Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Pemberdayaan

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
(COMMUNITY EMPOWERMEMT)

Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM

Widyaiswara Madya.



A. PENDAHULUAN.
Pelaksanaan otonomi daerah yang bergulir sejak adanya reformasi dengan ditetapkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008, telah melahirkan banyak perubahan yang cukup signifikan, terutama yang berhubungan antar pelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan.

Dalam Penjelasannya disebutkan bahwa, otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah (Pusat) yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.


Kendala yang muncul pada kondisi social yang ada, pada salah satu sisi, kurangnya kemampuan masyarakat atau keberdayaan masyarakat dalam kreativitas dan kapasitasnya secara lebih kritis dan rasional, karena masih banyak terbelit dengan masalah kemiskinan, baik kemiskinan secara ekonomi, kemiskinan intelektual (pengetahuan dan ketrampilan), kemiskinan secara fisik, kemiskinan informasi dan politik (aksesibilitas informasi dan demokratisasi) dll. Pada sisi lain, di tengah era globalisasi, informasi dan komunikasi yang serba cepat, masyarakat seharus memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi agar mampu menjalani kehidupan masa depan dengan lebih baik.


Kondisi seperti ini, tidak hanya dihadapi oleh Indonesia saja, tetapi hampir terjadi khususnya pada negara-negara berkembang lainnya. Karena itu pada September 2000, Pemerintah Indonesia bersama 189 negara lain, pada KTT Melinium di New York menyetujuai Deklarasi Milenium, dan ada 147 negara yang menandatangani Deklarasi tersebut termasuk Indonesia. Isinya berupa komitmen negara –negara dunia dan komunitas internasional untuk mewujudkan “8 Sasaran Pembangunan Melinium atau Mellinnium Development Goals (MDGs) tahun 2000-2015.


Kedelapan sasaran tersebut meliputi : Pengentasan kemiskinan dan kelaparan ekstrim; Pemerataan pendidikan; Mendukung adanya persamaan jender dan pemberdayaan perempuan; Mengurangi tingkat tingkat kematian anak; Meningkatkan kesehatan ibu, Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; Menjamin daya dukung lingkungan; dan Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.


Komitmen semua negara di dunia untuk memberantas kemiskinan ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam Deklarasi Johannesburg mengenai “Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development” yang disepakati oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, September 2002.


Hasil deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen ”Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang juga telah ditanda-tangani oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia dengan target memberantas kemiskinan pada tahun 2015.


Pada tahun 1960, lahir sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut Community Development (atau CD). CD adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat. CD tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. CD adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan.


Pada abad millennium yang diwarnai dengan adanya tehnologi tinggi dibidang informasi dan komunikasi, menjadikan kehidupan ini bercirikan perubahan yang cepat, kompleks, beresiko tinggi, kompetitif dan penuh dengan kejutan. Kondisi seperti ini membuat individu, kelompok atau komunitas harus memiliki kemampuan melakukan berbagai upaya untuk ikut arus perubahan, menyesuaikan diri, atau mengambil kendali perubahan.


Pada sisi lain interdependensi atau ketergantungan antara individu, kelompok, komunitas, bahkan antar negara dalam percaturan dunia internasional sebagai totalitas semakin kuat, karena sadar semakin sulit untuk menghadapi perubahan itu sendirian. Itu artinya, keterlibatan semua pihak, stakeholder masyarakat, bangsa dan negara pada strata apapun, menjadi penting dalam menghadapi kemajuan dan perubahan jaman demi kelangsungan hidup yang lebih baik. Disinilah arti penting upaya pemberdayaan masyarakat terus harus dilakukan seiring dengan terus bergulirnya arus perubahan.


Pemberdayaan adalah bagian dari paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya yakni mulai dari aspek intelektual (SDM), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.


Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat saja, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai social budaya local. Pemberdayaan sebagai konsep social budaya yang implementatif, dalam pembangunan yang berpihak kepada kepentingan rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah secara ekonomi (pengentasan kemiskinan ekonomi) tetapi juga nilai tanbah social dan budaya.


B. PENGERTIAN.
Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris “empowerment” yang berarti “memberi kuasa/wewenang/kekuatan”, dalam kata ‘power’ tidak saja ada ‘daya’ tetapi juga ada ‘kuasa/kekuasaan’, sehingga “daya” tidak saja mengandung makna ‘mampu’ tetapi juga ‘berkuasa’ untuk melakukannya.

Memberikan kekuatan (power), memberikan dimensi bertambahnya kekuatan bagi satu pihak dan berkurangnya pada pihak lain atau timbulnya hirarkhi adanya kekuatan dan ketiadanya kekuatan. Simon (1990) dalam Rethinking Empowerment mengemukakan : Pemberdayaan merupakan system yang berinteraksi dengan lingkungan social dan fisik. Terkandung maksud bahwa pemberdeyaan bukan merupakan upaya pemaksanaan kehendak, proses yang dipaksakan, kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, atau hanya untuk keterlibatan dalam kegiatan tertentu saja.


Cornell Empowerment Group (Randy, 179) mendefinisikan pemberdayaan sebagai proses sengaja dan berkelanjutan, berpusat pada masyarakat local, dan melibatkan prinsip saling menghormati, refleksi kritis, kepedulian, dan partisipasi kelompok, dan melalui proses tersebut, orang-orang yang kurang memiliki bagian yang setara akan sumber daya berharga, akan memperoleh akses yang lebih besar dan memiliki kendali atas sumber daya tersebut.


Pemberdayan masyarakat didefinikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat menekankan partisipasi masyarakat untuk menemukenali permasalahan sendiri, mengatasi dengan program kerja yang sesuai dan mengatur penyelenggaraan untuk keberlajutannya.


Dari pengertian pemberdayaan masyarakat tersebut, akan terlihat tiga tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu : Mengembangkan kemampuan dan kecakapan masyarakat; Mengubah perilaku masyarakat, dan Mengorganisir diri masyarakat.


Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan adalah multi dimensi, seluruh kemampuan yang dapat memperbaiki kehidupan sosialnya. seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mengakses informasi, kemampuan untuk berkomunikasi, mengelola kegiatan, kemampuan dalam mengelola permasalahan yang dihadapinya.


C. KONSEP DAN AGENDA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.
Proses ‘menjadi berdaya’ bukan proses yang secara instan bisa diwujudkan, ada tahapan yang patut dilakukan, yaitu diawali dengan tahap penyadaran, pengkapasitasan dan kemudian pendayaan.

Pada tahap penyadaran dilakukan pencerahan kepada sasaran yang diberdayakan bisa dengan memberikan pemahaman dan pengetahuan yang bersifat kognitif, belief (percaya) dan healing (sehat). Kemudian dilakukan pengkapasitasan atau sering disebut ‘capacity building’ atau dengan kalimat yang lebih sederhana adalah ‘memampukan’ atau enabling.


Program capacity building diarahkan untuk memampukan sasaran agar mereka ‘cakap’ (skillfull) dalam mengelola kehidupan dirinya (individu), dapat mengelola sumber-sumber produksi dan sumber-sumber social (sdm, kelembagaan, teknologi, capital, dan system nilai) bagi sasaran komunitas/masyarakat. Dan pada tahap ketiga adalah m
eningkatkan daya / melakukan pemberdayaan itu sendiri atau ‘empowerment’.

Yang patut diperhatikan dalam pemberian daya ini, hendaknya diperhatikan kemampuan dan kecakapan sipenerima/sasaran. Jangan diberikan diberikan daya melebihi kemampuan dan kecakapannya. Misalnya, mereka diberdayakan dengan teknologi dan capital yang jauh dari kemampuannya. Memberikan pinjaman modal usaha tentu disesuaikan dengan kemampuan tingkat usahanya.


Konsep ‘empowerment’ menekankan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung (partisipasi), demokratis, dan pembelajaran social melalui pengalaman langsung. Konsep pemberdayaan merupakan hasil kerja proses interaktif baik pada tataran ideologis (antara konsep ‘top-down dan bottom-up’) dan tataran implementasi. Pada tataran implementasi, interaktif akan terjadi lewat pertarungan antar otonomi (Friedmann,1992). Konsep pemberdayaan sekaligus mengandung konteks pemihakan kepada lapisan masyarakat yang berada di bawah garus kemiskinan (Mubiyarto, 1997).


Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup tiga capain dengan pengertian untuk ‘community develompment’ (pembangunan masyarakat), community-based development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat), dan community driven development, yang diterjemahkan dengan pembangunan yang ditujukan atau diarahkan masyarakat, atau lebih tegasnya pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, partisipasi masyarakat memiliki kontribusi yang signifikan dalam semua proses pembangunan. Ini dapat terjadi apabila keberdayaan dalam konteks masyarakat sudah signifikan, yaitu kemampuan individu yang larut dan bersenyawa dalam masyarakat telah membangun adanya keberdayaan masyarakat.


Sumber-sumber keberdayaan masyarakat ada pada kondisi fisik dan mental yang sehat, pendidikan-pengetahuan dan ketrampilan serta kecerdasan social, serta nilai-nilai instrinsik yang ada pada masyarakat seperti nilai kebersamaan, kekeluargaan, kegotong-royongan, sikap kejuangan, dan kesadaran adanya kebhinekaan yang ada di Indonesia ini.


Dalam melakukan program pemberdayaan, para pelaku pemberdaya atau stakeholder yang memiliki kepedulian untuk memberdayakan masyarakat, perlu memperhatikan tiga agenda besar berikut ini.


1. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) merupakan modal yang sangat penting dalam melakukan pembangunan, hal ini menjadi focus karena memang ‘manusia” itulah yang menjadi subyek dan obyek dari pembangunan iru sendiri.
Karena itu dampak yang diinginkan dari pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat dalam mengatasi permasalahan mereka melalui prakarsa dan kreatifitas untuk meningkatkan kualitas hidup. Itu dapat melakukan itu dibutuhkan masyarakat yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan, motivasi dan sikap yang optimis dan semangat untuk keluar dari permasalahan mereka.

Kemandirian merupakan sikap yang bersumber pada kepercayaan diri. Kemandirian juga adalah kemampuan (mental dan fisik) untuk :

1) memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri;
2) memperhitungkan kesempatan dan ancaman lingkungan; dan
3) Memilih berbagai alternatif yang tersedia untuk mengatasi persoalan dan sekaligus mengembangkan kehidupan secara serasi dan berkesinambungan.

2. Membangun Kelembagaan Masyarakat.
Membahas tentang kelembagaan masyarakat erat kaitannya dengan proses pemberdayaan masyarakat di tingkat masyarakat/komunitas, karena pemberdayaan sebagai upaya untuk memandirikan masyarakat sasaran, tidak sekedar bertumpu pada pendekatan-pendekatan metodologis pada proses pemberdayaan semata, tetapi harus dapat terwujud yang lebih konkrit sebagai bentu dari pencapaian suatu program.

Misalnya, ketika dilaksanakan program pemberdayaan masyarakat miskin dalam suatu wilayah tertentu, pemberdayaan bukan ditempatkan hanya pada bagaimana metodenya dan bagaimana proses perencanaan dan pelaksanaannya, tetapi penting juga dilakukan pemantauan dan evaluasi keberlanjutannya. Sudah seberapa banyak masyarakat miskin yang berkurang, dengan dilakukan pemberdayaan tersebut, dan secara kuantitas kemandiriannya terus meningklat, dan semakin berkurang tingkat ketergantungannya terhadap pelaku pemberdaya dilingkungannya.


Karena itulah, program pemberdayaan orientasinya harus selalu tertuju kepada kemandirian, kesinambungan, dan keberlanjutan. Sangat mubadzir apabila suatu program pemberdayaan dilaksanakan justru akan menciptakan ketergantungan masyarakat kepada pihak lain atau kepada pihak pelaku pemberdayaan tersebut ( isitlah yang sangat umum, jangan beri mereka umpan, tetapi berilah mereka kail agar bisa mendapat ikat terus menerus )


3. Menyediakan Fasilitas Produksi (teknologi dan modal usaha)
Seperti yang diun gkap sebelumnya, pemberdayaan berfokus untuk mendorong kemandirian masyarakat. Kemandirian akan dicapai kalau masyarakat memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam menjalani kehidupannya. Salah satu input untuk meningkatkan produktifitasnya adalah ada pada tehnologi dan capital, atau ketrampilan teknis dan permodalan.

Dalam proses pelaksanaan program pemberdayaan, sering berhadapan dengan aspek pengembangan teknologi dan aksesibilitas permodalan. Banyak pelatihan ketrampilan yang sudah dilaksanakan, tetapi banyak menghadapi kendala ditingkat pemasaran hasil dan akses permodalan. Kelompok-kelompok belajar usaha ekonomi produktif (UEP) melambat perkembangannya, sering berkendalam daya saing yang lemah, karena aspek teknologi (produksi dan pemasaran) serta aspek permodalannya.


Juga yang sering terabaikan adalah penyediaan pusat informasi yang mudah diakses oleh masyarakat, untuk kalangan tertentu hal ini sudah bisa diatasi dengan jaringan internet, media lainnya, tetapi pada komunitas tertentu lainnya masih banyak lemah memperoleh informasi yang berkaitan dengan keadaan mutahir tentang peluang dan hambatan dunia usaha, peluang pasar serta akses modal.


D. PENDEKATAN DALAM PEMBERDAYAAN.
Dalam melakukan pemberdayaan masyarakat perlu dikenali mengenai bentuk-bentuk kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat, karena itu pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang, yaitu Deficit Based dan Strength Based.

Pendekatan Deficit-Based terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi.


Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan. (Cooperrider dan Srivastva, 1987)


Untuk mendukung dalam meilih model pendekatan yang akan digunakan dalam pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan kajian mengenai jenis kekuatan-kekuatan yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Ketajaman pengamatan dan analisis terhadap bentuk-bentik kekuatan yang ada dalam masyarakat akan sangat membantu secara efektif dan efisien dalam melakukan keguatan denagn masyarakat.


1. Kekuatan Pendorong.
Dengan menemukan dan mengenali bentuk-bentuk kekuatan pendorong yang ada dalam kehidupan masyarakat sasaran, akan membantu proses berlangsungnya proses perubahan sesuai yang ditargetkan dalam pemberdayaan masyarakat. Tanpa adanya kekuatan pendorong dari individu/kelompok/ organisasi masyarakat secara keseluruhan, kiranya sulit dan lambat kita malakukan perubahan. Kekuatan pendorong juga bisa kita ciptakan (secara ekstrin diprovokasi) dalam menjadi dorongan untuk melakukan perubahan.

Ciri-ciri kekuatan pendorong dalam sisten sasaran perubahan adalah :


a. Merasa tidak puas dengan situasi dan kondisi yang ada

Ketidak puasan tersebut memiliki alasan karena potensi untuk lebih maju atau lebih baik masih sangat terbuka. Secara psikologis suasana kebatinan orang seperti ini, lebih mudah untuk didorong melakukan pembaharuan demi memenuhi keinginan yang belum terpenuhi. Masalahnya, bagaimana kita menemukenali kondisi psikologis yang demikian ini. Kecerdasan dan kecermatan para petugas social sangat ditantang untuk mengnalisisnya.
Masyarakat dengan tingkat psikologis yang demikian ini, alternative model pendekatan yang digunakan adalah locality development (pengembangan localitas)

b. Rasa bersaing untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan.

Perasaan ini timbul karena adanya tuntuan baik secara biologis, psikologis ataupun sosiologis sehingga mendorong adanya upaya untuk melakukan perubahan.
Misalnya, Pingin makan enak atau baju keren atau rumah bagus, secara normative, mendorong orang akan bekerja keras dan berhemat. Keinginan agar dirinya dihormati atau disegani, atau dapat diterima dalam pergaulan di masyarakat, mendorong orang untuk selalu berbuat kebajikan, Demikian juga, keinginan untuk memiliki HP, sepeda motor atau mobil, mendorong orang harus bekerja keras dan menabung.

c. Menyadari adanya kekurangan.
Kesadaran akan adanya kekurangan dalam dirinya, maka orang terdorong untuk mengejar kekurangannya itu. Misalnya, kekurangtahuan mengenai teknologi bercocok tanam padi yang baik, maka ia berusaha mencari ilmu kepada siapa saja yang dapat mengajarkan ilmu bertani yang baik.

2. Kekuatan Bertahan.
Kekuatan bertahan yang ada pada masyarakat berupa, upaya masyarakat untuk mempertahankan apa yang telah ada di dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan ini bisanya terlihat dalam sikap masyarakat yang menentang setiap hal-hal yang baru, inocasi-inovasi baru, temuan-temuan baru yang dicurigai akan menimbulkan perubahan terhadap sesuatu yang ada dan yang selama ini sudah menjadi milik yang patut dipertahankan.

Sikap bertahan ini diselimuti karena rasa takut akan merusak tatanan yang sudah mapan, takut menghadapi kegagalan karena keterbatasan sumber dayanya, baik SDM maupun SDA nya. Bisa juga penolakan inovasi baru, atau sikap bertahan dari masyarakat ini tibul akibat agen pembaharu/petugas pemberdaya/petugas social nya kurang baik perilakunya atau kurang mampu menjelaskannya atau memang figure yang ditolak oleh masyarakat tersebut.


Menghadapi kekuatan bertahan yang ada dalam masyarakat seperti ini, alternative pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan model pendekatan ‘social planning’ (perencanaan social).


3. Kekuatan Penggangu
Kekuatan pengganggu selalu ada dalam kehidupan masyarakat, dan kekuatan ini akan menghambat proses perubahan dan upaya pemberdayaan masyarakat. Banyak factor penyebabnya, oleh karena itu para petugas social atau para pemberdaya harus terampil dalam menganalisisnya, dan yang penting jangan meletakkan posisi berhadap. Asumsikan bahwa kekuatan penggangu ini adalah karena factor ketidak tahuan mengenai makna pembaharuan dan pemberdayaan bagi masyarakat.

Kondisi masyarakat seperti ini, dalam melakukan pemberdayaan, alternative pendekatan yang digunakan adalah model pendekatan “social action” ( aksi social ) yang dimodifikasi sesuai budaya local.


Timbulnya kekuatan penggangu dalam masyarakat dalam proses pemberdayaan masyarakat, sering bersumber pada hal seperti :

a. Adanya kekuatan di masyarakat yang bersaing untuk berebut pengaruh dan dukungan dalam masyarakat (baik terkait peluang financial, leader, target social lainnya)

b. Kerumitan inovasi atau program-program pemberdayaan itu sendiri bagi masyarakat.


c. Terbatasnya sumber daya yang dimiliki untuk pelaksanaan program pemberdayaan.


E. STAKEHOLDER PEMBERDAYA
Pemberdayaan adalah sebagai proses. Keberhasilan proses ini bukan hanya karena faham terhadap pengetahuan dan ketrampilan menyangkut pemberdayaan dan pembangunan, akan tetapi seluruh stakeholders (seluruh unsur terkait dalam program pemberdayaan masyarakat selaku pemberdaya ) harus komitmen dengan beberapa hal antara lain:

a. Komitmen pada profesionalisme
b. Komitmen pada keterbukaan
c. Komitmen pada kejujuran
d. Komitmen pada kebersamaan dan kerjasama
e. Komitmen pada kemiteraan, dan
f. Komitmen pada kepentingan pembelajaran dan mencari keuntungan bersama dalam bentuk pola horizonal.

Prof. Bob Tilden telah memberikan jawaban mengenai keterampilan dan sikap apa yang harus dimiliki oleh stakeholder pelaku pemberdaya. Menurut Tilden sekurang-kurangnya ada 4 (empat) kegiatan penting yakni :

1. Problem solving (pemecahan masalah);
2. Sense of Community (perduli terhadapa masyarakat);
3. Sense of mission (komitmen terhadap misi proyek); dan
4. Honesty with self and with others (jujur kepada diri sendiri dan orang lain).

Disamping itu ada dua belas prinsip yang harus dijadikan kekuatan internal para stakeholder pelaku pemberdaya, yaitu :

Pertama, para pelaku pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders, harus berlaku adil ( melaksanakan prinsip kerja berdasarkan keadilan dan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerja yang adil).


Dalam hal ini ada dua hal untuk menunjukan perilaku adil, yaitu Keadilan Distribusi dan keadilan Prosedural.


Keadilan distribusi yang dimaksudkan adalah berlaku adil ketika mendistribusikan sesuatu, meskipun yang miskin harus diutamakan. Setiap orang beraharap adanya sikap adil, tetapi tidaklah berlebihan kalau kelompok miskin yang didahulukan, baik miskin secara ekonomi (kurang pangan,sandang, papan, dst), miskin intelektual (kurang pengetahuan dan ketrampilan), miskin social ( para penyandang masalah social ), dll. Kelompok ini karena membutuhkan perhatian lebih karena factor kemiskinan/kekuarangan tersebut, disbanding kelompok yang tidak miskin, karena mampu melakukan secara mandiri.


Keadilan prosedural adalah berlaku adil dalam memberikan pelayanan public, dan sekalipun yang harus mengutamakan kelompok miskin, bukan malah sebaliknya, selalu mengutakan kelompok yang mampu membayar lebih atau kelompok tidak miskin.


Kedua, seluruh unsur stakeholders harus jujur ( jujur kepada diri sendiri dan jujur kepada orang lain).

Kejujuran adalah sifat dasariah manusia, namun seringkali berubah (menjadi tidak jujur) karena terkalahkan oleh kepentingan emosi pribadinya. Kejujuran sangat besar pengaruhnya terhadap keadilan. Keduanya merupakan sifat dasariah manusia.


Ketiga, kemampuan melakukan problem solving, menumbuhkan inovasi, asistensi, fasilitasi, promosi, dan social marketing.

Memecahkan masalah (problem solving) adalah proses bagaimana semua pihak menerima solusi yang ditawarkan, selalu diusahakan dalam bentuk win-win solution’. harus trampil dan kreatif mencari inovasi (ide dan pemikiran baru atau terobosan baru); trampil melakukan asistensi dan fasilitasi (bimbingan dan dampingan); dan terampil dalam hal promosi dan sosial marketing.


Keempat, kerjasama dan koordinasi seluruh unsur stakeholders berdasarkan kemitraan.

Walaupun sebagai pelaku pemberdaya berangkat dengan atribut jabatan dan institusi, hendaknya dalam proses pemberdayaan harus berlangsung secara kemitraan. Karena mewujudkan visi dan misi adalah tugas dan tanggung jawab bersama, bahkan lebih pada kelompok sasaran, karena pelaku pemberdaya hanya sebagai fasilitator.


Kelima, gerakkan partisipasi aktif secara kuantitas dan kualitas.

Partisipasi disini tidak hanya diukur oleh jumlah (kuantitas) melainkan harus juga diukur oleh seberapa banyak elemen masyarakat yang terlibat (kualitas), misalnya dari latar belakang jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), latar belakang usia (tua dan muda), latar belakang sosial-ekonomi (kaya – menengah dan msikin) dan lain sebagainya.


Bias partisipasi yang sering dijumpai, pada saat melakukan pertemuan dengan masyarakat, mengundangnya lebih pada jumlah, tidak pada varian elemen komunitas. Hadir 50 orang dari satu elemen masyarakat, lebih kualitas hadir 30 orang namun dari beberapa elemen masyarakat (isitlah dalam komunikasi, adalah sasaran antara)


Keenam, lingkup dan cakupan program berlangsung secara terpadu.
Keterpaduan ini mengandung dua aspek, aspek tujuan dan aspek pelaku pemberdaya. Keterpaduan pada aspek tujuan adalah adanya kesamaan sudut pandang, visi yang dituju dalam pemberdayaan masyarakat, misal dalam aspek intelektual, social-ekonomi, dll. Maka tujuan juga harus mampu meningkatkan aspek pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan. Selanjutnya dari sisi pelakunya, keterpaduan harus diartikan kepada kerjasama unsur stakeholders yang harmonis dan kondusif.

Ketujuh, mengutamakan penggalian dan pengembangan potensi lokal.
Pengembangan potensi lokal untuk merintis kemandirian dan memperkecil terjadinya ketergantungan kepada pihak luar. Pengembangan potensi lokal yang konsisten, juga mengandung maksud agar masyarakat sadar bahwa kontribusi itu jauh lebih realistis untuk tujuan rasa memiliki.

Kedelapan, aktif melakukan mobilisasi dan peningkatan swadaya yang bertumpu kepada kekuatan masyarakat sendiri/kelompok sasaran (self-reliant development).

Kenyataan banyak sekali bentuk kemampuan yang bisa diswadayakan oleh masyarakat misalnya: tenaga, ide dan pemikiran, uang, dan kepemilikan (tanah dan harta lainnya).


Kesembilan, mengembangkan metode pembinaan yang konstruktif dan berkesinambungan.

Program pembinaan dikonstruksi bersama oleh semua pihak sehingga dapat dipastikan bahwa antara satu bentuk pembinaan dengan bentuk yang lainnya akan berkorelasi positif, saling mendukung dan berkesinambungan.

Kesepuluh, pelaksanaan kegiatan berlangsung secara gradual/bertahap.
Tahap-tahap kegiatan pemberdayaan sebaiknya dibuat bersama masyarakat. Para pemberdaya/Fasilitator dapat menggabungkan antara alokasi waktu program pemberdayaan dengan yang tersedia pada masyarakat.
Kesebelas, seluruh unsur stakeholders harus konsisten terhadap pola kerja pemberdayaan.

Pola pemberdayaan adalah berorientasi pada pembangunan manusia seutuhnya, baik non fisik maupun fisik. Pemberdayaan adalah untuk kepentingan manusia seutuhnya. Oleh karena itu pola dan cara kerja harus mampu menyentuh kepada seluruh kepentingan masyarakat (SDM, ekonomi dan material serta manajrial)

Keduabelas, komitmen serta peduli kepada misi pemberdayaan dan kepada masyarakat miskin yang kurang mampu (Sense of mission, sense of community, and mission driven profesionalism).

Misi pemberdayaan adalah memiliki perepektif kesinambungan dalam kemandirian. Oleh karena itu komitmen pemberdayaan masyarakat tidaklah putus dalam satu decade atau satu tahapan proses. Gerak pemberdayaan kepada seluruh aspek kebutuhan manusia adalah secara otomatis bermuara pada kesinambungan. Apabila terjadi ketidaksinambungan, maka ini berarti ada yang tidak benar di dalam melakukan pemberdayaannya.


F. PENUTUP.
Pemberdayaan sebagai suatu proses, suatu mekanisme, dalam hal ini, individu, organisasi, dan masyarakat menjadi ahli akan masalah yang mereka hadapi. Dalam teori pemberdayaan mengasumsikan bahwa, pemberdayaan akan berbeda bentuk untuk orang yang berbeda, untuk konteks yang berbeda, dan akan berfluktuasi atau berubah sesuai kondisi dan waktu.

Pemberdayan masyarakat sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat menekankan partisipasi masyarakat untuk menemukenali permasalahan sendiri, mengatasi dengan program kerja yang sesuai dan mengatur penyelenggaraan untuk keberlajutannya. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pemberdayaan masyarakat melingkupi hal-hal yang dialami masyarakat dalam upaya menyelesaikan ,asalah mereka sendiri.


Pemberdayaan masyarakat telah menjadi salah satu pendekatan yang digunakan dalam berbagai program pembangunan di Indonesia, terutama dalam penanggulangan kemiskinan sejak adanya krisis ekonomi tahun 1997. Pemberdeyaan masyarakat dalam upaya penguatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, disorong oleh pergantian paradigma pembangunan yang sebelumnya cenderung semtralistik dikenal dengan “government driven” bergeser ke paradigma “ community driven development “. Hak ini karena pembangunan berbasis partisipasi akan lebih berhasil baik disbanding dengan pembangunan yang berbasis dari kemauan pemerintah.


Sejak program pembangunan berbasis partisipasi dilaksanakan dengan pendekatan konsep pemberdayaan, maka beberapa kebijakan pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan yang berbasis konsep pemberdayaan diluncurkan seperti : (1) Program Pembangunan Kecamatan (PPK) yang dimulai sejak 1998; (2) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dimulai sejak Tahun 1999; (3) Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Prasarana Desa (P2MPD)/Community and Lokal Government Support Project (CLGS), dimulai sejak tahun 2002; (4) Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa (PMPD)/ Community Empowerment and Rural Development (CERD), dimulai sejak Tahun2001; (5) Program Kemitraan dan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) dimulai sejak tahun 2000; (6) Program Pembangunan Pendukung Daerah tertinggal dan Khusus (P2DTK)/Support for Poor Area and Disadvantage Area (SPADA), dimulai sejak tahun 2007; Program Pembangunan Prasarana Perdesaan (P2D), dimulai tahun 1999 s/d 2002, dan perbaharui dengan program Rural Infrastructure and Social-Economic (RISE), dimulai tahun 2008; dan Program Pemberdayaan dan Reformasi Tata Pemerintahan dan Kelembagaan (P2RTPD) / Initiatives for Local Governance Reform (ILGR) yang dimulai sejak 2004.


Kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan seperti tersebut diatas, menunjukan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat sudah menjadi tuntutan perkembangan kondisi social- politik di Indonesia, dan hasil menunjukan adanya pengaruh yang signifikan terhadap kelancaran pelaksanaan program-program tersebut.***


G. DAFTAR PUSTAKA.
1. Basir Barthos, Drs. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta, 1995
2. Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama Press, Bandung, 2001
3. Mubyarto, Strategi Pembangunan Pedesaan, P3PK UGM Yogyakarta, 1984.
4. Wrihatno, Randy R &R. Nugroho.D, Manajemen Pemberdayaan, PT Elex Media Komputindo-Gramedia, Jakarta, 2007.
5. http://fiqihsantoso.wordpress.com/2008/06/17/konsep-dan-metode-pemberdayaan-masyarakat- indonesia/ ( Diakses tanggal 21 Maret 2011)
6. MG Ana Budi Rahayu, Pembangunan Perekonomian Nasional Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa, http://www.binaswadaya.org/

diposting : 25/03/2011


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar