Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KONSEPSI PELAYANAN PRIMA
DALAM PELAYANAN PUBLIK

Oleh : Dra. Lamsari Sitompul, MM

I. PENDAHULUAN.
Tuntutan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, mendorong pemerintah untuk kembali memahami arti pentingnya suatu kualitas pelayanan serta pentingnya dilakukan perbaikan mutu pelayanan terhadap rakyatnya. Perbaikan pelayanan pemerintah ini, tidak saja ditujukan untuk memberi iklim kondusif bagi dunia usaha nasional dan meningkatkan daya tarik arus investasi ke Indonesia karena kredibilitas dan akuntabilitas pemerintahan yang meningkat, namun sudah merupakan kuwajiban pemerintah dalam penyediaan pelayanan yang berkualitas, yang merupakan bagian dari good governance, demokratisasi dan transparansi. Penyedian pelayanan publik yang berkuwalitas merupakan salah satu alat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang menurun akibat krisis global yang menerpa kita.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia, antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak setiap warga Negara atas barang public dan jasa publik.

Pelayanan publik merupakan pilar dasar penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis kerakyatan. Upaya membangun pemahaman untuk mewujudkan pelayanan publik (public service) yang sesuai dengan koridor tata kelola pemerintahan yang baik (good govemane) dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dengan paradigma baru (the new paradigm) berubahnya birokrasi sebagai pangreh (penguasa) menjadi abdi (pelayan) masyarakat perlu dilakukan internalisasi terhadap setiap insan birokrat.


Melakukan optimalisasi pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan mengingat melakukan pembaharuan dan reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan public tersebut menyangkut pelbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang feodalistik dan Weberian, yang lebih mengedepankan kekuasaan berbasis struktur, ketimbang pendekatan fungsi dan sasaran kinerja, sehingga prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi masih sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat.

Namun harus diakui setelah sepuluh tahun lebih reformasi, sudah banyak perubahan dan peningkatan dalam pelayanan public, upaya kearah itu harus terus ditingkatkan dengan meningkatkan pemahaman konsep-konsep pelayanan prima bagi sumber daya manusia dalam birokrasi pemerimntahan.


II. PENGEMBANGAN SDM APARATUR PELAYANAN.
Usaha peningkatan kinerja pelayanan oleh pemerintah/badan-badan public tanpa mengikut sertakan sumber daya aparatur birokrasinya akan sia-sia saja, karena justru unsur sumber daya manusia inilah yang banyak menentukan berhasil tidaknya program peningkatan pelayanan yang dilakukan, disamping faktor lainnya, seperti kinerja peraturan dan program kerjanya.

Sumber Daya Manusia, secara makro dapat diartikan semua manusia sebagai penduduk atau warga negara suatu Negara tertentu dalam batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan kerja. Sedang pengertia secara mikrio adalah manusia atau orang yang bekerja atau mejandi anggota organisasi yang biasa disebut dengan personil, pegawai, karyawan, pekerja yang merupakan asset dan motor penggerak organisasi. Dalam kontek usaha peningkatan pelayanan umum SDM secara makro maupun secara mikro harus tetap menjadi perhatian. SDM secara makro yaitu seluruh masyarakat (angkatan kerja) disiapkan menjadi masyarakat yang disiplin, taat asas, patuh terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku, sebagaimana yang dituntut kepada SDM Aparatur (secara mikro).


Dalam kegiatan pelayanan umum, selama ini aparatur birokrasi sering dituduh sebagai penyebab timbulnya berbagai ketidakpuasan masyarakat terhadap bentuk pelayanan umum dari pemerintah. Kultur birokrasi pemerintahan yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan masyarakat ternyata belum dilakukan secara efektif. (jargon kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah, kadang masih sering ditemui di counter-counter pelayanan) . Sentralisme dalam birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi (Dwiyanto, 2000). Patologi birokrasi ini muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi struktur kekuasaan, bukannya kepada publik. Implikasinya aparat yang seharusnya melayani masyarakat malah justru aparatlah yang minta dilayani.


Untuk menciptakan pelayanan yang baik dan berkualitas, menuntut aparatur pelayanan umum memiliki visi inovatif, professional, serta responsibility yang tinggi untuk menciptakan system pelayanan yang lebih adil, transparan, demokratis dan lebih dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat. Untuk hal ini, Kumorotomo (1996) menyatakan, yang terpenting dalam peningkatan kinerja pelayanan umum adalah menegakkan dan menguatkan dasar fondasi aparat birokrasi pada prinsip-prinsip moral dan etika.


Posisi penting yang dimiliki oleh sumberdaya aparatur pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan umum oleh badan-badan public/pemerintah, karena aparat birokrasi merupakan kepanjangan tangan dari seluruh kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Dengan melakukan penegakkan dan penguatan melalui pendekatan prinsip-prinsip moral dan etika yang mengikat pada setiap aparatur penyelenggara pelayanan umum, bahwa setiap orang yang menerima suatu pekerjaan harus bersedia melakukan dengan niatan yang baik dan menerima tanggung jawab yang menyertainya serta mau menanggung sebagai konsekuensi atas setiap kegagalan yang mungkin terjadi. Tak seorangpun dapat menghindar dari pernyataan bahwa para aparatur birokrasi harus melakukan apa yang menjadi harapan rakyat, menaati kaidah hukum, menaruh perhatian terhadap keprihatinan dan masalah-masalah warga negara, dan mengikuti pola perilaku etis tanpa cacat.


Menyandarkan pada rasionalitas saja terkadang tidak mampu untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan hakiki orang banyak dan tidak jarang keputusan-keputusan yang baik harus menyertakan pengalaman, intuisi, dan hati nurani. Kumorotomo, mengungkapkan bahwa, bagaimanapun juga falsafah, kearifan, dan niat baik akan menjadi penopang yang paling kokoh bagi para administrator untuk menjaga kewibawaan dan kredibilitas mereka. Lebih dari itu, dalam persoalan apapun sepanjang menyangkut hubungan antar dua atau lebih individu, pertanyaan-pertanyaan yang mengandung nilai-nilai filosofis dan moral akan senantiasa relevan (Kumorotomo, 1996:136).

Adalah merupakan sebuah keharusan bagi aparat pemerintah untuk lebih meningkatkan kesadaran akan moralitasnya, mengingat interaksi antar individu yang berlangsung pada proses pelayanan, memiliki kerawanan yang berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, illegal cost, dan interes-inters individu. Walau dalam kondisi empiris, memasukkan nilai-nilai moral dan etika ke dalam manajemen pelayanan umum/publik merupakan hal yang tidak mudah, karena berkaitan dengan kultur, pola pikir (mindset), system yang sudah berlangsung lama dan sudah menjadi norma dan perilaku aparatur pemerintah, meski semua ini sangat tergantung dari aparat itu sendiri. Disinilah pentingnya pelibatan SDM-aparatur pelayanan dalam setiap upaya dalam program peningkatan kinerja pelayanan public.


Menurut Stephen R. Covey, moral dan etika kepribadian manusia lebih memfokuskan pada pengintegrasian prinsip integritas, kerendahan hati, kesetiaan, kerajinan, pembatasan diri, keberanian, keadilan, kesabaran, kesederhanaan, kesopanan, dan hukum utama, yakni berbuatlah kepada orang lain seperti yang anda kehendaki dan harapkan orang lain berbuat dan berperilaku kepada anda.


Penerapan etika kepribadian ini sering kurang berhasil karena proses yang terjadi adalah semacam pemaksaan dari luar ke dalam diri manusia. Stephen Covey menawarkan proses yang sebaliknya, seharusnya proses terjadi bukan dari luar ke adalam ( pemaksaan ) melainkan dari dalam menuju keluar ( kesadaran ), yang disebut sebagai etika karakter. Keduanya merupakan paradigma sosial.


Pendekatan dari dalam ke luar adalah satu proses untuk kematangan publik (public victory) yang harus dicapai melalui kematangan pribadi ( private victory ) terlebih dahulu. Akan sia-sia memperbaiki hubungan dengan orang lain, sebelum mampu memperbaiki hubungan dengan diri sendiri. Ini merupakan proses yang berbentuk spiral pertumbuhan ke atas yang menyebabkan bentuk yang semakin tinggi dari ketergantungan (dependence), menjadi mandiri (Independence) dan berakhir menjadi saling ketergantungan (interdependence)


III. PELAYANAN.
Kedekatan dan kepercayaan hubungan produsen dengan pelanggan (yang melayani dan yang dilayani) hanya dapat dibina melalui kegiatan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhanya Oleh karena itu dunia usaha harus terus berpacu mengembangkan pelayanan yang semakin hari semakin baik, karena bagi dunia usaha kepercayaan pelanggan merupakan faktor produksi yang utama. Demikian juga lembaga-lembaga public , reformasi telah mendorong kuatnya tuntutan public terhadap peningkatan dan transparansi pelayanan public yang diberikan oleh badan-badan public (organisasi pemerintah).

Pengertian pelayanan, menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan / mengurus apa yang diperlukan orang lain. Ketika berlangsung kegiatan pelayanan, ada sesuatu yang disampaikan, disajikan, atau dilakukan oleh pihak yang melayani kepada pihak yang dilayani, sesuatu itu disebut layanan. Layanan dapat berupa barang, atau berupa jasa, atau berupa barang yang tak tampak (intangible). Misalnya informasi yang disampaikan secara lisan kepada pelanggan yang membutuhkannya. Dalam pelayanan yang disebut konsumen (customer) adalah masyarakat yang mendapat manfaat dari aktivitas yang dilakukan oleh organisasi atau petugas dari organisasi pemberi layanan.


Agar dapat memberikan pelayanan yang sungguh-sungguh memuaskan adalah harus dikenali dulu karakteristik pelanggannya. Kecerdikan dan ketepatan dalam mengenal karakteristik pelanggan merupakan prasyarat agar dapat menyusun sistem pelayanan bermutu tinggi.


Menurut status keterlibatnnya dengan lembaga yang melayani dibedakan dua golongan pelanggan, yaitu :

  • Pelanggan eksternal, yaitu semua pelanggan yang berasal dari luar organisasi.
  • Pelanggan internal, yaitu semua pelanggan yang berasal dari dalam organisasi yang memperoleh pelayanan dari unit kita.

Sedang menurut bentuk dan akibat dari kegiatan pelayanan yang kita berikan kepada pelanggan, dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu
  • Pelanggan langsung, yaitu semua pelanggan yang secara langsung menerima layanan dari organisasi kita.
  • Pelanggan tak langsung, yaitu pihak-pihak yang secara tidak langsung menerima layanan dari organisasi kita, tetapi ikut menerima dampak pelayanan dan pengaruh yang menentukan terhadap kelangsungan hidup pelayanan organisasi kita.
Sondang P. Siagian mengatakan, teori klasik ilmu administrasi negara mengajarkan bahwa pemerintahan negara pada hakikatnya menyelenggarakan dua jenis fungsi utama, yaitu fungsi pengaturan dan fungsi pelayanan. Fungsi pengaturan biasanya dikaitkan dengan hakikat negara modern sebagai suatu negara hukum (legal state) sedangkan fungsi pelayanan dikaitkan dengan hakikat negara sebagai suatu negara kesejahteraan (welfare state). Baik fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan menyangkut semua segi kehidupan dan penghidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan pelaksanaanya dipercayakan kepada aparatur pemerintah tertentu yang secara fungsional bertanggung jawab atas bidang-bidang tertentu kedua fungsi tersebut (Siagian, 1992: 128-129).

Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara no. 81 tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum, disebutkan pengertian pelayanan umum sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat maupun di daerah dan di lingkungan BUMN/BUMD, dalam bentuk barang/jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Moenir, 1992:34).


IV. PELAYANAN PRIMA.

Layanan dan dukungan kepada pelanggan dapat bermakna sebagai suatu bentuk layanan yang memberikan kepuasan bagi pelanggannya, selalu dekat dengan pelanggan sehingga kesan yang menyenangkan senantiasa diingat oleh pelanggannya. Selain itu membangun kesan yang dapat memberi citra positif di mata pelanggan karena jasa pelayanan yang diberikan dengan biaya yang terjangkau oleh pelanggan, membuat pelanggan termotivasi untuk ikut bekerjasama dalam proses pelyanan yang prima.

Pelayanan Prima merupakan terjemahan dari istilah “Service Excellent” yang secara harafiah berarti pelayanan yang sangat baik atau pelayanan yang terbaik, karena sesuai dengan standard pelayanan yang berlaku atau dimiliki oleh instansi yang memberikan pelayanan. Apabila instansi belum memiliki standard perlayanan maka pelayanan disebut sangat baik atau terbaik atau akan menjadi prima, manakala dapat atau mampu memuaskan pihak yang dilayani (pelanggan). Jadi pelayanan prima dalam hal ini sesuai dengan harapan pelanggan.


Penerapan konsep pelayanan prima di lingkungan aparatur pemerintahan seperti dijelaskan dalam keputusan Menpan nomor 81 / 1995, yang juga dipertegas dalam instruksi Presiden nomor I / 1995 tentang peningkatan kualitas aparatur pemerintahan kepada masyarakat. Ditegaskan pelayanan yang berkualitas terhadap masyarakat adalah yang sesuai dengan sendi-sendi sebagai berikut:


1. Kesederhanaan,
dalam arti bahwa prosedur / tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit serta mudah dipahami dan dilaksanakan.


2. Kejelasan dan kepastian
, menyangkut :

  • Prosedur / tata cara pelayanan umum
  • Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif
  • Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum
  • Rincian biaya / tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya
  • Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum.
  • Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti penerimaan permohonan / kelengkapannya sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum.
  • Pejabat yang menerima keluhan pelanggan (masyarakat).
3. Keamanan, dalam arti proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.

4. Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur / tata cara, persyaratan, satuan kerja / pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya / tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.


5. Efisien, meliputi persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan. Juga dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan , dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja / instansi pemerintah lain yang terkait.


6. Ekonomis, memperhatikan :

  • nilai barang atau jasa pelayanan umum dengan tidak menuntut biaya yang tinggi diluar kewajaran
  • kondisi dan kemampuan pelanggan (masyarakat) untuk membayar secara umum
  • ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

7. Keadilan yang merata dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.

8. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam periode waktu yang telah ditentukan.


Pelayanan prima sebagai pelayanan yang terbaik yang dapat diberikan kepada masyarakat. Tujuan dari pelayanan prima adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk mencapai hal itu diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan atau keinginan pelanggan. Karena itu yang disebut mutu pelayanan adalah kesesuaian antara harapan atau keinginan dengan kenyataan yang diberikan.

Strategi pelayanan prima, yang mengacu pada kepuasan / keinginan pelanggan antara lain dapat ditempuh melalui :

1. Implementasi visi, misi pelayanan pada semua level yang terkait dengan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat /pelanggan.

2. Hakekat pelayanan prima disepakati untuk dilaksanakan oleh semua apartur yang memberikan pelayanan.


3. Bahwa dalam pelaksanaan pelayanan prima, didukung oleh sistem dan lingkungan yang dapat memotivasi anggota organisasi untuk melaksanakan pelayanan prima.


4. Pelaksanaan prima aparatur pemerintah didukung oleh sumber daya manusia, dana, dan teknologi canggih yang tepat guna.


5. Pelayanan prima dapat berhasil guna, apabila organisasi memberikan standar pelayanan prima yang dapat dijadikan pedoman dalam melayani, dan panduan bagi pelanggan yang memerlukan jasa pelayanan.


Pemakaian istilah pelayanan dalam standar pelayanan prima pada organisasi pemerintah pada umumnya, perlu dipahami secara serius karena pada dasarnya itu merupakan fitrah aparatur pemerintah ( public servan ) untuk melayani masyarakat. Apabila dalam dunia bisnis yang sifatnya profit oriented bersemboyan “ pelayanan adalah awal pembelian “ maka bagi organisasi non profit seperti halnya pemerintahan perlu berkeyakinan bahwa “ pelayanan adalah awal dari pemberdayaan “

Dengan demikian signifikansi pendekatan visi, misi dan standar pelayanan prima bagi organisasi terletak pada hal-hal sebagai berikut :

  • Cita-cita masa depan suatu organisasi harus dicanangkan dalam visi dan misi yang mampu menggerakkan ( to energize ) tumbuhya : kebanggan diri, dan yang selalu ‘haus’ akan pembaharuan dan perbaikan.
  • Organisasi berkepentingan pada pelayanan prima karena merupakan persoalan kelangsungan organisasi.
  • Organisasi berkepentingan pada pelayanan prima, karena customer yang kita layani merupakan unsur yang berkualifikasi pembeli (dalam dunia bisnis) dan publik yang harus diberdayakan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan disegala bidang.

Sendi-sendi keprimaan dalam menetapkan standar pelayanan prima dapat dilakukan melalui :
  1. Keprimaan berawal dari adanya rumusan organisasi / instansi / negara.
  2. Visi dijabarkan secara tuntas ke dalam misi-misi organisasi yang terukur.
  3. Misi dijabarkan dalam standar pelayanan prima. Rincian kegiatannya yang secara tuntas menghasilkan output dengan mengacu pada parameter keprimaan teknis operasional seperti :
a. Kesederhanaan
b. Kejelasan dan kepastian
c. Akuntabel ( tanggung jawab )
d. Kemanan ( security )
e. Keterbukaan ( transparancy )
f. Efisiensi ( economis )
g. Efektifitas
h. Adil dan merata
i. Ketepatan ( accuracy )
j. Kemudahan ( accessibility ) k. Kesopanan ( courtesy )
l. Kenyamanan ( confort )
m. Kemampuan ( competence )
n. Dapat dipercaya ( credibilty / reliability )
o. Keandalan ( dependability )
p. Fleksibelity
q. Kejujuran ( honesty )
r. Kesegaran / kesigapan ( promptness )
s. Responsibility

Pelayanan yang smart merupakan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan (public) dengan penuh perhatian karena pelanggan adalah orang yang harus kita penuhi keinginannya. Pelanggan bukanlah pengganggu pekerjaan kita, melainkan merekalah yang menjadi tujuan kita bekerja. Karena itu, kepuasan pelanggan adalah tujuan kita dalam memberikan pelayanan.

Inti dari sasaran pelayanan SMART, adalah sasaran pelayanan yang : Spesivic ( spesifik/memiliki kekhususan ) ; Measurable ( dapat diukur ) , Achievable ( dapat dicapai ) , Relevant ( sesuai dengan kepentingan / kewenangan dan kepentingan pelanggan ), dan Time (jelas penentuan batas jangka waktunya)



V. PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut UU Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan Publik, mendefinisikan Pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedang organisasi penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Organisasi Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.


Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan milik swasta.

2. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi menjadi :

a) Yang bersifat primer dan,adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya.
b) Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.

Penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan UU Nomor 25 tahun 2009, harus harus dilakukan dengan asas :
  1. Asas kepentingan umum, artinya pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.
  2. Asas kesamaan hak, berarti jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan.
  3. Asas keseimbangan hak dan kewajiban adalah pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
  4. Asas keprofesionalan adalah pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
  5. Asas partisipatif adalah peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
  6. Asas persamaan perlakuan/tidak diskriminatif adalah setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.
  7. Asas keterbukaan adalah setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
  8. Asas akuntabilitas adalah proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  9. Asas fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan maksudnya adalah pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.
  10. Asas ketepatan waktu maksudnya adalah penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan, dan
  11. Asas kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan adalah setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

Masayarakat sebagai customer yang harus dilayani dalam penyelenggaraan pelayanan public mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut :


Hak-Hak Masyarakat dalam peyalanan public, adalah :

  1. mengetahui kebenaran isi standar pelayanan;
  2. mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;
  3. mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
  4. mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan;
  5. memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;
  6. memberitahukan kepada Pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;
  7. mengadukan Pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada Penyelenggara dan ombudsman;
  8. mengadukan Penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina Penyelenggara dan ombudsman; dan
  9. mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.

Sedang kewajiban masyarakat, meliputi :
  1. mematuhi dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan dalam standar pelayanan;
  2. ikut menjaga terpeliharanya sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik; dan
  3. berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.

Untuk mengoptimalkan pelayanan public dapat dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan public oleh penyelenggara pelayanan public sebagai barometer pengukuran kinerja peleyanan public dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungannya. Dalam penyusunannya harus melibatkan masyarakat sebagai obyek dari kegiatan pelayanan public tersebut.

Komponen Standar Pelayanan tersebut sekuarng-kurangnya meliputi :

  1. dasar hukum;
  2. persyaratan;
  3. sistem, mekanisme, dan prosedur;
  4. jangka waktu penyelesaian;
  5. biaya/tarif;
  6. produk pelayanan;
  7. sarana, prasarana, dan/atau fasilitas;
  8. kompetensi Pelaksana;
  9. pengawasan internal;
  10. penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
  11. jumlah Pelaksana;
  12. jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;
  13. jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan
  14. evaluasi kinerja Pelaksana.

Keberhasilan dalam meningkatkan optimalisasi pelayanan public juga dipengaruhi oleh sikap dan perilaku pelaksana pelayanan public. Undang-undang memberikan penegasan mengenai perilaku pelaksana pelayanan public harus bersikap :
  1. adil dan tidak diskriminatif;
  2. cermat;
  3. santun dan ramah;
  4. tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;
  5. profesional;
  6. tidak mempersulit;
  7. patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
  8. menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
  9. tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  10. terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
  11. tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
  12. tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;
  13. tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki;
  14. sesuai dengan kepantasan; dan
  15. tidak menyimpang dari prosedur.

Untuk mengawasi apakah badan-badan public telah menyelenggarakan pelayanan publiknya secara baik maka dilakukan mekanisme pengawasan baik secara internal maupun eksternal. Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:
  • pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
  • pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedang pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:
  • pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
  • pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
  • pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam pengukuran kinerja pelayanan public dapat digunakan indikator-indikator pengukuran kinerja pelayanan organisasi publik yang meliputi : Responsivitas, Responsibilitas, Akuntabilitas, Produktifitas dan Kepuasan pelanggan.

1. Responsivitas,
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

2. Responsibilitas.

Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit (Lenvine, 1990). Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.

3. Akuntabilitas,

Konsep akuntabilitas publik digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

4. Produktifitas,

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. Dan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.

5. Kepuasan Pelanggan,

Kehadiran organisasi publik adalah suatu alat untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik. Jadi kinerja pelayanan publik dapat dikatakan berhasil apabila ia mampu mewujudkan apa yang menjadi tugas dan fungsi utama dari organisasi yang bersangkutan.


VI. PENUTUP.
Pelayanan publik merupakan pilar dasar penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis kerakyatan. Salah tuntutan reformasi secara substansial adalah untuk mewujudkan pelayanan publik (public service) yang sesuai dengan koridor tata kelola pemerintahan yang balk (good govemanc), Pelayan-peiayan publik (public seivicer) yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dengan paradigma baru (the new paradigm) berubahnya birokrasi sebagai dari pangreh menjadi abdi alias pelayan masyarakat. Untuk itulah harus diupayakan terus untuk meneguhkan konstruksi birokrasi sebagai pelayan publik civil servants yang berposisi sebagai pengabdi rakyat.

Penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparatur pernerintah dewasa ini masih ditemukan banyak kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat dalam pemberian pelayanan terhadap masyarakat masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui media massa sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat salah satu fungsi pemerintah adalah melayani masyarakat maka pernerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan.


Pemahaman terhadap konsep pelayanan prima pada setiap penyelenggara pelayanan public sangat m,utlak diperlukan untuk meneguhkan sikap paerilaku dan etika dalam memberikan pelayanan public yang menjadi cerminan dari integritas dan akuntabilitas badan-badan public yang bersangkutan dalam mewujudkan cita-cita reformasi. ***** (Malang, 20 Desember 2010)


Referensi :
  • Kepmenpan No. 81 Tahun 1993 tentang pedoman Tata Lakasana Pelayanan Umum.
  • INPRES No. 1 Tahun 1995 tentang Kualitas Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada masyarakat
  • Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56 / MK. Waspan / 6/ 1998,
  • Surat Menkowasbangpan No. 145 / MK / Waspan/ 3 / 1999, ttg Peningkatan kualitas pelayanan
  • Keputusan Menpan No. 63 / Kep / M. Pan / 2003
  • Kepmenpan No. 24 / M. PAN / 2004 tentang pedoman umum penyusunan Indeks kepuasan masyarakat unit pelayanan Instansi Pemerintah.
  • Kepmenpan No. 26 / M. Pan / 2004, tentang Juknis transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan public.
  • Permendagri No. 24 tahun 2006 tentang pedoman penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu.
  • Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
  • Dr. Tina Malinda, Dra.MM,. Konsentrasi Manajemen Sumberdaya, Badan Penerbit STIE Mahardika Surabaya, 2007.
  • Samprana Lukman, Drs. MA, dan Sugiyanto, SH, MPA, Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima, LAN-RI, Jakarta 2001.

**********





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Eek mengatakan...

Maaf, jadi pada intinya apa/bagai mana hubungan layanan publik dengan layanan prima

Posting Komentar