Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Peksos

PERAN PEKSOS DALAM
PENGEMBANGAN MASYARAKAT PARTISIPATIF.

Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM
Widyaiswara Madya UPT-PTKS Malang.


I. PENDAHULUAN.

Istilah yang banyak digunakan untuk menunjukan usaha memajukan kesatuan-kesatuan masyarakat dibeberapa negara yang sedang berkembang adalah ‘Cummunity Development (CD)’ yang di Indonesia sering diartikan dengan pengembangan masyarakat (PM) atau pembangunan masyarakat. PBB sejak tahun 1954 sudah banyak menggunakan istilah ‘community development’, sebagai penggunaan berbagai pendekatan dan teknik suatu program tertentu pada masyarakat. Program ini memberikan tekanan utama pada perbaikan kondisi kehidupan dasar dari warga masyarakat, termasuk didalamnya pemenuhan kebutuhan non material.

Pengembangan Masyarakat sebagai metoda yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993). Secara khusus Pengembangan Masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang yang tidak beruntung atau mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnyanya, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan.


Pengembangan Masyarakat, sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, juga memungkinkan pemberi dan penerima pelayanan terlibat dalam proses perencanaan, pengawasan dan evaluasi. Pengembangan Masyarakat meliputi berbagai pelayanan sosial yang berbasis masyarakat mulai dari pelayanan preventif untuk anak-anak sampai pelayanan kuratif dan pengembangan untuk keluarga yang berpendapatan rendah.


Community Development atau Pengembangan Masyarakat kini semakin populer sebagai salah satu pendekatan pembangunan yang berwawasan lokal, partisipatif dan edukatif. Secara akademis, Pengembangan Masyarakat dikenal sebagai salah satu metode pekerjaan sosial (social work) yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi social.


Pengembangan masyarakat partisipatif tidak menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek dari kegiatan pengembangan, tetapi memposisikan masyarakat sebagai subyek yang menentukan untuk mengembangkan dan memberdayakan dirinya. Pengembangan masyarakat paritisipatif merupakan disposisi dari era demokratisasi dan transparansi. Masyarakat terlibat dalam menentukan hajat hidup kedepannya.


Dalam perencanaan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada dewasa ini sudah banyak dikembangkan dengan model bottom up, ini berarti pelibatan masyaratat dari tingkat bawah menjadi tahapan awal dalam penyusunan suatu perencanaan pembangunan. Yang menjadi persoalan, apakah masyarakat ditingkat bawah telah berdaya untuk terlibat dalam perumusan perencanaan tersebut. Perencanaan partisipatif tersebut memiliki kekuatan : efektivitas (karena yang baik bagi masyarakat belum tentu yang dibutuhkan oleh masyarakat); kinerja (performance, outcome) nya bukan sekadar hasil seketika; terdapat Social virtue (kearifan social; dan masyarakat terasumsikan akan paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.


II. KONSEP DASAR.

Pengembangan masyarakat partisipatif terdiri dari tiga konsep, yaitu “pengembangan”, “masyarakat”, dan “partisipatif”. Pengembangan yang dapat diartikan pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, pembangunan yang dimaksudkan adalah pembangunan manusia seutuhnya yang meliputi pembangunan sector fisik maupun sector nonfisik (mental spiritual).

Menurut Mayo (1998), masyarakat diartikan dalam dua konsep, yaitu masyarakat sebagai “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Misalnya, sebuah rukun tetangga/rukun warga, komplek perumahan, daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan. Dan masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Misalnya, masyarakat nelayan, masyarakat petani, atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental, para lansia, dsb.


Istilah masyarakat dalam Pengembangan Masyarakat biasanya diterapkan terhadap pelayanan-pelayanan sosial kemasyarakatan yang membedakannya dengan pelayanan-pelayanan sosial kelembagaan. Misalnya pelayanan perawatan manula yang diberikan di rumah mereka dan/atau di pusat-pusat pelayanan yang terletak di suatu masyarakat merupakan contoh pelayanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan perawatan manula di sebuah rumah sakit khusus manula adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan.


Pengertian Pengembangan Masyarakat (PM) atau Community Development (CD) adalah sebagai wawasan dasar bersistem tentang asumsi perubahan social terencana yang diupayakan secara bersama untuk meningkatkan kualitas kehidupan sekelompok manusia dalam wilayah geografis tertentu atau kesamaan kepentingan berdasarkan budaya/identitas. Pengembangan Masyarakat juga diartikan sebagai pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan masyarakat lingkungan dalam aspek material dan spiritual tanpa merombak keutuhan komunitas dalam proses perubahannya.


Keutuhan komunitas dipandang sebagai persekutuan hidup atas sekelompok manusia dengan karakteristik : terikat pada interaksi sosial, mempunyai rasa kebersaman berdasarkan genealogis dan kepentingan bersama, bergabung dalam satu identitas tertentu, taat pada norma-norma kebersamaan, menghormati hak dan tanggung jawab berdasarkan kepentingan bersama, memiliki kohesi sosial yang kuat, dan menempati lingkungan hidup yang terbatas.


Istilah partisipasi menurut Mikkelsen (2005) biasanya digunakan di masyarakat dalam berbagai makna umum, diantaranya :

  • Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu pembangunan, tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
  • Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.
  • Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun kelompok yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai otonomi untuk melakukan hal itu.
  • Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam perubahan yang ditentukan sendiri oleh masyarakat.
  • Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri.
Perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas sejak munculnya metode partisipatif yang biasa disebut Participatory Rural Appraisal (PRA). Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifkasian masalah sampai pada penentuan skala prioritas.

Secara garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.


Permasalahan yang menghadang dalam perencanaan partisipatid antara lain bahwa partisipasi akan sulit terjadi apabila di dalam suatu masyarakat tidak mengetahui atau tidak mempunyai gagasan mengenai rangkaian pilihan yang seharusnya mereka pilih, karena keterbatasan aksesibilitas informasi, sehingga tidak mengherankan apabila masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, sering meminta hal-hal yang tidak mungkin atau hal lain yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan mereka. Jadi ada kemungkinan skala prioritas akan berbeda antara pihak pemerintah dan masyarakat.


Pengembangan masyarakat partisipatif (participatory community decelopment) menunjuk pada upaya memberdayakan masyarakat untuk mampu menggagas ide-idea dasar untuk meningkatkan kehidupannya secara bersama-sama dalam suatu komunitas tertentu atau masyarakat, keterlibatannya secara bersama-sama antara masyarakat dengan pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan untuk mewujudkan kejehateraan social. Pengembangan Masyarakat partisipatif sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan, berdasarkan prakarsa komunitas itu sendiri


Pengembangan masyarakat paritisipatif dengan pendekatan teori sumber daya manusia, memandang mutu penduduk sebagai kunci pembangunan dan pengembangan masyarakat. Banyaknya penduduk bukan beban pembangunan bila mutunya tinggi. Pengembangan hakikat manusiawi hendaknya menjadi arah pembangunan. Perbaikan mutu sumber daya manusia akan menumbuhkan inisiatif dan kewirausahaan.


Demikian juga pengembangan masyarakat partisipatif tidak bisa dilepas dari komponen ekosistem atau sumberdaya lingkungan sekitarnya, baik fisik maupun social. Dari sudut pandang ekologi/lingkungan sosial, pengembangan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh lingkungan fisik atau kondisi fisik alam sekitarnya saja, melainkan juga oleh lingkungan sosialnya, khususnya pranata-pranata/institusi social yang hidup didalamnya. Dengan kata lain bahwa perkembangan masyarakat pada umunya akan sangat ditentukan oleh kualitas interaksi dengan lingkungannya.


Pengembangan Masyarakat Partisipatif berfokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dengan melakukan upaya keberfungsian social terhadap orang dan sistem sosial agar memiliki kemampuan atau kapasitas dalam :

• memenuhi kebutuhan dasar (pendapatan, pendidikan, kesehatan)
• melaksanakan peran social.
• menghadapi goncangan dan tekanan.

Pengembangan Masyarakat Pertisipatif seringkali diimplementasikan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab (Payne, 1995:165).

III. PENDEKATAN.

Pengembangan masyarakat partisipatif sebagai salah satu model pendekatan pembangunan (bottoming up approach) merupakan upaya melibatkan peran aktif masyarakat beserta sumber daya lokal yang ada. Dan dalam pengembangan masyarakat hendaknya diperhatikan bahwa masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat, punya norma-norma tradisional yang masih dipatuhi, yang kemungkinan sebagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial.

Secara umum ada beberapa pendekatan dalam pengembangan masyarakat partisipatif, diantaranya adalah:

  1. Pendekatan potensi lingkungan, hal ini berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang ada pada masyarakat setempat.
  2. Pendekatan Kewilayahan, hal ini berkaitan dengan pengembangan terhadap wilayah dalam arti kesesuaian dengan wilayahnya (desa/kota) terhadap hal yang akan dikembangkan, setiap wilayah/daerah tertentu memiliki kebutuhan tertentu pula.
  3. Pendekatan kondisi fisik, lebih pada kondisi fisik manusianya.
  4. Pendekatan ekonomi, hal ini berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat.
  5. Pendekatan politik.
  6. Pendekatan Manajemen, Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan pendataan terhadap potensi, kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat kemudian dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, bugeting dan controlling. Model pendekatan ini sebenarnya dapat dilakukan dalam masyarakat yang bermacam-macam (pedesaan,perkotaan, marjinal, dan lain-lain).
  7. Pendekatan sistem, Pendekatan ini melibatkan semua unsur dalam masyarakat

Disamping itu, dalam pengembangan masyarakat pertisipatif tersebut dapat pula dilakukan dengan pendekatan seperti :
  1. Pendekatan Komunitas, Pendekatan ini menampilkan tiga ciri utama, yakni : a. partisipasi yang berbasis luas; b. komunitas merupakan konsep yang penting; c. kepeduliannya bersifat holistik. Pendekatan ini biasanya untuk memecahkan masalah luas dan menjadi kepentingan hampir semua warga. Warga terlibat dalam : a. pengambilan keputusan; b. pelaksanaan tindakan; c. penelaahan masalah menyeluruh; d. menghasilkan perubahan yang didasari pengertian dan dukungan moral.
  2. Pendekatan Pemecahan Masalah. Komunitas menggunakan jasa tenaga ahli untuk memecahkan masalah yg dihadapi warga. Tenaga ahli tsb melakukan identifikasi masalah, pemecahan masalah, mencarikan sumberdaya untuk memecahkannya, merencanakan tindakan-tindakan, memobilisasi partisipasi dan akhirnya ia mengevaluasi seluruh proses dan hasilnya (Thomas,1973)
  3. Pendekatan Demontrasi. Dengan memanfaatkan pengalaman komunitas lain yang diketahui proses dan hasil yang dicapainya untuk diterapkan dalam komunitas sendiri dengan harapan mendapatkan hasil yang sama (Ag Shier,1973)
  4. Pendekatan Eksperimental. Menerapkan pengalaman komunitas lain yang tidak diketahui bagaimana hasilnya,dengan harapan dapat melihat hasilnya dikomunitas sendiri (eversen,1973)
  5. Pendekatan Konflik Kekuatan. Upaya memperbaiki komunitas dengan gagasan-gagasan yang masing-masaing didukung oleh kekuatan yang bersumber pada kekuasaan, kecerdasan, kekayaan dan lain-lain,(tapi bukan kekerasan) dari kelompok-kelompok warga komunitas (Salmon And Taper,1973)

IV. ASUMSI-ASUMSI.

Donald W. Littrell (1982) merumuskan setidak-tidaknya ada 5 asumsi yang sangat mendasar dalam pengembangan masyarakat, yaitu :

1. Masyarakat merupakan subyek yang mampu bertingkah laku/bertindak secara rasional.
2. Tingkah laku adalah hasil dari proses belajar.
3. Tingkah laku tersebut dipelajari melalui proses interaksi social.
4. Masyarakat mampu memberikan arah terhadap tingkah lakunya sendiri
5. Masyarakat mampu menciptakan atau membentuk lingkungannya sendiri.

Dari asumsi-asumsi tersebut menegaskan bahwa masyarakat tidak dipandang sekedar sekumpulan manusia yang statis, melainkan senantiasa berada dalam “proses menjadi” (becoming being). Jika Peksos berpandangan bahwa tingkah laku dipelajari melalui proses interaksi social (asumsi 3) maka peran yang dapat dilakukan oleh peksos dalam pengembangan masyarakat akan terarah pada penciptaan kondisi interaksi social yang memungkinkan kemampuan masyarakat dapat berkembang dan meningkat.


V. NILAI-NILAI.

Dalam pengembangan masyarakat partisipatif hendaknya memperhatikan nilai-nilai dalam masyarakat, karena pemahaman ini akan berpengaruh pada kelancaran dan kesuksesan Peksos, atau pekerja komuniti (Community Worker) lainnya dalam melakukan pengembangan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah :
  1. Masyarakat mempunyai mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam menentukan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka.
  2. Kebebasan berpartisipasi merupakan suatu cara yang sangat berharga dalam mengendalikan persoalan-persoalan masyarakat.
  3. Masyarakat mempunyai hak untuk berusaha menciptakan lingkungan yang mereka inginkan.
  4. Masyarakat mempunyai hak untuk menolak suatu lingkungan yang dipaksakan dari luar.
  5. Peningkatan suatu interaksi manusia dalam suatu masyarakat akan menum buhkan potensi bagi pengembangan aspek kemanusiaan.
  6. Tercakup dalam suatu proses interaksi itu ialah suatu konsep atau pengertian tentang masyarakat yang selalu meluas.
  7. Setiap disiplin atau profesi merupakan suatu kontribusi yang sangat berharga (potensial) bagi proses pengembangan masyarakat.
  8. Motivasi diciptakan didalam diri manusia oleh pergaulan dengan lingkungan.
  9. Pengembangan masyarakat berkepentingan dengan pengembangan kemampuan manusia dalam menghadapi/mengatasi masalah-masalah lingkungannya.
Bahwa seseorang pada dasarnya sangat berkeinginan untuk berpartisipasi terhadap upaya untuk peningkatan kesejahteraannya. Suatu rencana atau program yang ditujukan untuk masyarakat yang dibuat tanpa pelibatan masyarakat, tidak dapat disebut sebagai pengembangan masyarakat.
Konsep bahwa masyarakat mempunyai hak untuk menciptakan lingkungan yang mereka inginkan, mempunyai landasan yang kuat karena masyarakat itu sendirilah yang mengetahui atau dapat mempelajari apa yang terbaik bagi mereka.

Konsep pembangunan dengan pendekatan “tentang apa yang masyarakat butuhkan” biasanya akan menghasilkan kualitas yang lebih baik dari pada dengan pendekatan “apa yang terbaik buat masyarakat”. Karena yang terbaik belum tentu yang dibutuhkan oleh masyarakat.


VI. PRINSIP-PRINSIP.

Dalam konteks pengembangan masyarakat, Jim Ife (1995) mengembangkan 22 prinsip, yaitu :
  1. Pembangunan Terpadu (Integrated Development). Aspek-aspek penting dalam masyarakat terdiri dari aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan dan spiritual. Aspek-aspek tersebut perlu dipertimbangkan. Aspek yang terlemah yang perlu mendapat intervensi pembangunan.
  2. Melawan Ketidak Berdayaan Struktural (Confronting Structural Disadvantages). Orang terampil tidak dapat bekerja bisa saja terjadi karena tidak ada kesempatan kerja atau tidak dibuka peluang yang terbuka bagi semua secara fair, atau terhambat karena masalah jenis kelamin, perbedaan suku/golongan/umur.pengembang masyarakat hendaknya mengenali dan mempertimbangkan masalah-masalah penindasan strukturak tersebut.
  3. Hak Asasi Manusia (human rights). Petugas Pengembangan Masyarakat berupaya melakukan perlindungan hak asasi manusia dan peningkatan pemenuhan hak dasar manusia (standar hidup layak, pendidikan, berpartisipasi, menentukan nasib sendiri dan hak perlindungan serta bantuan sosial bagi keluarga).
  4. Keberlanjutan (continuity / Sustainability). Dalam konteks ini apabila petugas pengembangan masyarakat bermaksud membangun tatanan sosial, ekonomi dan politik baru, maka struktur dan prosesnya harus berkelanjutan.struktur yang berkelanjutan ditandai dengan pelembagaan pelaksanaan pengembangan masyarakat, tidak hanya ditingkat pelaksana proyek tetapi akhirnya beralih ke masyarakat serta prosesnya tidak berhenti sebagai proyek tetapi menjadi kegiatan masyarakat.
  5. Pemberdayaan (empowerment). Petugas pengembangan masyrakat semestinya memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat guna meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya.
  6. Kaitan masalah pribadi dan politik (the personal and the political). Penyelesaian masalah tidak hanya didekati dengan penyelesaian secara individual, karena masalah ketidak berdayaan tidak hanya semata masalah individu tetapi juga struktural, demikian juga masalah potensi. Oleh karena itu, petugas pengembangan masyarakat hendaknya mengaitkan antara masalah pribadi dengan politik, individu dengan struktural, pribadi dengan masalah umum.
  7. Kepemilikan oleh komunitas (community ownership). Inti utama dari pengembangan masyarakat adalah membentuk unsur-unsur komunitas sebagai kesatuan masyarakat yang dilandasi kesalingtergantungan dan kebersamaan.
  8. Kemandirian (self reliance). Proses penyelenggaraan pembangunan hendaknya mendorong atau setidaknya tidak merusak kemandirian masyarakat. Pentingnya kemandirian dirasakan pada saat negara dalam kondisi menghadapi ketidakpastian atau krisis.
  9. Ketidaktergantungan pada pemerintah (independent from the state). Kemandirian terkait dengan posisi komunitas yang sejauh mungkin tidak tergantung pada pemerintah. Pengertian tidak tergantung, bukan berarti negara tidak perlu intervensi pada komunitas, tetapi lebih berarti tidak semua urusan diserahkan pada negara untuk menyelesaikannya, jika komunitas dapat menyelesaikannya sendiri.
  10. Keterkaitan tujuan jangka pendek dengan visi jangka panjang (immediate goals and ultimate vision) Tantangan seorang perencana petugas pengembangan masyarakat adalah merumuskan tujuan jangka pendek yang dapat menjawab permasalahan masyarakat sekaligus mengkaitkannya dengan visi pengembangan masyarakat yang dijalankannya.
  11. Pembangunan yg bersifat organik (organic development) pembangunan organik berlawanan dengan pembangunan yang mekanistik, perbedaan tsb ibarat pertumbuhan tanaman dan gerakan mesin. Mesin bekerja secara terpisah dari lingkungannya, dipindah kemana saja relatif tidak berubah dalam perkembangannya. Berbeda dengan tanaman ia sangat terkait dengan lingkungan, apabila dipindah bisa mati atau kerdil atau berbeda pertumbuhannya.
  12. Kecepatan pembangunan (the pace of development) akibat logis dari prinsip pembangunan yang organik adalah masyarakat harus diberikan kesempatan menentukan sendiri kecepatan perkembangannya. Pelaksana pengembangan masyarakat yang berhasil akan bergerak sesuai dengan kecepatan masyarakat itu sendiri, tidak mendorong terlalu cepat atau terlalu lambat.
  13. Keahlian dari luar (external expertise) seringkali karena faktor ketidaksabaran dan kurang mempercayai kemampuan masyarakat, suatu pemecahan masalah ditingkat komunitas diselesaikan oleh ahli-ahli dari luar, dengan cara dan proses yg dipaksakan dari luar. Pemerintah dapat membantu proses pengembangan masyrakat melalui penyediaan sumberdaya, komunikasi, dukungan, jaringan namun demikian pemerintah tidak dapat menentukan bagaimana pengembangan masyarakat harus terjadi. Hal ini tidak berarti bahwa proses pengembangan masyarakat tidak dapat belajar dari pengalaman luar daerah, tetapi pengalaman itu perlu diadaptasi sesuai dengan kondisi local.
  14. Pembangunan komunitas (community building ). Membangun komunitas berarti meningkatkan interaksi sosial dalam komunitas, mempertemukan orang-orang dan memfasilitasi mereka supaya saling berkomunikasi, sehingga memungkinkan dialog yang tulus, serta menciptakan saling pengertian.
  15. Kaitan proses dengan hasil (process and outcome). Pendekatan yang pragmatik cenderung menekankan pada hasil. Misalnya keberhasilan pembangunan irigasr diukur dari keberhasilan secara teknis fisik, sedangkan bagaimana proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kurang mendapat perhatian. Namun demikian, berkonsentrasi pada proses saja dapat menyebabkan orang kehilangan orientasi terhadap hasil yg harus dicapai. Dalam pengembangan masyarakat kedua hal tersebut hendaknya dilihat sebagai sesuatu yang integral dan bukanlah suatu fenomena yang terpisah.
  16. Integritas proses (the integrity of process). Proses dalam pengembangan masyarakat sama pentingnya dengan hasil. Hasil tercermin dalam tujuan, sedangkan cara mencapai tujuan merupakan proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu, proses hendaknya sesuai dengan harapan akan hasil yang berkaitan dengan keberlanjutan, keadilan sosial dll.
  17. Tanpa kekerasan (non violence). Arti kekerasan tidak sekedar berkenaan dengan kekerasan fisik yang dilakukan individu, tetapi juga berhubungan dengan kekerasan struktural. Disebut kekerasan struktural karena kekerasan tersebut telah melembaga dalam masyarakat atau suatu lembaga, contohnya, masalah rasialis, sekolah diskriminatif dll.
  18. Keinklusifan (inclusiveness). Untuk menerapkan prinsip inklusif dalam pengembangan masyarakat perlu suatu proses yang bersifat merangkul daripada menyingkirkan, setiap orang dihargai walaupun dalam posisi berlawanan dan orang diberi ruang yang cukup untuk merubah posisi tanpa kehilangan muka. Upaya dapat dilakukan melalui dialog dan saling pengertian.
  19. Konsensus (Concensus). Proses pengembangan masyarakat dengan pendekatan tanpa kekerasan dan inklusif perlu didasari dengan upaya membangun dasar-dasar konsensus dan proses pengambilan keputusan dengan cara mufakat.
  20. Kerjasama (co-operation). perspektif ekologi dan pendekatan tanpa kekerasan menekankan struktur yang bersifat kerjasama dari pada kompetitif.
  21. Partisipasi (participation). Pelaksana pengembangan masyarakat senantiasa berusaha memaksimumkan partisipasi dari warga/komunitas, dengan tujuan setiap orang terlibat secara aktif dalam aktivitas-aktivitas komunitas. Semakin aktif berpartisipasi semakin baik, karena dengan demikian, upaya menjadikan proses sebagai milik komunitas serta mendukung proses inklusif.
  22. Perumusan kebutuhan (defining need). Ada dua hal penting dlm perumusan tujuan. Pertama, pelaksana pengembangen masyarakat berusaha mencapai persetujuan antara pihar-pihak yg mendefinisikan kebutuhan, yakni antara penyelenggara program, konsumen, pemberi pelayanan dan peneliti. Upayakan dilaog agar diperoleh konsensus. Kedua, pendefinisian kebutuhan oleh masyarakat itu sendiri. upaya ini dapat dilakukan dengan cara mengajak orang berdialog dan mengembangkan kemampuan warga komunitas untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka yang sesungguhnya.

Donald W. Littrell (1984) mengembangkan 6 prinsip pengembangan suatu masyarakat, yaitu :
  1. Partisipasi dalam pembuatan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, hendaknya bebas dan terbuka bagi semua orang yang berkepentingan.
  2. Penggambaran secara ringkas mengenai keadan dimasa yang akan dating merupakan kondisi yang mempengaruhi suatu masyarakat.
  3. Penggunaan metode ilmiah dalam mengkaji masyarakat perlu dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
  4. Pencapaian pengertian dan consensus adalah merupakan dasar bagi usaha perubahan social
  5. Setiap orang mempunyai hak untuk didengarkan pendapatnya dalam suatu diskusi terbuka, apakah pendapat itu sesuai atau tidak dengan norma-norma masyarakat yang bersangkutan.
  6. Semua orang boleh berpartisipasi dalam menciptakan atau menciptakan kembali suatu susunan social dimana mereka merupakan bagiannya.

Sedangkan F. Ellen Netting, Petter M.Kettner dan Steven L.McMurtry (1993) merumuskan 4 prinsip yang diurai dan 9 sub-sub prinsip, yaitu meliputi :
  1. Kenali populasi yang dijadikan sasaran, prinsipnya : (1) Memahami karakteristik anggota populasi yang dijadikan sasaran.
  2. Menentukan karakteristik masyarakat, prinsipnya : (2) Identifikasi batasan masyarakat ; (3) Identifikasi profil masalah social; dan (4) Memahami nilai-nilai yang determinan?menentukan dalam masyarakat.
  3. Mengakui adanya perbedaan-perbedaan, prinsipnya : (5) Identifikasi mekanisme formal dan menekan; (6) Identifikasi peluang-peluang terjadinya diskriminasi;
  4. Kenali struktur, prinsipnya : (7) Mengetahui letak kekuatan atau kekuasaan; (8) Menentukan sumber-sumber yang dapat dipergunakan; dan (9) Identifikasi pola-pola penyampaian pelayanan dan pengawasan sumber.

VII. PERENCANAAN.

Dalam perencanaan pengambangan masyarakat partisipatif secara garis besar terdapat langkah-langkah perencanaan sebagai berikut :
  1. Perumusan masalah. PM dilaksanakan berdasarkan masalah atau kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa masalah yang biasanya ditangani oleh PM berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, pemberantasan buta hurup, dll. Perumusan masalah dilakukan dengan menggunakan penelitian (survey, wawancara, observasi), diskusi kelompok, rapat desa, dst.
  2. Penetapan program. Setelah masalah dapat diidentifikasi dan disepakati sebagai prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskanlah program penanganan masalah tersebut.
  3. Perumusan tujuan. Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan keberhasilannya dapat diukur perlu dirumuskan apa tujuan dari program yang telah ditetapkan. Tujuan yang baik memiliki karakteristik jelas dan spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai tujuan tersebut sesuai dengan dana, waktu dan tenaga yang tersedia.
  4. Penentuan kelompok sasaran. Kelompok sasaran adalah sejumlah orang yang akan ditingkatkan kualitas hidupnya melalui program yang telah ditetapkan.
  5. Identifikasi sumber dan tenaga pelaksana. Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menunjang program kegiatan, termasuk didalamnya adalah sarana, sumber dana, dan sumber daya manusia.
  6. Penentuan strategi dan jadwal kegiatan. Strategi adalah cara atau metoda yang dapat digunakan dalam melaksanakan program kegiatan.
  7. Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau proses dan hasil pelaksanaan program. Apakah program dapat dilaksanakan sesuai dengan strategi dan jadwal kegiatan? Apakah program sudah mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan? suatu kegiatanindikator keberhasilan.

VIII. PERAN PEKSOS DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PARTISIPATIF.

Pengembangan masyarakat partisipatif, secara umum meliputi perencanaan, pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek kemasyarakatan. Sebagai suatu kegiatan kolektif, pengembangan masyarakat partisipatif melibatkan beberapa actor atau stakeholder, seperti Pekerja Sosial, masyarakat setempat, lembaga-lembaga social kemasyarakatan serta instansi terkait, yang saling berkerjasama mulai dari perancangan, pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap program atau proyek tersebut.

Sesuai dengan paradigma pekerjaan sosial, yakni “membantu orang agar mampu membantu dirinya sendiri”, Pengembangan Masyarakat sangat memperhatikan pentingnya partisipasi sosial dan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, dan bahkan dalam hampir semua praktek pekerjaan sosial, peranan seorang community worker / pekerja komuniti seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung.


Terkait dengan pengembangan masyarakat, peran pekerja sosial berpusat pada “tiga P”, yaitu: Pemungkin (enabling); Pendukung (supporting), dan Pelindung (protecting). Prinsip utama peranan ini adalah “making the best of the client’s resources”. Dalam pendampingan social, Klien dan lingkungannya tidak dipandang sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa, tetapi dipandang sebagai sistem yang dinamis dan potensial dalam proses pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan sosial.


Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), mengungkapkan ada lima peran pekerjaan sosial dalam pembimbingan social, yaitu fasilitator, broker, mediator, pembela, dan pelindung.


1. Fasilitator

Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan “fasilitator” sering disebut sebagai “pemungkin” (enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Peran sebagai pemungkin atau fasilitator bertujuan untuk membantu klien agar menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional.

Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi :

• pemberian harapan,
• pengurangan penolakan dan ambivalensi,
• pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan,
• pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial,
• pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan
• pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker, 1987:49).

Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan social dan prinsip-prinsi pengembangan masyarakat, bahwa setiap perubahan terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya usaha-usaha klien sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah memfasilitasi atau memungkinkan klien mampu melakukan perubahan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.


2. Broker
Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham dan surat berharga lainnya di pasar modal. Seorang broker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pada saat klien menyewa seorang broker, klien meyakini bahwa broker tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal, pengetahuan yang diperoleh terutama berdasarkan pengalamannya sehari-hari.

Dalam konteks Pengembangan Masyarakat, peran pekerja sosial sebagai broker tidak jauh berbeda dengan peran broker di pasar modal. Seperti halnya di pasar modal, dalam Pengembangan Masyarakat terdapat klien atau konsumen. Namun demikian, pekerja sosial melakukan transaksi dalam pasar lain, yakni jaringan pelayanan sosial. Pemahaman pekerja sosial yang menjadi broker mengenai kualitas pelayanan sosial di sekitar lingkungannya merupakan aspek penting dalam memenuhi keinginan kliennya memperoleh “keuntungan” maksimal.


Ada tiga tugas utama dalam melakukan peranan sebagai broker : Pertama, mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber kemasyarakatan yang tepat. Kedua, menghubungkan konsumen atau klien dengan sumber secara konsisten. Ketiga, mengevaluasi efektifitas sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan klien.


Peranan sebagai broker pada prinsipnya adalah “menghubungkan klien dengan barang-barang dan jasa dan mengontrol kualitas barang dan jasa tersebut” .


Ada tiga kata kunci dalam pelaksanaan peran sebagai broker, yaitu: menghubungkan (linking), barang-barang dan jasa (goods and services) dan pengontrolan kualitas (quality control).


1). Linking adalah proses menghubungkan orang dengan lembaga-lembaga atau pihak-pihak lainnya yang memiliki sumber-sumber yang diperlukan. Linking juga tidak sebatas hanya memberi petunjuk kepada orang mengenai sumber-sumber yang ada. Lebih dari itu, ia juga meliputi memperkenalkan klien dan sumber referal, tindak lanjut, pendistribusian sumber, dan meenjamin bahwa barang-barang dan jasa dapat diterima oleh klien.


2). Goods and services, meliputi yang nyata, seperti makanan, uang, pakaian, perumahan, obat-obatan. Sedangkan services mencakup keluaran pelayanan lembaga yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan hidup klien, semisal perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan, konseling, pengasuhan anak.


3). Quality Control adalah proses pengawasan yang dapat menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkan lembaga memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Proses ini memerlukan monitoring yang terus menerus terhadap lembaga dan semua jaringan pelayanan untuk menjamin bahwa pelayanan memiliki mutu yang dapat dipertanggungjawabkan setiap saat.


3. Mediator
Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya. Peran mediator diperlukan terutama pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Pekerja sosial berperan sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai “solusi menang-menang” (win-win solution).


Beberapa strategi yang dapat digunakan dalam melakukan peran mediator antara lain :

  • mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat konflik,
  • membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan pihak lain,
  • membantu mengidentifikasi kepentingan bersama,
  • melokalisir konflik kedalam isu,
  • waktu dan tempat yang spesifik, memfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung mereka agar mau berbicara satu sama lain.

4. Pembela / advokasi.
Peran pembelaan atau advokasi merupakan salah satu praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan dengan kegiatan politik. Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kelas (class advocacy).

Apabila pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan kelas terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat.


Beberapa strategi dalam melakukan peran pembela adalah :

  • Keterbukaan, membiarkan berbagai pandangan untuk didengar,
  • perwakilan luas, mewakili semua pelaku yang memiliki kepentingan dalam pembuatan keputusan,
  • keadilan, kesetaraan atau kesamaan sehingga posisi-posisi yang berbeda dapat diketahui sebagai bahan perbandingan,
  • pengurangan permusuhan, mengembangkan keputusan yang mampu mengurangi permusuhan dan keterasingan,
  • informasi, menyajikan masing-masing pandangan secara bersama dengan dukungan dokumen dan analisis,
  • pendukungan, mendukung patisipasi secara luas,
  • kepekaan, mendorong para pembuat keputusan untuk benar-benar mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap minat-minat dan posisi-posisi orang lain.

5. Pelindung (protector)
Tanggungjawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung (protector) terhadap orang-orang yang lemah dan rentan.

Dalam melakukan peran sebagai pelindung (guardian role), pekerja sosial bertindak berdasarkan kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang berisiko lainnya.


Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan berbagai kemampuan yang menyangkut: (a) kekuasaan, (b) pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial.


Prinsip-prinsip peran pelindung meliputi :

  • Menentukan siapa klien pekerja sosial yang paling utama.
  • Menjamin bahwa tindakan dilakukan sesuai dengan proses perlindungan.
  • Berkomunikasi dengan semua pihak yang terpengaruh oleh tindakan sesuai dengan tanggungjawab etis,
  • legal dan rasional praktek pekerjaan sosial.

Secara umum peran Peksos sebagai pengembang/pekerja komuniti (community worker) dalam pengembangan masyarakat, juga dapat melakukan hal-hal sbb. :
  1. Fasilitatif, yaitu dengan melakukan animasi social/menggerakkan atau menghidupkan kondisi social, mediasi & negosiasi, dukungan, membangun consensus, fasilitasi kelompok.
  2. Edukasional, yaitu melakukan peningkatan kesadaran, memberi informasi, mengkonfrontasi, pelatihan.
  3. Representasional, yaitu mendapatkan sumber, advokasi, memanfaatkan media masa, hubungan masyarakat, networking, berbagi pengalaman.
  4. Peran teknis, yaitu melakukan pengumpulan dan analisis data, menggunakan komputer, manajemen, financial skill, need assessment.
Agar Peksos (pekerja komuniti/community worker atau pengembang) dapat berperan dengan baik dalam program pengembangan masyarakat, sedikitnya ada dua pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki.

Pertama, pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan masyarakat (community needs assessment), yang meliputi:

  1. jenis dan tipe kebutuhan,
  2. distribusi kebutuhan,
  3. kebutuhan akan pelayanan,
  4. pola-pola penggunaan pelayanan, dan
  5. hambatan-hambatan dalam menjangkau pelayanan.

Kedua, pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium dan jaringan antar organisasi, yang mencakup:

  1. kebijakan-kebijakan setiap lembaga,
  2. peranan lembaga-lembaga,
  3. potensi dan hambatan setiap lembaga,
  4. metode partisipatif dalam memecahkan masalah sosial masyarakat, dan
  5. prosedur pelayanan.

Disamping itu, kemampuanh dan ketrampilan teknis yang akan mendukung tugas-tugas pengembangan masyarakat juga harus dikuasai, seperti :
  1. Komunikasi personal
  2. Memahami dinamika kelompok
  3. Pendidikan masyarakat
  4. Menyediakan sumber
  5. Membuat tulisan
  6. Memotivasi
  7. Mengatasi konflik
  8. Mewakili dan advokasi
  9. Presentasi publik
  10. Kolaborasi dengan media masa
  11. Manajemen dan pengorganisasian
  12. Penelitian.


IX. PENUTUP.

Seiring kuatnya arus informasi dan kuatnya tuntutan demokratisasi dan transpoaransi, maka dalam penanganan pengembangan masyarakat partisipatif selain terbuka peluang juga menghadang tantangan yang sangat berbeda dengan era-era sebelumnya. Kondisi ini menuntut para Peksos, juga para pekerja Komuniti/community worker untuk terus mengasah pengetahuan dan pemahamannya yang terkait dengan kemasyarakatan.

Kompleksitas persoalan-persoalan social dan kemasyarakatan yang semakin rumit, menuntut Pekerja Sosial harus mampu memobilisasi masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhannya, dan kemudian berkerjasama untuk memenuhinya. Pekerja Sosial juga perlu mampu mengurangi kesenjangan dalam pemberian pelayanan, penghapusan diskriminasi dan ketelantaran melalui strategi-strategi pemberdayaan masyarakat. Fragmentasi dan konflik antar masyarakat yang cederung meningkat dewasa ini semakin menuntut pekerja sosial untuk lebih meningkatkan kemampuan profesionalnya, khususnya dalam bidang pendekatan-pendekatan kritis dan alternatif.


Pengembangan masyarakat Partisipatif sebagai metoda pekerjaan social akan memberikan kontribusi positif yaitu terjadi akselarasi atau percepatan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan social, manakala dilakukan pendekatan, model dan strategi serta asumsi-asumsi yang tepat. Ini semua dibutuhkan sikap profesionalitas dari Peksos. Kuncinya terus belajar dan terus memahami perkembangan yang ada, agar perkembangan yang diingin, perkembangan yang sesungguhnya, bukan justru bukan kemunduran.***



X. DAFTAR PUSTAKA.
1. Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Cet 1. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
2. Adi Fahrudin, Drs.,M.Soc.Sc, Pengembangan Masyarakat Bersumber Partisipasi Masyarakat, Modul diterbitkan BDPPS Lembang-Bandung, 1998.
3. Edy Suharto, Dr. M.Sc, Metodologi Pengembangan Masyarakat, Modul Pelatihan TKSM di Pusdiklat TKSM, Jakarta, 2002.
4. Edi Suharto, PhD, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS). 1997
5. Edy Suharto, PhD, Peran Peksos dalam Community Development, www.policy.hu/suharto.
6. Muhammad khoirun Najib, Pengembangan Masyarakat Islam, dalam Populis Jurnal Pengembangan masyarakat edisiNo. III/2003, Jogjakarta, Elsaq Press.
7. Sukriyanto, Model-model Pengembangan Masyarakat Dalam Era Kekinian.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar