Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KESETIAKAWANAN SOSIAL
DITENGAH UJIAN JAMAN.

Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM

Setiap tanggal 20 Desember kita bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN), demikian juga 20 Desember 2010 ini. Semua itu dimaksudkan untuk mengingatkan dan menyegarkan kembali semangat dan jiwa bangsa Indonesia akan kesetiakawanan dan kepedulian social terhadap sesama anggota keluarga besar bangsa Indonesia, bahkan sesama umat manusia yang ada dimuka bumi ini.

Momentum tanggal 20 Desember 1948, sebagai goresan tinta emas dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, menginspirasi untuk terus ditumbuh suburkan semangat dan jiwa kesetiakawanan social ini, karena perjalanan waktu telah membuktikan, dengan semangat kesetiakawanan social saat itu, yang diwujudkan dalam kebersamaan dan kemanunggalan tentara dan rakyat sehari setelah agresi tentara kolonial Belanda tanggal 19 Desember 1948 menyerbu dan menduduki ibukota negara yang pada saat itu Yogyakarta. Rakyat memberikan apa saja yang mereka punya untuk mendukung militer. Rakyat dari semua golongan turut bertempur, menolong, dan merawat para prajurit yang terbunuh maupun terluka. Sementara itu, kaum militer dengan amat sadar membangun dan mengawal kesetiaan nurani untuk selalu dekat dan mengayomi rakyat.

Kolaborasi dua kekuatan besar milik bangsa Indonesia yakni tentara (TNI) dan rakyat, kekuatan militer dan kekuatan sipil, yang heroic dengan semangat patriotic, bahu membahu bersatu padu dengan satu tekad, mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, membuktikan kembali keampuhannya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang monumental bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republic Indonesia, dengan kembalinya Yogjakarta kepangkuan ibu pertiwi.

Kesetiakawanan yang tumbuh dari nurani yang bersih dan tulus, dilandasi rasa cinta tanah air yang telah merdeka, telah menumbuhkan solidaritas bangsa yang sangat dahsyat, dan menjadi kekuatan untuk membebaskan tanah air dari cengkraman aggressor kolonial. Kebersamaan dari seluruh komponen bangsa, kekuatan rakyat sipil dari seluruh lapisan yang mampu menembus batas geografis, etnis, golongan, agama dan ras bersatu dengan kekuatan militer, kembali sejarah membuktikan telah mampu mempertahankan dan terus mengisi alam kemerdekaan bangsa Indonesia ini.

Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial merupakan potensi spritual, suasana psikis yang membangun komitmen untuk hidup berdampingan secara sinergi, saling bahu membahu, tolong menolong, saling berempati, saling menghormati, yang merupakan jati diri bangsa. Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan nurani bangsa Indonesia yang tumbuh jauh sebelum Indonesia merdeka, yang tervisualisasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan, tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.

Diabad ini, ketika kita memperingati HKSN yang ke-62 tahun 2010 ada kegalauan mengenai semangat kesetiakawanan social bangsa Indonesia. Memang, dihati nurani rakyat Indonesia yang paling dalam, rasa kesetiakawanan social ini masih tetap bersemayam, ini dapat dilihat bila ketika bangsa Indonesia sedang dilanda musibah seperti adanya bencana alam, maka dengan spontan rakyat Indonesia, sipil dan militer langsung bergerak untuk membantu apa saja yang bisa dibantu. Tetapi kita sangat tidak berharap, Allah SWT memperingatkan kita untuk saling tolong-menolong harus dengan mengirimkan bencana alam, gempa bumi, banjir, gunung meletus, tanah longsor dan ambles, kebakaran, yang susul-menyusul menambah duka dan kepedihan yang mendalam bagi rakyat bangsa ini dan menumbuhkan bukan saja korban materi dan nyawa, juga ketakutan social.

Firman Allah SWT : “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya” (QS. Al-Israa’ /17:16)

Akibat pengaruh arus globalisasi dan liberalisasi bisa saja jiwa kesetiakawanan social ini tak punya ruang untuk muncul kepermukaan seperti dulu lagi. Sikap hidup individualistis yang terbawa oleh globalisasi dan arus deras komunikasi dan informasi yang tersuguh setiap hari dengan adanya kebebasan informasi, telah mampu menggerus nilai-nilai dan akar kultural/budaya bangsa seperti kegotong-royongan, kekeluargaan, saling asih-asah dan asuh yang sudah dianggap kuno ini.

Kegalauan ini sangat beralasan kalau kita melihat wajah buram bangsa pada akhir-akhir ini yang sering dilansir oleh media televisi. Fakta social memperlihatkan betapa eskalasi konflik social semakin memupuskan rasa kesetiakawanan social. Konflik social telah merambah kepada semua lapisan dan komunitas. Kondisi paradokisme antara keadaan diawal tumbuhnya kesetaiakawanan social 62 tahun yang lalu, yaitu bersatunya kekuatan social bangsa (masyarakat militer dan sipil, tidak terbatasi oleh factor geografis, etnis, suku, agama, ras, golongan, status ekonomi, politik dan budaya) dengan kondisi kekinian yang justru kekuatan social bangsa tersebut saling berhadapan dalam suasana panasnya konflik horizontal, merupakan kengerian social yang menjadi momok terbunuhnya semangat dan jiwa kesetiakawanan social bangsa ini.

Sisi lain, pemicu memudarnya semangat dan jiwa kesetiakawanan social bisa tumbuh dan datang dari masalah-masalah social yang dihadapi bangsa ini, seperti masalah kemiskinan. Kemiskinan bisa menjadi penyebab bagi erosinya nilai kesetiakawanan sosial nasional. Kemiskinan yang tak kunjung usai penyelesaiannya menjadikan penyebab bagi memudarnya kepercayaan sosial (social trust), baik kepercayaan antar warga bangsa maupun kepercayaan antara masyarakat dengan pemimpinnya, sehingga menjadi pemicu mudahnya terjadi konflik social. Disparitas atau kesenjangan antara miskin dan kaya, pendidikan-tidak berpendidikan yang sangat tinggi juga akan menjadi pendorong melemahnya semangat dan jiwa kesetiakawanan social bangsa ini.

Mengingat Kesetiakawanan Sosial merupakan modal sosial (Social Capital) dan nilai dasar dalam kita mewujutkan Kesejahteraan Sosial, sebagaimana diamanatkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, kiranya berkewajiban bagi kita semua Bangsa Indonesia untuk terus menyegarkan-menumbuh-kembangkan dan merevitalisasi semangat dan jiwa kesetiakawanan social ini dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat yang adil dan sejahtera dan sejahtera yang berkeadilan.

Merevitalisasi kesetiakawanan social yang merupakan modal social dan nilai dasar kesejahteraan sosial, disesuaikan dengan kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita. Keadaan saat ini, kita sudah tidak lagi berhadapan dengan aggressor colonial Belanda, juga tidak melakukan perjuangan secara fisik untuk mengusir dan melawan penjajah. Yang kita hadapai sekarang, yang juga tidak kalah penting, dan membutuhkan kebersamaan serta kesetiakawanan dari seluruh kekuatan social bangsa, adalah mengatasi permasalahan-permasalahan social seperti kemiskinan, kebodohan (karena mahalnya biaya pendidikan), keterlantaran, konflik SARA, dan masalah-masalah social yang semakin kompleks ini.

Revitalaisasi nilai dan akar kultur bangsa yang terkandung dalam kesetiakawanan social yang sudah terbangun sejak bangsa ini ada, dan telah mampu menjadi daya rekat/kohesitas dan integrasi social, kiranya perlu terus dilakukan. Masalahnya, memang tidak mudah mengaktualisasi nilai-nilai kesetiakawanan social ditengah era reformasi yang mendorong adanya transparansi, keterbukaan informasi, dan demokratisasi, serta dalam arus perubahan sekarang ini.

Seperti yang diungkap sebelumnya, bahwa dalam nurani yang paling dalam setiap insan bangsa Indonesia, memiliki jiwa dan roh kesetiakawanan social. Tinggal bagaimana kita semua ini mampu memberi ruang dan waktu bagi aktualisasi dari rasa kesetiakawanan social tersebut. Nilai-nilai dasar Kesetiakawanan Sosial yang sudah ada dalam kehidupan masyarakat, seperti tergambarkan dalam kehidupan bermasyarakat yang diliputi penuh dengan suasana : religius, kerukunan, gotong royong, tolong menolong tanpa pamrih, kekeluargaan, dan solidaritas antar sesama, perlu direvitalisasi dan ditumbuh suburkan oleh kita, oleh semua dan oleh para pemimpin yang mendapat amanah untuk mengatur bangsa dan Negara ini. Meskipun kita tidak bisa menafikan bahwa ada juga sebagian masyarakat yang bersifat individualistis (self interest), sebagai kenyataan social dan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari yang normal dari masyarakat. Kita sangat mendambakan terwujudnya tiada hari tanpa kesetiakawanan social (there is no day whithout solidarity) bagi bangsa Indonesia dimasa mendatang. Itu artinya untuk ber-kesetiakawanan social tidak perlu menunggu ada bencana alam yang menimpa kita, sekecil apapun kita akan tetap peduli dengan sesama. Karena “kawan sejati memang bikin hidup berarti, teman setia memang bikin hidup menjadi ceria, sahabat sehati memang bikin hidup menjadi berseri, tetangga dan kolega membuat hidup ini lebih berwarna, peduli dengan sesama membuat kehadirannya memberi makna". Semoga !!! *** ( Malang, 20 Desember 2010 )

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar