Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

DASAR-DASAR MANAJEMEN DAN STANDAR PELAYANAN PANTI.

Oleh : Dra. Lamsari Sitompil, MM


A. PENDAHULUAN.
Kebijakan Pemerintah dalam menangani Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), diarahkan kepada upaya penyelamatan, pemulihan dan kemandirian dalam mencapai taraf hidup kesejahteraan sosial yang layak, normatif dan manusiawi yang dilaksanakan melalui sistem Panti Sosial dan Non Panti Sosial. Hasil yang dicapai melalui panti-panti sosial dirasakan belum optimal karena perkembangan jumlah dan sebaran permasalahan sosial jauh lebih cepat bila dibanding dengan daya jangkau, kapasitas dan kemampuan pelayanan kesejahteraan social, baik yang dilaksanakan oleh panti sosial milik pemerintah maupun masyarakat.

Walaupun adanya keterbatasan daya jangkau, kapasitas dan kemampuan pelayanan Panti Sosial, namun dengan mencermati perkembangan PMKS, keberadaan panti-panti sosial tetap strategis sebagai salah satu alternatif pelayanan kesejahteraan sosial yang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam penanganan PMKS.

B. PANTI SOSIAL
Panti Sosial yang dalam UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, disebut sebagai Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yaitu organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Panti sosial atau Lembaga Kesejahteraan Social memiliki posisi strategis, karena memiliki tugas dan tanggungjawabnya yang mencakup 4 kategori, yaitu meliputi :
(1) Bertugas untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial penyandang masalah dengan melakukan deteksi dan pencegahan sedini mungkin ;

(2) Bertugas melakukan rehabilitasi sosial untuk memulihkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab terhadap diri dan keluarganya; dan meningkatkan kemampuan kerja fisik dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendukung kemandiriannya di masyarakat ;

(3) Bertugas untuk mengembalikan PMKS ke masyarakat melalui penyiapan sosial, penyiapan masyarakat agar mengerti dan mau menerima kehadiran kembali mereka, dan membantu penyaluran mereka ke pelbagai sektor kerja dan usaha produktif ; dan

(4) Bertugas melakukan pengembangan individu dan keluarga, seperti mendorong peningkatan taraf kesejahteraan pribadinya; meningkatkan rasa tanggungjawab sosial untuk berpartisipasi aktif di tengah masyarakat; mendorong partisipasi masyarakat untuk menciptakan iklim yang mendukung pemulihan; dan memfasilitas dukungan psiko-sosial dari keluarganya.

Sedangkan fungsi utamanya, antara lain sebagai : tempat penyebaran layanan; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya (dalam sistem rujukan/referral system) dan tempat pelatihan keterampilan.

Panti Sosial sebagai lembaga pelayanan kesejahteraan sosial, dalam melaksanakan kegiatannya terikat dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan Panti Sosial dalam praktek pekerjaan sosial (Lampiran I Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 50/HUK/2004) , yaitu :
  1. Mengacu kepada rambu-rambu hukum yang berlaku ;
  2. Memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan ;
  3. Menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat ;
  4. Menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan
  5. Menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan ;
  6. Menyediakan pelayanan kesejahteraan sosial berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya ;
  7. Memberikan kesempatan kepada klien untuk berpartisipasi secara aktic dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan ;
  8. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial kepada pemerintah atau masyarakat.
Gambaran mengenai tanggungjawab, fungsi dan prinsip-prinsip panti-panti social atau Lembaga Kesejahteran Ssoail seperti yang diuraikan di atas akan dapat dilaksanakan dengan baik jika seluruh komponen yang terlibat dalamnya telah memahami bagaimana mengelola panti dengan baik serta mengetahui dan memahami standar pelayanan panti.

Dengan manajerial pengelolaan yang baik dan mematuhi standar pelayanan sebuah panti, serta didukung dengan sumber daya profesional yang ada di dalamnya, sarana dan prasarananya, maka visi dan misi panti akan dapat diwujudkan.

C. DASAR-DASAR MANAJEMEN.
Manajemen panti memang memerlukan pendekatan khusus karena memiliki karakteristik yang unik, karena kita mengelola suatu obyek manusia penyandang masalah. Karena itu pendekatan teori majajemen saja tidak cukup, harus pula dilengkapi tentang pengetahuan kesejahteraan social.

Panti sebagai suatu lembaga (institusi/organisasi) sebetulnya mirip suatu makhluk hidup. Mengapa? Karena ia adalah kumpulan manusia. Manusia yang bersatu untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu kita tidak bisa memandang panti sebagai benda mati yang bisa diperlakukan seenaknya. Diperlukan suatu perawatan khusus agar tetap hidup dan berkembang.

Berangkat dari pemikiran itu, prinsip-prinsip manajemen pengelolaan panti sesungguhnya adalah manajemen orang-orang didalamnya. SDM merupakan faktor paling penting dalam keberlangsungan hidup panti. Manusia adalah pendiri, perancang, pekerja, pengamat, pengkritik, pemutus suatu organisasi panti. Tanpa mereka tidak ada artinya panti tersebut. Oleh karena itu konsep manajemen pengelolaan panti haruslah berpusat pada manusia.

Setidaknya ada tiga hal yang merupakan prinsip pokok dalam manajemen, yakni planning, actuating, dan controlling. Prinsip-prinsip pokok ini harus dilakukan dengan melibatkan organ-organ dalam panti.

1. Planning
Planning/perencanaan adalah hal utama yang harus dilakukan dalam manajemen. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang "begin from the end". Kita tetapkan tujuan bersama yang ingin dicapai.

Tujuan adalah pelita yang menunjukkan jalan bahkan di kegelapan malam. Tetapkan visi dan misi panti. Yang penting adalah penetapan tujuan, visi, dan misi panti ini harus dilakukan bersama-sama oleh pengurus panti. Minimal tidak dilakukan sendirian, agar semua pelaku yang terlibat dalam mengelola panti memiliki sikap, pemahaman, dan motivasi yang sama dalam mewujudkan tujuan, visi dan misi panti.

Jangan ragu dalam menetapkan tujuan, visi, dan misi. Seorang yang bermimpi besar dan telah berusaha keras untuk mewujudkannya namun tidak bisa sepenuhnya terwujud, masih lebih baik daripada orang yang bermimpi kecil dan hanya bisa mewujudkan sebagian saja.

2. Actuating
Actuating/pelaksanaan adalah roh dari organisasi panti. Omong kosong saja jika perencanaan tidak diikuti dengan aksi yang sesuai. Implementasi adalah sama pentingnya dengan perencanaan. Tanpa pelaksanaan yang baik rencana akan hancur berantakan tanpa sempat mencapai tujuan.

Oleh karena itu perlu adanya pendelegasian dan pembagian tugas yang tepat untuk merealisasi rencana besar tersebut. Untuk menunjuk orang yang tepat di tempat yang tepat perlu adanya komunikasi terus menerus diantara para peneglola panti. Dengan adanya komunikasi, kompetensi seseorang akan dapat diketahui. Selain itu komunikasi sangat penting dilakukan antara planner (perencana) dan actuator (pelaksana).

3. Controlling.
Controlling/pengawasan adalah kunci dalam manajemen. Walaupun pendelegasian adalah hal yang mutlak dalam organisasi, tetapi pendelegasian bukanlah berarti menyerahkan segala urusan tanpa kendali.

Seorang yang buta niscaya akan dapat berjalan dengan normal jika diberitahu jalan yang harus dilewatinya. Begitupun orang-orang dalam panti, seburuk-buruknya sistem manajemen jika ada kontrol dan umpan balik yang rutin dilakukan maka hasilnya masih dapat diterima.

Selain yang tiga hal diatas, beberapa teori tentang fungsi manajemen banyak dikemukakan seperti : Hendry Fayol, fungsi manajemen meliputi : Planing, Organizing, commanding, coocordinating dan Controling. Menurut GR. Terry : Planning, Organizing, Actuating, dan Controling.

Sedang Menurut H. Koontz dan O' Donel : Planning, Organizing, staffing, directing, controlling. Namun, unsure pokok dari manajemen ada tiga tadi, planning, actuating dan contrioling.

Ada suatu hal yang perlu diingat bahwa haruslah ada sistem reward and punishment dalam manajemen pengelolaan panti. Orang yang berprestasi patut diberi penghargaan dan sebaliknya orang yang melakukan kesalahan sebaiknya diingatkan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Ini penting sebab, selain hal tersebut sebagai tindak lanjut dari pengawasan/control, sistem ini akan memacu orang-orang dalam panti untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya karena merasa dihargai. Hargai prestasi sekecil apapun dan jangan biarkan kesalahan sekecil apapun. Segala sesuatu yang besar dimulai dari yang kecil.

Tetapi ada hal yang penting namun seringkali terlewatkan oleh banyak manajer. Yakni pentingnya menyentuh kebutuhan akan kepuasan hati (emosi) manusia. Kerelaan hati yang terekspesi dalam “cinta” akan pekerjaanya”, merupakan daya yang besar bagi keberlangsungan mengelola panti, ini seringkali dilupakan dalam manajemen organisasi pada umunya.

Ada dua hal yang bisa membuat orang total dalam suatu hal, yakni adanya factor ‘cinta’ dan factor ‘keuntungan’. Orang bilang ‘cinta’ itu buta. Maka jika orang telah merasakan ‘cinta’ terhadap pekerjaannya dia akan ‘buta’ atau melupakan kelelahan, kesusahan, penderitaan yang dirasakan dan akan mencurahkan segenap waktunya untuk hal yang dicintainya.

Jangan ragu-ragu bagi seorang manajer untuk melakukan pendekatan personal dengan orang-orang dalam organisasi seperti menjenguk jika ada yang sakit, menanyakan kabar, memberi hadiah, melontarkan pujian, dan sebagainya. Perhatikan kebutuhannya dan berempatilah terhadap kesusahannya.

Hal-hal ini mungkin kedengarannya remeh tetapi sebenarnya ini solusi yang jitu bagi manajemen pengelolaan panti, yang memang bergerak dibidang kesejahteraan social, yang memerlukan rasa empathi yang kuat.

Raca cinta terhadap panti, akan menjadi perekat yang sangat kuat bagi keutuhan organisasi/panti. Manajemen pengelolaan panti yang efektif akan menghasilkan kenerja anggota yang baik begitu juga dengan tujuan organisasi akan terrealisaikan dengan baik pula. Adapun indicator kinerja adalah ukuran kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujaun yang telah itetapkan dengan memperhatikan indicator masuk (Input), Keluar (Output), hasil ( outcomes), manfaat ( benefit), dan dampak (infacts).

D. STANDARISASI PANTI.
Sebelum dilakukan pembahasan tentang standar pelayanan panti, ada baiknya kita uraian dulu tentang standarisasi panti yang telah dituangkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial RI. Nomor : 50/HUK/2004 tentang Standardisasi Panti Sosial dan Pedoman Akreditasi.Panti Sosial, sebagai landasan untuk menetapkan standar pelayanan panti.

Standard panti sosial adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lainnya yang sejenis. Adapun yang dimaksud dengan panti sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas SDM dan memberdayakan para penyandang masalah kesejahteraan sosial ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental, maupun sosial.

Ada dua macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar khusus. Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial jenis apapun. Sedangkan standar khusus adalah ketentuan yang memuat hal-hal tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial dan/atau lembaga pelayanan sosial lainnya yang sejenis sesuai dengan karakteristik panti sosial.

Standar umum panti sebagaimana dimaksud adalah :

1. Kelembagaan, meliputi :
  • Legalitas Organisasi. Mencakup bukti legalitas dari instansi yang berwenang dalam rangka memperoleh perlindungan dan pembinaan profesionalnya.
  • Visi dan Misi. Memiliki landasan yang berpijak pada visi dan misi;
  • Organisasi dan Tata Kerja. Memiliki struktur organisasi dan tata kerja dalam rangka penyelenggaraan kegiatan.

2. Sumber Daya Manusia, mencakup 2 aspek :
a. Aspek penyelenggara panti, terdiri 3 unsur :
  • Unsur Pimpinan, yaitu kepala panti dan kepala-kepala unit yang ada dibawahnya.
  • Unsur Operasional, meliputi pekerja sosial, instruktur, pembimbing rohani, dan pejabat fungsional lainnya.
  • Unsur Penunjang, meliputi pembina asrama, pengasuh, juru masak, petugas kebersihan, satpam, dan sopir.

b. Pengembangan personil panti
Panti Sosial perlu memiliki program pengembangan SDM bagi personil panti.

3. Sarana Prasarana, mencakup :
  • Pelayanan Teknis. Mencakup peralatan asesmen, bimbingan sosial, ketrampilan fisik dan mental.
  • Perkantoran. Memiliki ruang kantor, ruang rapat, ruang tamu, kamar mandi, WC, peralatan kantor seperti : alat komunikasi, alat transportasi dan tempat penyimpanan dokumen.
  • Umum. Memiliki ruang makan, ruang tidur, mandi dan cuci, kerapihan diri, belajar, kesehatan dan peralatannya (serta ruang perlengkapan).

4. Pembiayaan
Memiliki anggaran yang berasal dari sumber tetap maupun tidak tetap.

5. Pelayanan Sosial Dasar
Memiliki pelayanan sosial dasar untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien, meliputi : makan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, dan kesehatan.

6. Monitoring dan Evaluasi, meliputi :
  • Monev Proses, yakni penilaian terhadap proses pelayanan yang diberikan kepada klien.
  • Monev Hasil, yakni monitoring dan evaluasi terhadap klien, untuk melihat tingkat pencapaian dan keberhasilan klien setelah memperoleh proses pelayanan.

E. STANDAR PELAYANAN PANTI.
Standar khusus panti seperti yang tertuang pada keputusan Menteri Sosial RI. Nomor : 50/HUK/2004 tersebut, merupakan bentuk-bentuk pelayanan yang akan diberikan oleh panti. Untuk itu perlu ditetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk masing-masing bentuk pelayanan tersebut.

Standar Pelayanan Minimal (SPM) standar kualitas/mutu untuk menjembatanii terwujudnya pelayanan sosial yng diberikan yang layak secara keilmuan bagi kelayan. Kata ’minimal’ merujuk pada kewajiban tanggung jawab serta tindakan-tindakan posisif yang setidaktidaknya harus dilampai/dijalankan, bukan diterjemahkan sebagai kelonggaran negatif yang membolehkan pelayanan dengan apa adanya atau sekedarnya. SPM sebagai dasar menuju pada Pelayanan Prima kemudian pada Pelayanan Berkualitas.

Standar Pelayanan Panti, disusun dan ditetapkan oleh para stakeholder panti yang bersangkutan secara bersama-sama dan menjadi pedoman operasinal pelayanan panti. Stantar pelayanan tersebut sekurang-kurang membuat hal-hal sebagaimana yang ada pada Standar Khusus Panti Sosial, berupa kegiatan pelayanan yang terdiri dari tahapan sebagai berikut (disesuaikan jenis pelayanan sosial masing-masing panti ) :

1. Tahap Pendekatan Awal.
Tahap pendekatan yang merupakan tahap persispan ini meliputi : Sosialisasi program, Penjaringan/penjangkauan calon klien, Seleksi calon klien, Penerimaan dan registrasi, dan Konferensi kasus (case conference ). Untuk ini dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut :
  • a. Penjemputan (untuk yang perlu dilakukan penjelmputan) atau penerimaan (bagi kelayan yang datang sendiri) oleh Peksos sebagai upaya menciptakan kontak awal/pendahuluan denga kelayan (pengenalan untuk pendekatan diri dua pihak)
  • b. Pemeriksaan dokumen kelayan oleh petugas Peksos/panti.
  • c. Menetapkan persyaratan kelayan yang akan memperoleh pelayanan panti
  • d. Seleksi/pemeriksaan awal calon kelayan (kesehatan, motivasi, kesesuaian masalah dengan pelayanan panti, dll). Dan biayanya ditetapkan menjadi tanggung jawab siapa ?
  • e. Penetapan kelayan terpilih dari seleksi kelayan yang dilakukan;

2. Tahap Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (Assesment),
Assesment yang termasuk tahap persiapan, dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai latar belakang permasalahan kelayan, juga yang terkait dengan bakat, minat, potensi-potensi diri yang dimilikinya, kemampuan, harapan dan cita-cita kedepannya yang dapat digunakan untuk mendukung upaya pemecahan masalah serta upaya-upaya untuk mengembangkan kemampuan kelayan.

Kegiatan Assesment tersebut meliputi :
  • a. Analisa kondisi kelayan, keluarga kelayan, dan lingkungan sosial/ masyarakat kelayan.
  • b. Karakteristik masalah, sebab dan implikasi masalah yang dihadapi kelayan
  • c. Kapasitas mengatasi masalah dan sumber daya
  • d. Konferensi kasus

Misalnya, kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan seperti :
  • Mendalami seberapa jauh/luas permasalahan yang dihadapi kelayan;
  • Mengidentifikasi seluruh potensi kelayan, baik kelemahan maupun kemampuan yang dimiliki dan lingkungannya.
  • Merencanakan penentuan program pelayanan sesuai hasil indentifikasi permasalahan yang dihadapi kelayan

Assesment dilakukan dengan wawancara dan observasi terhadap kelayanan, keluarga kelayan, dan lingkungan kelayan. Hasil yang diharapkan adalah untuk mendapatkan data dan informasi yang terkait dengan bakat, minat, potensi-potensi diri yang dimilikinya, kemampuan, harapan dan cita-cita kedepannya.
Tahapan assesment dianggap cukup kalau, apabila : telah dapat ditetapkan klasifikasi permasalahan yang dihadapi kelayan ; telah dapat dirumuskan rencana pelayanan dan rehabilitasi dengan dukungan data yang jelas ; dan tersedia bukti fisik adminsitrasi dari semua kegiatan assesment yang telah dilakukan.

3. Tahap Perencanaan Pelayanan.
Pada tahap perencanaan pelayanan terhadap kelayan dari panti yang bersangkutan adalah yang meliputi : Penetapan tujuan pelayanan dari panti ; Penetapan jenis pelayanan panti ; dan Sumber daya yang akan digunakan. ( sesuai dengan masing-masing jenis pelayanan sosial yang dilakukan oleh panti ).

4. Tahap Pelaksanaan Pelayanan di Panti.
Tahap ini merupakan kegiatan lanjutan dari ditetapkannya kelayan untuk menerima pelayanan di panti, yang pelaksanaannya dititik beratkan pada profesi pekerjaan sosial dan didukung oleh pelatih atau instruktur dari profesi lain untuk menunjang proses rehabilitasi kelayan.

Tahap pelaksanaan pelayanan kelayan di dalam panti , dibagi dalam dua bagian, yaitu Pelayanan Sosial dan Pelayanan Rehabilitasi.

a. Pelayanan Sosial, yang diberikan di dalam panti dimaksudkan agar kebutuhan fisiologis kelayan tercukupi, sehingga dapat mengikuti semua program pemulihan yang telah ditetapkan oleh panti. Pelayanan sosial yang diberikan meliputi :
  • (1) Pelayanan Pangan, SPM yang terkait dengan pelayanan pangan ini adalah makan diberikan 3 kali dalam satu hari, panti menetapkan daftar menu dan mengenatuhi ahli gizi / atau dokter untuk jangka waktu setiap 1 minggu atau 10 hari yang akan dijadikan acuan bagi petugas masak; Menu disusun dengan memperhatikan aspek, gizi, kesehatan dan kebersihan. Misalnya dibuat Tabel Kebutuhan Sehat Untuk Menu makanan Kelayan setiap hari per kelayan/orang : Waktu Jenis menu Ukuran Kadar kalori(terdiri Pagi, Siang, Sore ) Nasi Lauk, Sayur, minum/Susu, dll ) gram kaloriJumlah kalori

  • (2) Pelayanan Papan, SPM yang terkait dengan pelayanan tempat tinggal kelayan yang ada dipanti berupa apa (asrama, dll), untuk setiap kamar berapa orang, fasilitas kamar meliputi apa saja (lemari, meja kursi, tempat tidur lengkap dengan kasur,bantal, selimut, sprei, sarung bantal, ventilasi udara cukup, lampu penerangan dll.)
  • (3) Pelayanan Kesehatan, SPM yang terkait pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada kelayan selama di panti baik untuk pemeriksaan rutin (berapa kali dalam satu bulan) maupun perawatan bila kelayan sakit ringan atau sakit berat )
  • (4) Pelayanan Kebutuhan Hidup Sehat, SPM yang terkait pelayanan ini berupa standar hygiene yang diberikan panti berupa kebutuhan hidup sehat di panti yang meliptui : persediaan air bersih (untuk mandi, dan minum) ; tersedianya MCK yang terjaga kebersihannya ; tersedianya sarana kesehatan (P3K); Saluran pembuangan yang baik, sirkulasi udara yang sehat, kegiatan olah raga yang teratur, dll.

b. Pelayanan Rehabilitasi.
Pelayanan ini dimaksudkan sebagaimana yang ditetapkan tujuan pelayanan panti (dalam perencanaan pelayanan) yaitu antara lain untuk membentuk dan merubah perilaku phisik dan psichys (fisik dan mental) dan perilaku sosial kelayan (Sesuai dengan permasalahan kelayan ). Kemudian dalam SPMnya ditetap mengenai waktu pelayanan (berapa hari/minggu/bulan atau tahun). Disusun jadwal kegiatan (bimbingan) yang diberikan kepada kepalayan, misalnya dengan membuat daftar layanan sebagai berikut : (No. Pukul / Jam Uraian Kegiatan/Bimbingan Keterangan )

Disusn pula SPM bentuk-bentuk kegiatan/bimbingan yang diberikan kepada kelayan, yang meliputi : Bimbingan Individu ; Bimbingan Kelompok ; Bimbingan Sosial ; Penyiapan Lingkungan Sosial ; Bimbingan Mental Spiritual/Psikososial; Bimbingan Pelatihan Ketrampilan ; Bimbingan Fisik Kesehatan; Bimbingan Pendidikan.

SPM untuk Bimbingan fisik Kesehatan, kelayan diberikan bimbingan berupa : kegiatan olah raga ; kebersihan lingkungan, dan SKJ ( tentukan frekuensi kegiatannya, setiap hari / setiap hari apa dan jam berapa )
SPM untuk Bimbingan Mental Spiritual ditetapkan balam bentuk : mental keagamaan sesuai dengan keyakinannya ; harus menjalankan ibadah agama sesuai dengan keyakinannya. Bagi yang beragama Islam ada kegiatan pengajian setiap ( kapan), sholat dilakukan secara berjamaah, dll.

5. Tahap Pasca Pelayanan, terdiri dari :
  • a. Penghentian Pelayanan. Dilakukan setelah klien selesai mengikuti proses pelayanan dan telah mencapai hasil pelayanan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.
  • b. Rujukan. Dilaksanakan apabila klien membutuhkan pelayanan lain yang tidak tersedia dalam panti.
  • c. Pemulangan dan Penyaluran. Dilaksanakan setelah klien dinyatakan berhenti atau selesai mengikuti proses pelayanan.
  • d. Pembinaan Lanjut. Kegiatan memonitor/memantau klien sesudah mereka bekerja atau kembali ke keluarga.
  • e. Terminasi, dilaksanakan sehubungan dengan kondisi kelayan yang sudah mampu memenuhi kebutuhan sosialnya dan terlepas dari masalah yang pernah dihadapi.

Bentuk-bentuk pelayanan pasca pelayanan dipanti, ditetapkan SPM nya sebagai pedoman petugas.

Misalnya:
  • SPM untuk Penghentian Pelayanan ini, kelayan yang sudah selesai mendapatkan pelayanan, apabila kondisi dan mental kelayan dipandang sudah cukup dapat bersosialisasi baik dilingkungan keluarga, kerja/sekolah dan masyarakat.
  • SPM untuk Rujukan, ditetapkan prosedure rujukan yang akan dilakukan dan bagaiamana hak dan kewajiban masing-masing pihak (panti dan kelayan/keluarganya)
  • SPM untuk Pemulangan dan penyaluran, ditetapkan bagaimana prosedurenya kepulangannya ; kemudian kepulangannya apakah diantar atau keluarga kelayan dihubungan agar menjemput kelayan, dll. (semua itu disesuaikan dengan pelayanan yang disediakan oleh panti ). Dan diberikan akses kebidang pekerjaan sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki/diterima dari panti.
  • SPM untuk Pembinaan Lanjut, ditetapkan yang terkait dengan pembinaan lanjut yang bertujuan untuk memperkuat stabilitas perubahan dan peranan kelayan dalam melaksanakan fungsi sosialnya. (misalnya : untuk jangka waktu 1-2 bulan setelah pulang dari panti, petugas masih melakukan bimbingan lanjutan ; Melakukan monitor dan evaluasi mantan kelayan panti dalam mengembangkan hasil rehabilitasi dari panti ; membantu mendapatkan akses ke program-program ekonomi produktif, dll.
  • SPM untuk Terminasi, ditetapkan hal-hal yang terkait dengan persyaratan kondisi kelayan yang sudah dapat dilakukan terminasi, seperti : Telah mampu menyelesaikan masalahnya secara mandiri ; telah dapat menyesuaikan diri dengan nilai-nilai serta norma-norma sosial yang berlaku dilingkungan masyarakat.

Untuk melengkapi Standar Pelayanan (Minimal) dibuat juga Standar Anggaran Pelayanan Panti, mulai dari Tahap persiapan sampai Tahap Terminasi. Hal ini penting untuk mengukur kinerja pelayanan dengan unsur-unurnya input (penganggaran) output (hasilnya), outcome (manfaat) dan Benefit (dampak) dari pelayanan panti yang diselenggrakan. Karena itu perlu ditetapkan indikator pelayanan panti yang dilihat dari Aspek kelayan, dengan ciri-ciri (indikasi keberhasilan) dan dari Aspek Lingkungan masyarakat dengan ciri-ciri (indikasi keberhasilan).

Misalnya pada aspek kelayan, dengan ciri-ciri : sudah tidak tidak dijalanan lagi (untuk anak jalanan) tidak menggelandang/mengemis (untuk gelandangan/pengemis) sudah tidak minum minuman keras/berhenti dari bnarkoba ; ciri-ciri lain, Sudah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memotivasi diri dan menolak untuk melakukan yang membuat permasalahan seperti sebelumnya ; Telah memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk mendayagukan dan meningkatkan sumber-sumber pelayanan sosiaol sebagai salah satu bentuk pertisipasi mereka untuk dapat membantu dirinya sendiri, keluarga, atau kelompoknya. Dll.

Dari aspek masyarakat, indikasinya seperti : dapat menerima kembali kelayan dan memberi kesempatan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagaimana masyarakat lainnya ; membentuk daya tangkal sumber-sumber permasalahan yang menimbulkan masalah seperti yang yang pernah dialami oleh kelayan ; memberi kesempatan/melibatkan kelayan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, dll.

Sekian, semoga sukses menjalankan tugas-tugas sosial kemanusiaan !! ********














  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH

Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM




A. PENDAHULUAN.

Etika Birokrasi atau Etika Organisasi Pemerintah sejak era reformasi ini menjadi topik bahasan, terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan atau gejala yang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan.

Pemerintah dan arapatur pemerintah yang selalu menjaga kredibilitas dan akuntabilitas yang tinggi adalah menjadi dambaan masyarakat yang menjadi oebyek pelayanan public. Dalam pemerintahan yang demikian ini, iklim keterbukaan, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat akan dapat diwujudkan.


Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan , yaitu fungsi pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat.


Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi atau Etika Organisasi Pemerintahan berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dilaksanakan.


Menjadi permasalahan sekarang ini bagaimana proses penentuan Etika dalam Birokrasi itu sendiri, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana dengan kondisi saat itu dan tempat daerah tertentu yang mengatakan bahwa itu etis saja di daerah kami atau dapat dibenarkan, namun ditempat lain belum tentu.

Dapat dikatakan bahwa Etika Birokrasi sangat terpergantung dari seberapa jauh melanggar di tempat atau daerah mana, kapan dilakukannya dan pada saat yang bagaimana, serta sangsi apa yang akan diterapkan sangsi social moral ataukah sangsi hukum, semua ini sangat temporer dan bervariasi di negara kita sebab terkait juga dengan aturan, norma, adat dan kebiasaan setempat.


Dalam penulisan ini kami akan mencoba membahas tentang apa yang dimaksudkan dengan Etika, mengapa kita memerlukan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dari mana Etika Birokrasi dibentuk dan sejauhmana peraturan Kepegawaian dapat menjadi bagian dari penerapan Etika Birokrasi di negara kita.


B. PENGERTIAN ETIKA
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta minta ditaati pula oleh orang lain.

Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan. Dengan demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan Etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.


Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan (cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan seamangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral, dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak social dengan masyarakat, ini berarti Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.


Menurut Drs.Haryanto, MA. Bahwa Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral. Ini berarti Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perulaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.


Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan normative yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan normative tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut sebagai Etika Birokrasi.


C. ALASAN PENTINGNYA ETIKA DALAM BIROKRASI.
Ketika masyarakat berurusan dengan pelayan public yang diberikan oleh aparat birokrasi berharap diterapkannya ketentuan peraturan yang berlaku dengan penuh tanggung jawab, jujur, transparan dan sopan. Namun kenyataannya masih belum sepenuhnya itu dilakukan. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.

Ada beberapa alasan mengapa Etika Organisasi Pemerintah / Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang kridibel, efisien, efektif, dan akuntabel, hal ini karena : Pertama, masalah – masalah yang dihadapi aparat pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah menumbuhkan berbagai tuntutan kemudahan dan keterbukaan dalam pelayanan public, masalah – masalah publik yang semakin banyak dan komplek yang harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalah yang berkembang birokrasi seringkali dihadapkan pada pilihan – pilihan sulit, dan sering berdimensi baik atau buruk. yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.


Dalam banyak kasus, aparat birokrasi sering dihadapkan pada pilihan yang bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam “grey area “ (abu-abu) seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.


Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar.

Penggunaan kekuasaan hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.


Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.


Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.


Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.


D. DARI MANA ETIKA BIROKRASI DIBENTUK.
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.

Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.


Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam masyarakat.


Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.


Menurut Drs. Haryanto,MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’.


Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.


Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).


Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat birokrasi mudaj tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang menyimpang belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk itu perlu adanya penegasan paying hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya “Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA, tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :


  • 1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
  • 2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentinagn dinas.
  • 3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
  • 4. Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
  • 5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.

Untuk itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi mengacu kepada ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia yang notabenen merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.


E. PERATURAN KEPEGAWAIAN SEBAGAI BAGIAN DARI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI.
Berbicara tentang Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi itu sendiri karena ketika kita Etika Birokrasi didengungkan secara tertulis memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki.

Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para apata birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sessuai aturan yang telah ditetakan.


Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI).


Dengan sendirinya Kode Etik itu dibaca secara bersama – sama pada kesempatan tertentu yang kadang –kadang diikuti oleh suatau wejangan dari seorang pimpinan upacara disebut inspektur upacara ( IRUP ), maksudnya adalah untuk menciptakan kondisi – kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mentalyang diperlukan, juga untuk menciptakan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan upacara – upacara nasional.


Setiap organisasi, demikian juga KORPRI (PNS) ada usaha untuk membentuk Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan bermoral. Namun sampai sekarang belum diketahui sampai seberapa jauhnya dan juga belum dapat dipantau secara jelas dari perbuatan seseorang apakah yang bersangkutan melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena belum jelas batasannya dan apa sangsinya, sehingga benar-benar dapat dipergunakan sebagai ukuran atau criteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak.


Tetapi apapun dan bagaimanapun maksud yang hendak dicapai dengan membentuk, menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yg baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme & lain-lain.


Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan main para aparat Birokrasi.


Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau Aparat Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai berikut :


1. Aturan mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil

Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual, dimana diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsure aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dlam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk mewujutkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu kewajiban dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian.

2. Aturan menegnai kedudukan Pegawai Negeri sipil
Pegawai Negeri sipil adalah unsure aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, mengatur masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan penuh tersebut mengandung pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah aturan yang telah ditentukan.

3. Penghargaan Pegawai Negeri sipil
Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat perlu diberikan penghargaan kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan harapan agar menjadi contoh kepada yang lain dalam melaksanakan tugas.

4. Keanggotaan Pegawai negeri dalam Partai Politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral, supaya terhindar dari kepentingan partai politik, maka sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan memundurkan diri demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi.

5. Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil
Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peratuiran Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan, sangsi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri yang menjadi kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, antara lain mengatur tentang :
  • Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
  • Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji jabatan berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima sangsinya.
  • Menyimpan rahasia negara dan atau rahasi jabatan dengan sebaik-baiknya.
  • Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara.
  • Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material.
  • Mentaati ketentuan jam kerja.
  • Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
  • Bersikap adil dan bijaksana terhadaop bawahannya.
  • Menjadi atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya.
  • Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan kariernya.
  • Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama pegawai dan atasannya.

Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi, yaitu larangan seperti :
  • Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri sipil.
  • Menyalahgunakan wewenangnya.
  • Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara.
  • Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutan.
  • Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan.
  • Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
  • Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah.
  • Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.

Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri yang notabenen merupakan aparat birokrasi.

Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sangsi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis sangsi tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :


1. Hukuman disiplin ringan antara lain :

  • teguran lisan
  • teguran tertulis
  • pernyataan tidak puas secara tertulis.
2. Jenis hukuman disiplin sedang, antara lain :
  • penundaan kenaikkan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
  • penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk paling lama satu tahun.
  • Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
3. Jenis hukuman disiplin berat, terdiri dari :
  • penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling lama satu tahun.
  • Pembebasan dari jabatan.
  • Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil.
  • Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.

Dari sangsi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi atau hukuamn yang telah ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada penegakkan sangsi atas pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sangsi social saja, karena sangsi social hanya efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus tegas berupa sangsi hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di atas.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan segala sangsi yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat membuat aparat birokrasi lebih beretika. Jadi selain etika yang berlaku dalam masyarakat dimana aparat birokrasi merupakan bagian dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus terikat dengan aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi mempunyai aturan main sendiri yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai negeri sipil, serta aturan Kepegawaian yang berlaku dengan memberikan sangsi yang tegas dan nyata terhadap yang melanggarnya. Ini diharapkan dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika dan bermoral.


F. P E N U T U P
Uraian-uraian dari makalah yang disajikan diatas, merupakan konsep ideal yang diharapka dari aparat pelaksana pemerintahan di Indonesia yang merupakan aparat birokrasi di negara kita yang mempunyai tugas dan fungsi pokok untuk melayani masyarakat, mengatur masyarakat dan memberdayakan masyarakat. Fungsi-fungsi ini dapat dilaksanakn dengan baik apabila Aparat Birokrasi tersebut memiliki Etika dalam bekerja.

Etika Birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan baik lewat Sapta Pra Setya Korpri maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Tentang kepegawaian, tetapi lebih dari itu bagaiaman ketentuan-ketentuan tersebut dapat dihayati dan diamalkan dalam berperilaku sebagai Aparat Birokrasi dan yang tidak kalah penting yaitu bagaiman penegakkan hukum atau sangsi yang tegas bagi para pelanggar aturan yang telah disepakati dan ditentukan tersebut. Hukuman atau sangsi perlu ditegakkan secara merata tanpa pandang bulu apakah dia atasan atau bawahan semuanya harus sama di mata hukum.


Masyarakat juga berhak menentukan kode Etik atau aturan dalam masyarakat yang juga turut mengatur keberadaan seorang Aparat Birokrasi di lingkungannya, kalau memang melanggar harus ada komitmen bersama untuk mentaati aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Jadi yang disebut Etika Birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat Birokrasi itu sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah masyarakat dia terikat dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang menjadi lansasan Etika dalam bertindak dan berperilaku dalam melaksanakan tugasnya. *************




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BUDAYA KERJA ORGANISASI PEMERINTAH

Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM



A. LATAR BELAKANG
Suatu keberhasilan keja berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaan. Nilai-nilai yang menjadi kebiasaan disebut dengan budaya, dikaitkan dengan mutu/kualitas kerja maka dinamakan budaya kerja .
Budaya kerja pertama kalai dikenalkan oleh Negara Jepang dalam melakukan manajemen kualitas yang berakar dan bersumber dari budaya yang dimiliki bangsa Jepang dikombinasikan dengan tehnik-tehnik manajemen modern pada tahun 1970an. Keberhasilan Jepang membangun perekonomiannya mendorong bangsa lain ingin meniru dan mengembangkan sesuai dengan budaya yang dimiliki Negara masing-masing.

Bangsa Indonesia sendiri mengembangkan pola Program Pengendalian Mutu Terpadu dan telah berkembang disektor swasta namun kurang mengakar,sehingga kurang mantap keberadaannya ,hal ini dikarenakan manajemen yang kurang menggali nilai-nilai budaya untuk diolah menjadi perilaku manajemen pada saatnya nanti menjadi kebiasaan dan keyakinan untuk bekerja yang lebih baik dan mendapatkan mutu yang diharapkan dan sekaligus dapat membangun SDM yang berkualitas.


B. PENGERTIAN
1. Budaya dan Kebudayaan:
Secara harfiah, pengertian budaya (culture) berasal dari kata Latin ‘colere’ yang artinya mengerjakan tanah atau mengolah ladang, yang merupakan kebiasaan hidup yang dilakukan orang saat itu. Selanjutnya budaya diartikan sebagai cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa (Ashley Montagu & Cristoper Dawson, 1993). Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.

Koentjoroningrat mengartikan budaya sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.


Kebudayaan memiliki tiga wujud, namun dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain, yaitu :


a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai dan norma-norma, peraturan-peraturan dsb. ( wujud ini sebagai wujud idiil, sifatnya bastrak tidak dapat diraba/difoto, lokasinya ada dialam fikiran masyarakat dimana kebudayaan bersangkutan hidup )


b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas aktivitas kelakuan berpola dari mansuia dalam masyarakat. (wujud ini sebagai system social, lebih konkrit karena terjadi disekeliling kita sehari-hari bisa diamati, difoto dan didokumentasikan )


c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. (sebagai kebudayaan fisik, wujudnya lebih konkrit lagi misalnya candi, kantor, pabrik, para ahli dll)


2. Kerja :
Dalam memberikan definisi istilah “kerja” ini dalam budaya organisasi dilakukan dengan mengidentifikasi sebagai berikut :
  1. Kerja adalah hukuman. manusia hidup bahagia tanpa kerja,tetapi Karen berbuat salah maka dihukum harus bekerja bentuk hukuman adalah kerja paksa.
  2. Kerja adalah beban. Hal ini bagi orang yang malas, pekerja yang berada dalam posisis lemah
  3. Kerja adalah Kewajiban. Karena terikat kontrak atau guna memenuhi perintah atau membayar hutang.
  4. Kerja adalah sumber penghasilan. Hal ini jelas kerja sebagai sumber nafkah merupakan anggaran dasar masyarakat umumnya
  5. Kerja adalah kesenangan. Kerja sebagai kesenangan seakan hobi, karena suka kerja (workaholic)
  6. Kerja adalah gengsi atau prestise. Kerja sebagai gengsi berkaitan dengan status social dan jabatan, karena itu jabatan structural lebih diidamkan dari jabtan fungsional.
  7. Kerja adalah aktualisai diri. Kerja disini dikaitkan dengan peran, cita-cita atau ambisi. (ibaratnya, lebih memilih jadi kepala ayam dari pada ekor sapi)
  8. Kerja adalah panggilan jiwa. Kerja disini berkaitan dengan bakat, disini tumbuh profesionalisme dan pengabdian kepada kerja.
  9. Kerja adalah pengabdian kepada sesama. Kerja dilakukan dengan tulus dan tanpa pamrih.
  10. Kerja adalah hidup. Hidup diabdikan dan diisi untuk dan dengan kerja
  11. Kerja adalah ibadah. Kerja sebagai pernyataan syukur atas kehidupan didunia ini, dilakukan seakan-akan kepada dan bagi kemuliaan nama Tuhan bukan kepada manusia
  12. Kerja adalah suci. Kerja harus dihormati dan jangan dicemarkan dengan perbuatan dosa pelanggaran dan kejahatan
3. Budaya Kerja
Adalah suatu falsafah yang didasari oleh suatu pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang tercermin dalam sikap perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat, pandangan dan tindakan yang terwujud sebagai “kerja “ atau “bekerja “ (Sumber : Drs. Gering Supriyadi,MM dan Drs. Tri Guno, LLM )

Sedang Budaya kerja organisasi, adalah manajemen yang meliputi pengembangan, perencanaan, produksi dan pelayanan suatu produk yang berkualitas dalam arti optimal, ekonomi dan memuaskan

Menurt hasil seminar KORPRI 1992, Budaya kerja adalah suatu komponen kualitas mansuia yang sangat melekat dengan identitas bangsa dan menjadi tolok ukur dasar dalam pembangunan ; Budaya kerja dapat ikut menentukan intergritas bangsa dan menjadi penyumbang utama dalam menjamin kesinambungan kehidupan bangsa ; Budaya kerja sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dimilikinya yang mampu mendorong prestasi kerja setinggi-tingginya.

C. TUJUAN DAN MANFAAT BUDAYA KERJA
1. Tujuannya :
Untuk merubah sikap dan perilaku SDM yang ada dapat meningkatkan produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan.

2. Manfaat dari penerapan Budaya Kerja yang baik :
a. meningkatkan jiwa gotong royong
b. meningkatkan kebersamaan
c. saling terbuka satu sama lain
d. meningkatkan jiwa kekeluargaan
e. meningkatkan rasa kekeluargaan
f. membangun komunikasi yang lebih baik
g. meningkatkan produktivitas kerja
h. tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll.

D. PRINSIP BUDAYA KERJA
Dalam suatu oragniassi bekerja melalui serangkaian proses yang saling berkaitan yang terjadi melalui dan melewati batas-batas birokrasi. Kesalahan dalam suatu proses akan mempengaruhi pada kualitas produk akhir ,oleh karena itu jaminan mutu terletak pada kekuatan setiap rangkaian yang berjalan benar sejak pertama pada setiap tahap pekerjaan.
Tujuan fundamental dari budaya kerja adalah untuk membangun SDM seutuhnya agar setiap orang sadar bahwa mereka berada dalam suatu hubungan sifat peran, berkomunikasi secara efektif dan efisien yang menggembirakan.

E. NILAI-NILAI BUDAYA KERJA:
a. Unsur-Unsur Falsafah Budaya Kerja
Falsafah Negara, bangsa dan rakyat Indonesia adalah Pancasila seperti yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945. Implementasi nilai-nilai luhur Pancasila dalam organisasi pemerintah mutlak harus diwujudkan dalam semua tingkatan kepemimpinan. Pola komunikasi yang partisipatif, gaya kepemimpinan yang lebih pada mengajak dari pada memerintah, memberi keteladanan yang baik, mendorong dan memberikan kepercayaan kepada bawahan, serta pengambilan keputusan dengan cara musyawarah merupakan konsekuensi dari keharusan melaksanakan nilai-nilai dari falsafah pancasila tersebut.

Nilai-nilai budaya kerja yang dipengaruhi unsur-unsur falsafah negara tersebut dapat membentuk system kerja dan lingkungan kerja yang : disiplin, efektif, efisien, cepat, pasti, sopan, ramah, penolong, indah, nyaman, dan memiliki produktivitas yang tinggi.

b. Arti dan Makna Nilai Budaya Kerja.
Nilai adalah dasar pertimbangan yang berharga bagi seseorang untuk menentukan sikap dan perilaku dalam menghadapi suatu masalah atau kejadian.
Nilai budaya kerja adalah pilihan nilai-nilai moral dan etika yang dianggap baik dan positif. Nilai tersebut dipedomani secara individu maupun kelompok yang dapat meningkatkan produktivitas dan kinerja dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat.

F. WAWASAN TUGAS ORGANISASI PEMERINTAH
a. Wawasan Tugas.
Wawasan tugas pemerintah merupakan pemahaman terhadap kondisi yang mempengaruhi organisai baik internal maupun eksternal ,untuk memahami wawasan tersebut harus memahami Visi dan Misi organisasi .

Visi adalah gambaran masa depan suatu organisasi yangb realistic, kridibel dan atraktif
. Visi bagi oraganisasi mempunyai makna yaitu:
  • Memberi nilai tambah bagi kehidupan oraganisasi baik secara individu maupun keseluruhan organisasi
  • Membangun komitmen diantara angkatan kerja organisasi untuk bergerak maju menuju masa depan yang lebih baik
  • Mengatasi ketakutan akan kegagalan usaha yang mengarah pada kemajuan dan perbaikan masa depan
  • Menantang setiap kemamapan dan status quo yang merugikan kelangsungan hidup organisasi

Misi : adalah Suatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh instansi pemerintah sesuai yang ditetapkan agar tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.


Ciri-ciri misi yang baik:

  • Memiliki integritas suatu ‘sense of purpose “ sejati yang mendorong organisasi berbuat serta menyatakan hal yang terbaik
  • Harus bermakna dan relevan membuat perbedaan yang jelas bagi person atau kehidupan sehari-hari
  • Bertahan lama dan dapat dipertahanlan diperpanjang serta mampu melanggengkan hubungan-hubungan
  • Mudah dikomunikasikan dan dapat diingat yang memadukan tujuan organisasi dan janjinya pada pelanggan
  • Sederhana
  • Didasari oleh nilai-nilai
  • Mudah diterjemahkan menjadi spesifik
  • Berbeda dapan dapat diingat dan baru tdk hanya mengarah kepada anggota melainkan juga menyegarkan dan member
  • Tidak menguasai kompetensi yang diperlukan organisasi
  • Menarik bersama asama sumber daya dan berbagai bagian oragnisasi
  • Misi yang menciptakan pasar harus mengkaitkan kemanusiaan dan fungsi analitas.
b. Organisasi Pemerintah.
Pengertian organisasi dalam arti statis adalah wadah yang berupa bagan atau struktur, tempat berkumpulnya orang yang melaksanakan tugas. Dalam arti dinamis adalah suatu proses penetapan dan pembagian pekerjaan atau tugas.
Pembatasan tugas dan tanggung jawab serta wewenang hubungan kerja,sehingga memungkinkan orang-orang dapat berinteraksi dalam pelaksanaan tugas secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi

Ada 2 aspek organisasi :

  • Aspek struktur organisasi yang meliputi pengelompokan secara formal dan bagan organisasi
  • Aspek proses perilaku yang meliptuti komunikasi pembuatan keputusan,motivasi dan kepemimpinan
Dalam operasionalnya organisasi pemerintah dapat dibedakan dalam Departemen dan lembaga Non Departemen(LPND) Bentuk organisasi pemerintah merupakan gabungan dari unsur lini, unsure staf dan fungsional.

c. Perubahan.
Setiap manusia harus mau menghadapi perubahan, terutama dalam program Budaya Kerja , masalah perubahan dalam program budaya kerja musuh terberat adalah diri kita sendiri, oleh karena itu kita harus memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan perubahan .

Perubahan merupakan hal yang penting dalam program budaya kerja, karena masalah budaya kerja adalah masalah perilaku kita sendiri. Karena itu dalam membangun budaya kerja kita harus berkomitmen untuk melakukan perubahan pada diri kita berdasar pada empat potensi dasar manusia yang telah dianugerahkan Allah SWT, yaitu :


1). Kesadaran diri : mampu mengambil jarak terhadap diri sendiri dan menelaah pemikiran kita sendiri, tindakan, kebiasaan, memungkinkan kita mennjadi sadar akan nilai-nilai social psikhis dari program yang ada dalam diri kita untuk mencari peluang antara rangsangan dan tanggapan.


2). Hati Nurani : mampu menghubungkan kita dengan perkembangan jaman,merupakan alat pemberi arah dalam hati kita untuk memehami bila bertindak atau merenungkan sesuatu yang tidak sejalan.


3). Kehendak bebas memberikan kemampuan untuk memberikan kekeuatan mengatasi paradigm-paradigma kita utk melawan arus ,memiliki kekuatan utk bertindak berdasarkan hati nurani dan visi.


4). Imajinasi kreatif merupakaan kemampuan untuk melihat kemasa yang akan dating untuk menciptakan sesuatu sesuai dengan prinsip organisasi .


Kempat potensi diatas tersebut tidak akan muncul apabila tidak mendapatkan pembinaan dari lingkungannya, kecuali pada pada potensi diri pribadi, sedangkan pada kelompok akan lebih sulit aktualisasi potensi diri, perlu kondisi tertentu agar potensi bisa menjadi kenyataan perilaku antara lain :

  • Pembentukan karakter yang memuat kekuatan integritas,sifat pendewasaan dan kepedulian social
  • Pemberian ketarmpilan yang mencakup komunikaasi,perencanaan pengorganisasian dan perilaku sibnergistik
  • Penanaman tingkat kepercayaan yang lebih baik untuk mencapai tujuan dan sasaran kelompok/organisasi
  • Mawas diri kesadaran mengukur kemampuan diri,belajar dan sadar untuk memberikan yang lebih baik
  • Tanggung jawab kelompok dimana masing-masing individu menempatkan diri dalam fungsi, peran dan tanggung jawab kelompok
  • Penciptaan struktur dan system yang kondusif agar dapat berjalan dengan mulusdan pembagian tugas dan wewewnag tanggung jawab dengan pedoman pelaksanaan
Apa yang terkandung dalam Budaya kerja ? adalah strategi untuk mencapai keberhasilan masa depan dalam membangun SDM dan organisasi melalui pelatihan alami,

Kekuatan nilai yang tersembunyi berupa kemampuan untuk menyempurnakan atau memperbaiki semua aspek administrasi /manajemen menjadi lebih baik dalam menghadapi tantangan


Kekuatan tersembunyi menjadi kenyataan apabila :

1). Tujuan dirinci menjadi perilaku nyata yang dapat menghasilkan,berarti upaya tsb tindakan yang bermutu

2). Tindakan bermutu tsb dikembangkan ,dipertahankan dan dibina terus menerus sehingga menjadi budaya


3). Tindakan manajemen /administrasi harus dapat mengukur perilaku kerja dan menyelesaikan pekerjan,kepemimpinan berasaskan pada keteladanan pembinaan [elatihan


Potensi kekuatan Budaya dalam manajemen dapat dilihat dari beberapa aspek :
  • Kekuatan, Individu yang menduduki posisi penting atau kunci dalam organisasi
  • Peran , Ketrampilan yang berinteraksi melalui uraian jabatan, prosedur, peraturan dan system (professional)
  • Tugas : Mendorong dinamika untuk melakukan penelitain dan pengembangan (semangat dinamik)
  • Pribadi : Individual dalam struktur kolektif untuk menentukan gotong royong
  • Ketapatan : Bilamana kita mampu mempertemukan Budaya dengan tuntutan eksternal dan hambatan internal(selaras –serasi dan seimbang)
Budaya kerja merupakan suatu komitmen yang luas dalam upaya untuk membangun SDM,proses kerja dan hasil kerja yang lebih baik,hal ini bersumber dari pribadi masing amsing individu yang terkait dalam organisasi kerja itu sendiri.

Seperti nilai apa yang sepatutnya setiap orang akan mempengaruhi kerja mereka,kemudian falsafah yang dianutnya seperti BUDAYA KERJA merupakan suatu proses tanpa akhir atau terus menerus


Upaya penanaman nilai-nilai budaya dalam manajemen / administrasi dapat dilakukan melalui :

  • Struktur organisasi yang benar sesuai dengan tuntutan/tujuan sebagai strategi
  • Melakukan manajemen secara horizontal,lebih banyak yang bersifat kerja sama/kordinasi
  • Memberikan pelayanaan atas dasar strategi yang baik
  • Interaksi atau pergaulan atas dasar silih asah,asih asuh
  • Membuang budaya yang negative dan memeasukan nilai-nilai baru
  • Oreintasi kerja pada peningkatan kualitas
  • Mengembangkan upaya kemitraan/partnership
  • Melakukan gaya kepemimpinan dengan keteladanan
  • Manajemen/administrasi dengan melakukan penyempurnan terus menerus

Dalam hal ini Prof.Edward Deming dalam bukunya “ Out Of Crissis “ berpesan :
  • Tanamkan komitemen pimpinan dalam hal kesetiaan terhadap tujuan perbaikan produk,barang atau jasa
  • Serap dan gunakan pendekatan yang relevan
  • Hentikan memberikan penghargaan terhadap prestasi pegawai/karyawan dalam bentuk uang
  • Hentikan pengawasan hanya diakhir proses untuk mewujudkan mutu produk
  • Sempurnakan secara periodic dan terus meneru proses perencanaan, produksi dan pelayanana
  • Sediakan dan lakukan pelatihan disekitar lokasi kerja
  • Kembangkan pengetahuan dan latihan kepemimpinana partisipatif
  • Kembangkan iklim kerja yang posistif,merangsang inovasi jangan mengancam atau menakut-nakuti, kembangkan rasa saling percaya antar pegawai/karyawan,atasan dan bawahan
  • Jangan menciptakan batas-batas birokratis antara staf dan karyawan/ pegawai
  • Singkirkan kebijakan yang mengecam pegawai/bawahan
  • Pelajari dan terapkan metode perbaiakan dan hindari quota Numerik dalam memecau produksi
  • Janagan meremehkan ketrampilan pegawai tetapi berikan ,tanamkan kebanggan akan ketrampilan kerja yang dimilikinya
  • Laksanakan program diklat secara rutin pada setiap pegawai
  • Libatkan setiap orang yng berada diorganisasi dalam perubahan dan penyempurnaan.
d. Cara kerja Birokrasi.
1). Cara Kerja Tradisonal :
  • a) masih bersifat feodalistik
  • b) ketat pada peraturan
  • c) tertutup
  • d) mempersulit pelayan terhdp orang lain
  • e) menghadapi orang lain penuh curiga
  • f) Suka main hakim sendiri
  • g) membuat peraturan untuk memperkuat diri

2). Cara kerja baru :
  • a) Lebih efektif dan efisien
  • b) Demokratis dan terbuka
  • c) Lebih rasional dan fleksibel
  • d) Lebih desentralisasi

Hal ini untuk menghadapi dan mengantisipasi pada perubahan manajemen dalam pengaruh globalisasi yang menerpa semua Negara termasuk Indonesia. Bila cara kerja baru ini dilakukan dengan benar maka untuk manajemen harus berorinteantasi pada tujuan organisasi lebih efektif dan efisien dengan cara seperti:
  • a) Merumuskan tujuan dan sasaran organisasi secara jelas dan rinci
  • b) Tujuan dan sasaran tersebut dijabarkan dalam bentuk kebijaksanaan dan startegi yang operasional
  • c) Dilaksanakan dengan penuh peran serta semua pihak baik yang berupa kerja sama maupun koordinasi
  • d) Pelaksanaan tsb terus dikendalikan,temuannya dianaliss,kemudian ditindak lanjuti berupa perbaikan atau penyempurnaan secaar terus menerus

Perubahan akan terlihat hasilnya apabila didahului oleh perubahan sikap dan perilaku SDM yang akan menjadi pendukung utama perubahan manajemen.hal ini diperlukan langkah kegiatan yang terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi budaya baru yang dimiliki .

Unsur yang terkandung dalam upaya perubahan meliputi :

  • a. kekuatan motivasi
  • b. memiliki ketrampilan
  • c. memiliki kepribadian
  • d. mampu berperan
Memiliki keempat unsure diatas tidak bisa optimal bilamaana tidak memperhatikan factor manusiawi berupa kejenuhan. Yang dimaksud dengan produktivitas budaya kerja adalah sikap mental yang selalau mencari perubahan atau perbaikan yang telah dicapai dengan menerapkan teori dan metode .

Perilaku manajemen yang mengjasilkan produk bermutu anatara lain :

  • a. kepemimpinana
  • b. perencanaan
  • c. pengorganisasian
  • d. penentuan prioritas
  • e. pendelegasian
  • f. pengendalian
  • g. pemecahan masalah
  • h. pengambilan keputusan
  • i. komunikasi lisan
  • j. komunikasi tertulis
  • k. ketrampilan adminsitrasi
  • l. hubungan antar pribadi
  • m. pemeiharaan keselamatan
  • n. kerumahtanggaan
  • o. ketepatan waktu dan kehadiran

G. PENERAPAN BUDAYA KERJA
1. Organisasi Budaya Kerja.
  • a. Penanggung Jawab. Bertanggung jawab akan keberhasilan pelaksanaan program komitmen.
  • b. Tim Pengarah. Memberikan pengarahan pada fasilitataor /Kelompok BudayaKerja (KBK) agar berjalan sesuai dengan program.
  • c. Fasilitator. Menyebarluaskan Budaya Kerja, membimbing KBK dan melaporkan kegiatan KBK kepada Tim Pengarah.
  • d. Ketua Kelompok. Memimpin jalannya rapat KBK, member motivasi anggota dan melaporkan kegiatan KBK kepada Tim Pengarah
  • e. Anggota KBK. Partisipasi dalam KBK dan Belajar terus agar mampu memecahkan masalah.

2. Komitmen Pimpinan Puncak.
Kegagalan atau keberhasilan program Budaya kerja sangat tergantung dari komitmen pimpinan pucak disetiap unit organisasi, karena setiap pemimpin disetiap level mempunyai kuasa mengendalikan suatu proses kerja.

3. Komunikasi.
Ketrampilan berkomunikasi merupakan factor penting dalam upaya menciptakan lingkungan yang kondusif agar nilai-nilai luhur dapat teraktualisasi dalam sikap dan perilaku organisasi.
Keberhasilan program tersebut berdasar pada tingkat kepercayaan dalam interaksi individu terkait,sehingga tempat tingkat kepercayaan itu pada kualitas kerja sama makin tinggi tingkat kepercayaan makin baik kualitas kerjasamanya,kondisi semacam ini harus dapat terwujud agar tingkat sinergi bisa dicapai sehingga hasil (out put ) program menjadi semakin berkualitas .

4. Motivasi :
Merupakan salah satu komponen penting dalam meraih keberhasilan suatu proses kerja,karena memuat unsure pendorong bagi sesorang untuk melakukan pekerjaan sendiri maupun berkelompok.
Suatu dorongan dapat berasal dari dalam dirinya sendiri untuk bekerja lebih baik atau memberikan yang terbaik bagi kelompok dengan berbagai macam alasan yang baik dan luhur, namun tidak semudah itu setiap orang mempunyai dorongan yang positif ,mereka perlu dibantu orang lain yang berperan sebagai pemimpin atau atasan

5. Lingkungan Kerja:

Untuk Melakukan Program Budaya Kerja Diperlukan Persiapan Yang Berupa Penciptaan Lingkungan Kerja Dengan Paradigm Yang Disepakati Untuk Mencapai Tujuan Organisasi Dengan Cara Yang Lebih Efektif Dan Efisien, Oleh Karena Itu Kita Sedikit Melihat Pada Diri Kita Sendiri Sebagai Sdm ,(Prof Dr.Kusanadi Harasumantri) Bahwa Kekuatan Sdm Bukan Pada Jasmani Atau Jiwa Yang Dimilkiki Namun Kekuatan Tersebut Terletak Pada Semangat Dan Kemampuan Kerja, Karena Kerja Sama Akan Mampu Meningkatkan Mutu Dan Mautu Yang Harus Dicapai Terus Menerus ,Dipertahankan Dan Dikembangkan Akan Menjadi Budaya Kerja Yang Dimiliki Oleh Kelompok Yang Bersangkutan

6. Kerjasama Melalui Kelompok :

Kerjasama merupakan suatu nilai-niali yang sangat penting dalam manjemen khususnya manajemen serba sasaran ataupun manajemen partisispasi. Kata lain kerjasama adalah partisipasi atau gotong royong , konsekwensinya dan nilai-nilai tersebut mendasari karakteristik suatu manajemen dimana partisiapsi itu dimungkinkan berperan dalam setiap pengambilan keputusan manajemen.

7. Disiplin :

Adalah suatu aspek keuatan sdm itu dapat tercermin pada sikap dan perilaku disiplin,karena disiplin dapat mempunyai dampak kuat terhadap suatu organisasi untuk mencapai keberhasilan dan menegajar tujuan yang direncanakan.
Disiplin dimulai dari diri pribadi anatara alain harus jujur pada dirinya sendiri,tidak boleh menunda-nunda tugas dan kewajibannya dan memberikan yang terbaik bagi organisasinya

Karena organisasi itu adalah masalah orang,maka harus dpelajari secar sungguh-sungguh agar dalam penempatan orang itu sesuai dengan bakat dan ketrampilan yang dimiliki sehingga dimungkinkan displin organisasi dapat ditegakan dalam upaya mencapai tujuan


Menurut Keiz Davis & Jhon.W.Newstrom menyatakan bahwa disiplin mempunyai 3 macam sifat yaitu :

  • a. Disiplin preventif adalah tindakan sdm agar terdorong untuk mentaati standard an peraturan. Tujuannya untuk mendorong sdm agar memiliki displin pribadi yang tinggi.
  • b. Displin korektif, adalah tindakan dilakukan setelah terjadi pelanggaran standar atau peraturan, tindakan tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbul pelanggaran lebih lanjut.
  • c. Disiplin progresif, adalah tindakan disipliner berulang kali berupa hukuman yang makin berat, dengan maksud agar pihak pelanggar bisa memperbaiki diri sebelum hukuman berat dijatuhkan.


H. NILAI-NILAI DASAR BUDAYA KERJA APARATUR NEGARA
Ada 17 butir nilai-nilai dasar budaya kerja Aparatur Negara yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku, yaitu :
  1. KOMITMEN DAN KONSISTEN (terhadap visi,misi dan tujuan organisasi)
  2. WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB (yang jelas, tegas dan seimbang)
  3. KEIKHLASAN DAN KEJUJURAN (yang menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan kewibawaan pemerintah)
  4. INTEGRITAS DAN PROFESIONALISME (yang konsisten dalam kata dan perbuatan serta ahli dalam bidangnya)
  5. KREATIVITAS DAN KEPEKAAN (yang dinamis mendorong kearah efisiensi dan efektivitas)
  6. KEPEMIMPINAN DAN KETELADANAN (yang mampu mendayagunakan kemampuan potensi bawahan secara optimal)
  7. KEBERSAMAAN DAN DINAMIKA KELOMPOK (yang mendorong agar cara kerjanya tidak bersifast individual dan pusat kekuasaan tidak pada satu tangan)
  8. KETEPATAN DAN KECEPATAN (adanya kepastian waktu, kuantitas, kualitas dan finasial yang dibutuhkan)
  9. RASIONALITAS DAN KECERDASAN EMOSI (keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan emosional)
  10. KETEGUHAN DAN KETEGASAN (yang tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang merugikan diri dan negaranya)
  11. DISIPLIN DAN KETERATURAN KERJA (yang mengacu kepada standar operasional prosedur)
  12. KEBERANIAN DAN KEARIFAN (yang dihasilkan dari adanya pendelegasian wewenang)
  13. DEDIKASI DAN LOYALITAS (terhadap tugas yang bersumber pada visi,misi dan tujuan organisasi)
  14. SEMANGAT DAN MOTIVASI (yang didorong oleh keinginan memperbaiki keadaan secara perorangan maupun organisasional)
  15. KETEKUNAN DAN KESABARAN (yang didasarkan kepada tanggung jawab terhadap tugas yang diamanahkan)
  16. KEADILAN DAN KETERBUKAAN (sesuai dengan keinginan masyarakat)
  17. PENGUASAAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin maju).

I. PENUTUP.
Penanaman budaya kerja pada organisasi Pemerintah menjadi penting sebagai upaya Pemerintah melaksanakan amanat rakyat dalam memberikan perlindungan dan pelayanannya. Perubahan dan kemajuan yang terus bergulir bersama pergantian waktu menuntut aparat organisasi pemerintah meningkatkan budaya kerja yang professional untuk menjawab tantangan yang semakin kompleks dan kompetitif. *****









  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS