkhis dan memeiliki kenekatan yang tinggi dalam bunuh diri.</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Selamat Hari Ibu tahun 2010, kita selalu memohon agar kita dianugerahi anak-anak yang soleh dan soleha <span style="font-style: italic;">"Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". </span> (QS. Al-A’faar : 189).</span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Marilah kita panjatkan do’a kehadirat Allah SWT demi anak-anak kita seperti do”a Lukman untuk anak-anaknya : <span style="font-style: italic;">“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. “</span> ( QS. : Lukman : 17-18) ***(Malang, 22 Desember 2010) </span> <span style="font-family:verdana;"><br /><br />Daftar Pustaka :</span> <span style="font-family:verdana;"><br /></span><ol><li><span style="font-family:verdana;">Effendi, Drs. E. Usman, Dkk. Pengantar Psikologi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1985</span> </li><li><span style="font-family:verdana;">SURYA, Surat kabar, Edisi, 29 Nopember 2010</span> </li><li><span style="font-family:verdana;">ww.republika.co.id ( Republika, 16/12/2004)</span> </li><li><span style="font-family:verdana;">www.indonesia-ottawa.org.</span> </li><li><span style="font-family:verdana;">Zakia Daradjat, Remaja Harapan dan Tantangan, Rineka Cipta, Jakarta, 1994</span></li></ol> </div>Violamhttp://www.blogger.com/profile/10603652742350258155noreply@blogger.com0